"Iya, Bapak. Apa hal itu dipermasalahkan?" tanyanya kemudian.
"Nanti kalau kerja, apa anaknya dibawa?" Pikiranku menjurus ke ekornya itu. P******nya besar, pasti karena ia sudah melahirkan.
Sebagai laki-laki matang, tentu aku sedikit paham tentang rahasia umum perempuan.
"Hmm, Saya belum ada anak," akunya tertunduk.
Mungkin memang belum ada anak, aku melirik ke tanggal lahirnya pun, ia kisaran masih berusia dua puluh dua tahun. Tapi keren sih, wajahnya imut sekali terlihat seperti masih remaja. Wajahnya ya, bukan bodynya.
"Lulusan…." Aku belum bertanya, aku tengah mencari dokumen penyertanya.
"SMA, Pak." Perempuan itu langsung menjawab.
Aku melirik ke arahnya, kemeja telur asin yang dilapisi dengan blazer berwarna hitam. Dadanya terlihat kecil, sedang bisa dibilang. Tapi p******nya itu, gueedee e polll.
Tubuhnya banyak tikungannya.
Aku pun masih ingat, tadi ia berpenampilan dengan rok span selutut yang ada sobekannya di belakangnya. Penampilannya ala kantoran sekali, padahal masih melamar pekerjaan.
"Gak masalah sebetulnya, yang penting bisa bercakap-cakap dengan baik." Yang aku butuhkan hanya pintar berbicara, selebihnya ya pasti diberi pemahaman tentang tanggung jawab pekerjaannya.
"Silahkan Bapak tanya, Saya akan menjawabnya. Agar Bapak tau bagaimana kecakapan bahasa Saya."
Menantang.
"Namanya siapa?" Aku belum melihat namanya di sini.
Aku masih memperhatikannya, mataku melihat ke mana-mana. Termasuk ke rambut hitam lebar yang digulung rapi, sayangnya telinganya mengembang dan ia tidak menggunakan perhiasan kecil di sini. Padahal telinga mengembang begitu, pasti sangat cantik jika dipakaikan perhiasan bermata kecil.
"Nama Saya Khairina Bunga Malati, biasa dipanggil Bunga." Ia tersenyum lebar saat menjawab.
Orang kejawen rupanya. Ya dilihat dari namanya sih, tapi aku tidak tahu juga.
"Sekarang tinggal di mana?" Aku tengah membaca CV miliknya.
"Di rusun PJ, Pak," jawabnya kemudian.
Rusun? Aku memperhatikannya dengan lekat. Tempat kelahirannya bukan di sini, aku berpikir ia perantauan.
"Sewa, Pak," lanjutnya dengan memamerkan giginya.
"Ohh…." Aku manggut-manggut mengerti dan menepis pemikiranku barusan.
"Untuk informasi aja, gaji di sini lebih rendah dua puluh persen dari UMK kota ini. Untuk posisi yang dibutuhkan sekarang adalah customer service, makanya tadi Saya bilang tentang kecakapan interaksi. Gaji lebih rendah dari pabrik swasta, silahkan dipikirkan kalau memang bersedia." Aku tidak pernah memaksa pekerja cocok dengan gajiku.
Ini bukan usaha besar, tapi bukan usaha kecil juga. Bisa dibilang, satu dua dengan bengkel. Lepas pasang body, tukar tambah pelek dan ban, stiker dan skotlet dan penambahan variasi estetika lainnya. Banyak jika ingin disebutkan satu persatu, karena bukan hanya variasi body luar saja, tapi juga bagian interior kendaraan juga. Tapi ya memang bayaran umumnya memang segitu, mungkin bayarannya satu dua dengan penjaga toko milik perorangan.
"Saya akan coba bersedia bekerja di sini, Pak. Karena bukan tentang gajinya, tapi Saya merasa tidak yakin dengan posisi untuk Saya itu. Saya tidak memiliki pengalaman kerja apapun sebelumnya, Saya harap Bapak di sini bisa membimbing Saya untuk posisi ini."
Aku tertarik dengan pembawaannya dan tutur katanya.
"Bisa, bisa." Aku yang bos malah bingung untuk menanggapinya.
"Jadi, Saya diterima untuk bekerja di sini?" Wajahnya sumringah sekali.
"Iya silahkan coba dulu aja." Aku merasa canggung di depannya.
"Jadi? Mulai kapan Saya bisa bekerja?" Ia terlihat bersemangat.
"Senin boleh, orang kantor minggu libur. Kalau yang di lapangan, mereka liburnya gantian, hari minggu tetap buka soalnya." Aku nampak sekali kurang baik dalam interaksi bahasa.
