"Han, kalau memang kamu mau aku pulang ke orang tua, dari rumah sakit kamu harus antar aku ke sana. Aku bakal nurut, apapun yang kamu mau. Asal kamu datang ke sana, biar orang tua aku tau kalau kita masih punya hubungan." Harum mengusap-usap daguku.
"Iya, aku bakal bantuin pindahan kamu juga." Aku tersenyum lebar.
"Aku boleh cek HP kamu?" Harum menggenggam tanganku yang masih menggenggam tangannya.
"Untuk apa?"
Dicek pun ada apanya memang? Chat awal-awal dengan Bunga sudah kuhapus, aku tipe orang yang suka bersih-bersih dalam hal apapun termasuk aplikasi.
Aku menarik ponselku dari saku celanaku, aku yakin tidak ada chat apapun yang mencurigakan. Aku membuka kunci layar dengan menggunakan sidik jariku, kemudian wallpaper ponselku terlihat.
Sial, ada notifikasi dari Bunga malah.
[Katanya mau per**** aku? Aku udah pakai span.] sebuah foto disertakan, fotonya memakai rok span duyung selutut.
Harum pasti curiga, karena aku lama memainkan ponselku sebelum memberikan padanya. Segera aku menghapusnya, kemudian masuk ke grup komunitas mobilku.
"Siapa, Han?" Harum menyentuh bagian atas ponselku.
"Ini lagi nyimak notif dari Grup komunitas Civic." Aku melepaskan ponselku padanya.
"Kapan terakhir kamu kumpul sama komunitas kamu?" Harum mulai melihat layar ponselku.
"Sebulan yang lalu, waktu touring ke Bogor. Kan kamu ikut juga, waktu kamu baru pulang dari suntik KB itu." Aku memperhatikannya yang tengah sibuk dengan ponselku.
Saat masih sekolah Harum rutin mengecek ponselku, karena aku sering membonceng beberapa teman wanita yang rumahnya searah dengan arah rumahku. Ia cemburu, ia tidak mau percaya meski aku sudah menjelaskan. Setelah lulus kuliah dan bekerja, ia hampir tidak pernah mengecek ponselku lagi.
"Kalau touring, siapa yang bakal kamu ajak?" Ia mengembalikan ponselku.
Mungkin ia hanya memastikan siapa saja yang chatting denganku.
"Kamu dong, siapa lagi memang?" Aku tersenyum dan mencolek dagunya.
Semua temanku tahunya memang aku ada hubungan dengan Harum.
"Oh ya? Jadi kapan kita nikah?" Ia ikut tersenyum lebar juga.
Kenapa ia harus terus membahas tentang pernikahan?
"Segera." Aku mencium dahinya.
Aku jadi tidak sabar untuk datang pada Bunga, tapi aku tidak mungkin meninggalkan Harum sendirian di sini. Pikiran mesumku sudah jalan, jika ini menyangkut Bunga.
"Aku ke dokter dulu ya? Mau nanyain tentang keadaan kamu." Aku turun dari brankarnya, kemudian meninggalkannya sementara di ruangannya sendiri.
Ternyata resep obat yang harus aku tebus, ketika aku sampai ke dokter. Siang nanti Harum sudah boleh pulang katanya, sekarang masih waktu observasi.
Sampai siang tiba, aku membawanya pulang dari rumah sakit setelah mengurus administrasinya. Tujuanku sekarang adalah kontrakannya lebih dulu, aku membantunya mengemasi pakaian dan keperluannya yang harus dibawa pulang ke rumah orang tuanya. Sisanya, biar setelah Harum sehat saja.
"Rum, benar gak kamu punya hutang empat juta ke Rena? Aku bakal transfer ke Rena, kalau memang benar kamu hutang." Mobilku sudah melaju ke arah rumah orang tuanya.
"Rena ngomong ke kamu?" Matanya membulat seperti kaget.
Jam tiga sore, satu jam lagi Bunga sudah pulang dari tempat kerja. Apa aku mengambil jatahku di rusunnya saja?
"Kamu hutang untuk apa?" Aku mengangguk dan meliriknya.
Perawatan pun paling apa sih, rambut dan kuku saja. Badannya tetap begitu saja, area sensitifnya rasanya sama saja.
"Nanti di rumah orang tua aku pun, kamu bakal tau. Tapi gak usah dibayar, aku bisa urus sendiri." Harum tetap sok kuat dan sok mandiri saja.
"Aku bantuin. Di siapa aja kamu punya hutang?" Aku yang merasa malu sendiri, jika ia punya hutang.
Nanti teman-temannya pun akan berbicara hal yang sama tentangku. Tentang aku yang hanya mengambil butuhnya saja dan tak mau menjamin Harum. Bukan aku tidak menjamin, tapi Harum bukan kewajibanku.
"Di Rena aja yang paling besar, sama yang lain cuma beberapa ratus aja." Wajahnya seperti malu mengakui hal itu.
