"Ya, ya, ya. Memang velg itu lagi susah." Ayah manggut-manggut dan berjabat tangan dengan Bunga.
Kesopanan Bunga patut diacungi jempol.
"Kamu dari mana sih, Han? Linda WA, katanya ketemu kamu di angkringan depan RS Pasar Minggu." Harum mengusap lengan atasku.
Arghhhh….
"Muternya jauh ya dari Bekasi, ke sana, terus ke rusun PJ. Padahal rusun PJ udah kelewatan pas baru pulang dari Pasar Minggu." Ayah terkekeh sumbang.
Harum menoleh sekilas pada ayah. "Kamu muter-muter, Han?"
Bunga sudah duduk di kursi yang berada di samping ayah.
"Iya, Rum. Nanya-nanya juga ke bengkelnya Andrew juga." Aku merangkulnya dan mengajaknya duduk di hadapan ayah dan Bunga.
"Padahal bengkel Andrew tutup kalau Minggu." Ayah menoleh ke samping kiri, di mana rumah Andrew berada.
Ayah membuat mulutku stuck untuk berdalih.
"Han…. Handaru." Harum membawa wajahku untuk menoleh ke arahnya.
Mata kami bertemu. "Kamu dari mana sebenarnya?"
Baru kali ini Harum menekanku.
"Kerja, Rum. Kamu gak percaya?!" Suaraku naik satu oktaf.
Matanya berkedip rapat, ia seolah tak percaya aku sedikit membentaknya. Segera ia langsung menunduk, kemudian ia menggosok matanya. Selama ini aku bersamanya, memang suaraku tidak pernah meninggi padanya. Apalagi, di depan ayah dan pegawaiku begini.
"Maaf, maaf." Aku merangkulnya dan mengusap-usap lengannya.
Sikapku semakin tak terkontrol pada Harum.
"Anterin pulang dulu, Han. Kasian udah malam." Ayah memperhatikan interaksi kami.
Bunga dan Harum sama-sama cantik. Diibaratkan, Bunga semenarik Ghea Youbi. Sedangkan, Harum sealim Shandy Aulia. Tapi mata dan hatiku sudah terperangkap pada Bunga.
Aku melirik ke arah jam tanganku, sudah pukul dua belas malam lebih. Mana besok Harum harus bekerja lagi, aku sih tidak masalah tidak datang ke tempat usahaku juga.
"Ayo, Rum." Aku merangkulnya.
"Nanti kamu habis Harum ya? Gilir." Ayah terkekeh geli.
Ayah berbicara dengan Bunga? Seperti itu?
Aku tidak melihat ekspresi Bunga, aku fokus membawa Harum berjalan ke arah mobil saja. Ia masih menundukkan kepalanya, sepertinya ia benar menangis.
"Han, aku khawatir sama kamu." Ia mengulangi kalimatnya, ketika kami sudah sampai di mobil.
"Aku nyetir, jadi gak sempat main HP." Aku membantunya memakai sabuk pengaman.
Harum pasti jijik duduk di kursi mobil yang pernah aku pakai untuk menggarap perempuan lain ini. Untungnya, ia tidak tahu dan tidak akan pernah tahu hal itu.
"Kalau urusan pekerjaan, kenapa dia cuma pakai daster?"
Arghhhh, aku ingin jadi pecundang saja.
"Aku gak paham, dia memang secuek itu sama penampilannya kali. Toh memang bukan jam kerja, dia gak dibayar di sini." Aku mulai menjalankan mobilku.
Aku sempat melirik ke arah ayah dan Bunga, mereka tengah akrab mengobrol seperti teman lama. Aku penasaran sekali, apa yang mereka obrolkan.
"Gak mungkin, Han. Di tempat kerja aja, dia udah kek artis. Kamu tau sendiri, gimana cara dia paduin warna." Harum mengusapi air matanya.
"Itu urusan dia, Rum. Aku gak mau tau tentang hal itu, aku gak tau apa alasannya pakai daster." Aku fokus pada jalanan di depanku.
"Munafik banget kamu jadi orang." Suaranya bergetar.
Apa ia merasa jika aku demikian?
"Munafik gimana? Kamu pengen kita berantem gara-gara daster yang dia pakai?" Aku ingin Harum tidak harus memikirkan itu semua.
Dirinya lemah jika sudah memiliki beban pikiran. Asam lambungnya sudah parah, ia bisa sakit mendadak jika stress dan kurang istirahat.
"Kamu kok jadinya emosian banget, Han. Aku gak habis pikir sih sama kamu, kenapa harus bohong dan segala macam? Kamu itu udah ketahuan." Harum setengah berteriak dan menunjukku dari samping.
Ya salam.
"Bohong apalagi?" Jalanan macet, aku memperhatikannya yang tengah meluapkan emosinya dengan tangis.