Jujur saja, aku tidak pernah berbicara dengan petinggi atau bos-bos lainnya. Pesan barang segala macam, ya lewat pengusaha yang merupakan kerabat atau teman juga. Selebihnya, memesan dari luar negeri yang pemesanannya menggunakan email dan secara online. Aku tidak memiliki relasi bisnis, jadi tidak pernah yang namanya rapat segala macam. Briefing di sini pun, paling tentang arahan pekerjaan saja.
Perempuan ini seolah beranggapan bahwa tempat kerja ini seperti pekerja kantoran mungkin ya? Ah, aku yang malah kacau sendiri membayangkan yang ada di pikirannya.
"Oh ya, satu lagi. Jangan pakai rok ya? Pekerja di sini banyakan laki-laki, pakai celana panjang biasa aja yang penting jangan training. Nanti ada seragam, tapi semacam kaos berkerah. Boleh berhijab, boleh gak, itu terserah kepercayaan masing-masing. Gak disediakan makan siang, jadi jatah makan siangnya diuangkan. Gak ada kantin, jam istirahat boleh keluar tempat kerja." Yang bekerja di sini, sebenarnya ya asal datang dan bilang ingin bekerja saja. Tidak perlu membawa CV seharusnya, kecuali mekanik khusus ya memang diperlukan hal-hal pendukung seperti ini.
"Kalau boleh tau, sistemnya kontrak atau bagaimana, Pak?" tanyanya kemudian.
"Yang penting rajin aja, masalah berapa lama bekerja tergantung kecocokan Saya dengan hasil kerja kamu." Bisa dibilang, ya buruh lepas.
"Baik, Pak. Apa ada tunjangan lain?"
Ya salam, apa yang ia bayangkan? Serupa dengan bengkel, toko sparepart kendaraan. Tempatnya pun tidak besar-besar sekali, besar tanahnya hanya sekitar 14x10 meter saja.
"Gak ada, uang makan aja adanya. Bensin, kesehatan, gak ada tunjangan. Daftar BPJS mandiri aja sendiri, yang bayar tiap bulannya itu untuk jaga-jaga." Tanganku jadi gatal ingin mencubit p****** besarnya itu.
"Untuk jam masuknya, Pak?" Ia menahan tawa.
Apa yang lucu dari jawabanku tadi?
"Masuk jam delapan pagi, pulang jam empat sore. Ada nomor yang bisa dihubungi? Nanti Saya masukin nomor kamu ke grup pekerja di sini, biar enak kamu nanya-nanya ke yang lain." Aku mengambil ponselku yang tegolek di samping laptop kerjaku.
"Maaf sebelumnya, Bapak di sini itu siapa ya?"
Ekhmmm, ia menggemaskan bukan?
"Oh, kenalan dulu dong makanya." Aku mengulurkan tangan kananku.
Ia tertawa lepas, salah satu gigi gingsulnya menambah manis wajah imutnya. "Boleh, Bapak," sahutnya dengan mengulurkan tangan kanannya.
"Handaru Albundio. Kakak berbicara dengan ownernya langsung." Aku memamerkan gigiku.
Eleh, makin renyah tawanya.
"Ownernya manis. Salam kenal Pak Handaru, katanya sih, Saya calon customer service di sini."
Arghhhh, nyes sekali sambutannya. Ia sepertinya asyik diajak ngobrol ataupun bergurau. Ia seperti paham, jika tadi itu aku dalam mode bergurau.
"Ohh, terima kasih. Kakaknya pun manis dan cantik." Aku menarik jabatan tanganku padanya.
"Tentu saja, Bapak. Perawatan Saya mahal."
Uwih, melongo jadinya.
Melihat ekspresi kagetku mendengar jawabannya itu, tawanya makin membahana saja. Kami sudah seperti teman akrab, padahal baru berkenalan barusan.
"Udah, Kak. Udah, Kak. Lama-lama nanti malah Saya nyaman." Aku tersenyum tipis dan menggelengkan kepalaku dengan menoleh ke arah lain.
"Nyaman-nyaman ya, Pak? Semoga, kenyamanan ini membawa kenaikan gaji." Ia terkekeh kecil.
"Aamiin, aamiin." Aku manggut-manggut saja.
Ehh, apa tadi? Ia malah menambah volume tawanya lagi, saat aku baru menyadari kalimatnya barusan.
...****************...
Untuk favorit, bisa dengan klik titik tiga di dasbor karya. Lalu pilih subscribe, agar dapat informasi update episode dari karya ini. Terima kasih 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Mr Buaya
HEI PAK HAN... OTAKNYA WKWK
2023-07-16
2
Tathya Aqila
semangat ya bunga😊
2023-07-16
1
Ra2
kira kira bunga atau Hema yg menyerah berjuang 🤔sampai bunga hrs menyandang JD janda lagi
2023-06-13
2