Ia hutang untuk apa?
"Berapa totalnya, aku bantuin?" Aku cukup berhati.
"Udah gampang, Han." Harum seperti tidak mau untuk dibantu.
"Gitu terus." Aku mulai memasuki jalanan gang.
Baru juga mobilku berhenti di depan rumahnya, ayahnya sudah menatapku tajam. Kalau memang akhirnya mereka melarang, ya sudah aku pasrah saja. Toh Harum sendiri yang bertahan denganku.
"Kenapa gak pulang-pulang?" Ayah Harum langsung bertolak pinggang.
Pantaslah anaknya tidak betah, sambutan ayahnya saja begitu.
"Pak, disuruh masuk dulu." Ibunya Harum langsung menarik suaminya itu untuk masuk.
Sudah bad mood mendapat sambutan mereka seperti itu.
"Han, bantuin turunin tas aku." Harum kembali ke mobilku.
"Ya, Rum. Kamu masuk duluan aja." Rasanya aku ingin menaruh tasnya saja, kemudian tancap gas kembali.
Sayangnya, itu pasti sangat tidak sopan.
Aku melama-lamakan kegiatanku, sampai Harum berseru kembali bahwa kopi untukku sudah jadi. Akhirnya aku masuk, duduk di kursi tamu yang terlihat sederhana sekali. Harum bukan dari keluarga berada, ayahnya hanya memiliki usaha sembako di pasar. Tapi itu cukup untuk membiayai Harum sampai sarjana, adiknya Harum sekarang pun masih berkuliah.
"Saya kira, kamu udah gak sama laki-laki itu." Bapaknya selalu memancing emosiku.
"Handaru namanya, Pak," ujar Harum lembut.
"Kenapa? Mau ngelamar?" Nada bicara tinggi sekali.
"Belum, Pak. Mungkin tahun depan, ekonomi Saya belum mapan." Tidak juga, aku mampu membeli perumahan dengan pembayaran lunas nyatanya.
"Pastinya kapan?!" Gertakannya membuat nyaliku semakin ciut.
Bapaknya galak, anaknya tetap jebol juga.
"Belum tau, Pak. Saya sekarang masih bergantung sama ayah Saya, Saya belum mandiri." Tidak juga, ayah hanya bertanggung jawab padaku yang merupakan anaknya sendiri.
Tanpa ayah beri, aku mampu membeli makananku sendiri. Tapi ayah kerja untuk apa katanya, kalau tidak untuk memberiku makan juga.
"Nak, kalau nunggu mandiri itu lama. Kami malu tetangga pada tau, katanya Harum dibawa-bawa terus sama kamu. Katanya, Harum ada di geng mobil yang ceweknya dia sendiri."
Pasti dari sosial media.
"Gak juga, Bu. Banyak kok yang perempuan, cuma pas itu Harum yang ke-shoot. Saya ajak, karena pikir Saya sekalian liburan. Kalau buru-buru nikah, takutnya mental kita gak kuat karena langsung digojrot masalah ekonomi. Mau gak mau kan Harum harus resign dari pekerjaannya, jadi ngandelin pendapatan Saya aja. Yang namanya usaha, gak stabil dan gak ada patokan pendapatan, Bu. Kalau lebih, ya Saya bisa nabung untuk pernikahan kita. Kalau memang hasilnya gak sesuai, gaji karyawan pun kadang dibantu sama Ayah." Aku merasa lebih rileks berbicara dengan ibunya Harum, entah karena beliau gampang termakan ucapanku karena Harum juga.
"Kan kamu anak orang kaya, masa orang tua kamu gak mau bantu biaya pernikahan kamu?" Bapak Harum menimpali, ia mencerna ucapanku rupanya.
"Maksud Saya, biar gak ngerepotin gitu, Pak. Saya dari kecil ngerepotin terus, masa sampai Saya mau menikah pun harus direpotkan. Kan yang nikah Saya, yang enak pun saya, kenapa orang tua harus repot kehilangan biaya yang cukup besar, padahal bukan untuk diri mereka sendiri." Semoga mempan mulutku ini pada telinga ayahnya Harum.
Untungnya, Harum tidak menambah rumit diriku. Coba bayangkan jika Harum mengatakan 'masa?' atau 'ah, yang bener?' kan bisa tambah gugup aku jadinya.
"Berpikir untuk mandiri itu bagus, tapi kamu pikirkan ada keluarga yang malu karena kamu ngulur pernikahan sampai sekian lamanya." Bapaknya Harum mengangguk samar.
Termakan kan? Hah, mudah saja sebenarnya.
...****************...
Wajib komen 😚
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Red Velvet
Ini si Han boleh di tonjok gak, gatal banget ini tangan mau maki2 dia😠😤😤
2023-06-21
3
Red Velvet
pandainya abang bersilat lidah 🤨
2023-06-21
1
Red Velvet
pasti ada lah keperluan diluar yg kau tau. 🙄
2023-06-21
1