"Linda cerita dan kirim foto, kamu ke daerah Pasar Minggu itu sama keponakan ayah kamu namanya Latifah. Pas tadi jelasin, kamu abis kerja ini dan itu. Otak kamu di mana, Han?" Ia menjambak rambutnya sendiri.
Terdesak sudah.
"Ya udah kalau udah gak percaya." Aku mengedikkan bahuku.
Mobilku jalan merayap.
"Segampang itu, Han. Kamu gak ada perjuangannya banget untuk buat aku percaya? Capek sama kamu, Han."
Aku tidak mampu menjawab, aku sudah terpojokan. Aku membiarkannya, hingga ia sampai di depan kontrakannya. Aku pun membiarkannya turun sendiri. Ia memilih untuk mendiamkanku juga. Aku langsung tancap gas, begitu aku sudah memastikan bahwa ia masuk ke dalam kontrakannya sendiri.
Bukan hal yang buruk, saat aku melihat Bunga yang tengah mengobrol asyik dengan ayah. Namun, aku memikirkan bahwa setelah ini aku pasti akan disindir oleh ayah.
Bunga tidak mau diantar pulang. Saat aku kembali, ia memilih untuk order taksi online. Aku tak bisa mencegahnya, karena adanya ayah di sini.
Benar dugaanku, ayah menarik bajuku ketika aku hendak masuk.
"Jangan buat anak orang trauma sama laki-laki, Han." Ayah membuang napas panjang.
"Aku gak ada hubungan sama Bunga, Ayah. Trauma gimana? Aku gak khianati Harum." Ayah tidak banyak tahu kehidupanku, tapi tebakannya tepat semua.
"Ayah gak tau, tapi Ayah ngerti. Itu masalah kamu, terserah. Komitmen itu penting, lihat Ayah cuma menikah sekali seumur hidup." Ayah menepuk dadanya sendiri.
Menikah sekali seumur hidup, tapi ganti perempuan setiap kali ia butuh. Dulu memang tidak, tapi ia menggila setelah ibu tiada. Aku tidak pernah bisa menghakiminya, karena memang aku juga memahami kebutuhannya. Ia belum tua, usianya masih empat puluh lima tahun. Kondisinya masih prima, sehat dan bugar. Ia butuh penyaluran, tapi ia tidak mau menikah lagi.
Kadang aku memikirkan, jika tidak denganku, tua nanti ayah akan siapa yang mengurus?
"Apa bedanya aku sama Ayah?" Aku memberanikan diri untuk memandang wajahnya.
"Itu sialnya kamu, Han. Kamu mencontoh yang gak baiknya. Kamu gak seprofesional itu bermain perempuan, kamu yang nyesel dengan keputusan yang kamu ambil sendiri. Ayah begini, hati Ayah masih ke ibu kamu. Nah kamu, apa kamu bisa jamin perasaan kamu gak berpaling? Apa? Mau nyalahin Harum? Mau jelekin dia? Mau kasih tau keburukkan dia? Bahkan dari awal kan, kamu yang ngerusak dia? Kamu yang bawa dia dalam hubungan yang gak beruntung ini? Kamu kan yang ajak dia untuk zina terus? Tolong nipak ya?!" Ayah memelototiku.
Ucapan ayah tidak salah.
"Bilang, harus gimana Ayah bantunya?" Ayah menjeda kalimatnya. "Gak bisa itu, Han! Cuma diri kamu sendiri yang bisa menyelesaikan masalah tentang orang ketiga begini. Kamu udah dewasa, harusnya kamu lebih tegas tentang sesuatu yang merusak hubungan kamu. Bukannya malah terhanyut, apalagi perempuannya kelihatan gak punya kasihan ke kamu. Kamu itu manusia, dewasa, bernyawa, punya pendirian dan punya kemampuan untuk melawan. Kamu gak akan bisa direbut oleh perempuan lain, kalau memang kamu gak mau direbut dan gak mau ikut. Jangan jadi laki-laki yang bodoh. Udah pezina, tukang minum, tukang judi, ditambah gak punya harga diri dan mau dibodoh-bodohi perempuan aja. Setidaknya, harusnya ada satu kekuatan dari diri kamu sendiri untuk melawan apa yang gak harusnya terjadi di hubungan kamu." Ayah menepuk pundakku.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Ra2
rasanya aku ingin JD pecundang
ekhhh kamu ga nyadar emang kamu udh JD pecundang
2023-06-20
3
fitrizakiah
harum manfaatkan kejadian ini kamu hrs lebih tegas
cepat tekan Han biar cepat nikah
biar kamu tau sebesar apa posisimu
2023-06-20
3
mboke nio
jadi inget lagunya ada band...."manusia bodoh"...
2023-06-20
1