"Iya, Pak. Saya minta maaf untuk itu, Saya bakal percepat niatan Saya untuk nikahin Harum." Aku penjahatnya di sini.
"Terus ini ada apa? Bawa tas besar-besar begini?" Bapak Harum menunjuk tas jinjing yang berada di dekat pintu rumah.
"Han anterin aku pulang, Pak. Kontrakan di sana udah kurang aman, jadi aku lebih baik pulang ke sini lagi." Harum menundukkan kepalanya.
Ia membohongi orang tuanya, maka dari itu ia tidak berani membalas tatapan mata orang tuanya.
"Katanya kalau dari rumah, bolak-balik ke tempat kerjaan kamu jauh?" Ibunya Harum bersuara.
Harum langsung melempar pandangannya ke arahku. Haduh, alasan apa ya? Harum tidak memiliki alasan rupanya.
"Ya gak apa kali, Bu. Biar aman juga, di kontrakannya banyak laki-laki ngontrak." Aku tidak mungkin menjadikan diriku alasan, apalagi bersedia mengantar jemput Harum bekerja.
"Ya udah." Bapak Harum melangkah pergi ke dalam rumah.
Setelah menegur, memang beliau selalu seperti itu.
"Jadi nanti kamu pulang pergi kerjanya gimana?" Ibunya Harum memperhatikan anaknya itu.
"Nanti aku bantu biaya pulang pergi ojeknya, Bu." Sebelum Harum ngontrak pun memang seperti itu.
Kurang lebih enam ratus ribuan untuk ongkos ojek sebulan, aku selalu mengisi dompet elektroniknya untuk membayar ojek online yang ia pesan.
"Gak usah, Han. Kamu fokus untuk nabung aja." Harum mengusap lenganku.
Lah, ia termakan ucapanku juga ternyata?
"Tenang aja, Rum." Aku tersenyum lebar padanya.
"Nak, kalau ibu boleh minta. Jangan sering ajak-ajak Harum, kamu mau ketemu Harum tinggal ngapel ke sini aja." Sorot mata ibunya penuh harapan.
Masalahnya, bagaimana aku mendapat jatah jika begitu?
"Siap, Bu. Nanti kalau aku pengen ketemu Harum, aku lagi gak sibuk, aku bakal main ke sini." Tapi ngomong-ngomong, dengan begitu aku jadi lebih bebas dengan Bunga.
Harum pun tidak akan nekat mencariku, seperti saat kemarin di rumah ayah itu. Aku tinggal beralasan pada Harum, bahwa aku sibuk dan tengah mengurus usahaku yang di Bekasi saja. Atau bisa juga, aku tengah dikirim ayah ke Jambi. Intinya, akan semakin banyak alasan untukku untuk menghindari Harum nantinya.
Aku melirik jam tangan, pukul empat sore sekarang. Hmm, pasti Bunga sudah pulang.
"Kamu lihatin jam terus kenapa, Han?" tanya Harum kemudian.
"Barang datang hari ini, Rum. Ada ayah sebenarnya sih, tapi takutnya ayah udah di tempat kerjanya sendiri." Aku tidak berbohong, hari Senin sampai Kamis memang biasanya barang datang.
"Ya udah kamu ke sana aja dulu, orang kantor pun udah pada pulang. Takutnya, montir kamu gak ngerti ngecek apa yang kurangnya." Harum paling pengertian jika tentang pekerjaanku.
Aku mengangguk. "Aku pulang dulu ya? Nanti telpon aja, nanti kita ngobrol di HP aja tentang pindahan barang lainnya. Aku udah ngurus izin kamu gak kerja kurang lebih tiga harian."
Eh, sepertinya ada yang salah. Harum melirik ke ibunya, saat aku mengatakan hal itu.
"Kenapa izin gak kerja, Rum?" tanya ibunya kemudian.
"Harum sakit," jawabku kemudian.
Harum pasti tidak setuju dengan jawabanku, karena ia adalah orang yang paling menutupi keadaannya sendiri.
"Gak, Bu. Lagi kurang enak badan aja, soalnya banyak lembur kalau menjelang akhir tahun begini."
Benar kan?
"Oh, iya. Ya udah hati-hati, Nak Han." Ibunya Harum tersenyum ramah.
"Aku pulang ya, Rum?" Aku mengusap pundak Harum saat pamit.
Aku mengedarkan pandangan, rumahnya banyak perubahan sejak terakhir aku ke sini. Pintunya pun masih kayu mentah, maksudnya belum dipoles atau dicat. Pasti itu pintu baru. Rumahnya juga ada pagar pembatas sebatas teras rumahnya, meski pagarnya hanya sebatas perut saja. Harum meminjam uang pasti untuk keperluan rumah ini.
"Ya, Han. Makasih ya? Hati-hati." Harum mengantarku sampai ke depan rumah.
Aku mencium tangan ibunya Harum, kemudian langsung pergi. Entah bapaknya ke mana, ia tidak muncul lagi.
Rasanya kecewa, saat sampai di tempat kerja tapi tidak ada Bunga. Barang sudah datang semua, nama penerimanya pun Bunga. Pasti aku merusak moodnya, karena penampilannya sia-sia.
Ke rusunnya saja deh, toh aku pun punya kuncinya.
Jalanan cukup macet, karena sekarang jam pulang kerja. Aku baru sampai di parkiran rusunnya, ketika pukul enam kurang.
Tidak ada pikiran apapun, aku sudah menggebu-gebu ingin mengambil paksa jatahku. Toh, ia pun menerima jika sampai harus aku lakukan dengan paksa.
Napasku masih ngos-ngosan, aku masuk ke rumah miliknya dengan kuncinya yang aku simpan itu. Aku menguncinya kembali, karena aku berpikir akan langsung menggarap dirinya.
Sayangnya, keadaan rumahnya begitu sepi. Bahkan, Bunga tidak ada di dalam rusunnya sendiri. Aku sampai mengecek ke kamar mandi, untuk memastikan sendiri keadaan rusunnya. Memang benar, Bunga belum pulang.
Ke mana dirinya?
Aku rebahan di kamarnya, menikmati aroma tubuhnya yang tertinggal di spreinya. Aku berharap Bunga cepat pulang, kemudian aku bisa memaksakan kehendakku padanya. Lampu rumah sengaja tidak aku nyalakan, agar ia tidak menyangka bahwa aku sudah berada di dalam rumah.
Begitu sialnya diriku, sampai aku ketiduran dan terbangun dalam keadaan keroncongan. Bunga belum juga sampai, padahal waktu sudah menunjukkan amat malam sekali.
Akhirnya aku memutuskan pulang ke rumah, aku sia-sia menunggunya di sini. Setiap rasa kecewaku pada Bunga, seperti pembalasan dari Harum.
Biar esok akan aku cecar dirinya, tentang apa masalahnya sampai ia tidak pulang ke rusunnya. Kembali aku ditegur ayah, karena tengah malam baru berada di rumah.
Aku menghindari perdebatan dengan ayah, karena moodku tengah hancur sekali. Rasanya sesak sekali menantikan Bunga, ia seperti menyepelekanku. Padahal, aku sudah menghubunginya dan mengirimkan pesan. Tapi sampai sekarang, belum juga ada balasan.
Aku jadi berpikir, apa ia wanita panggilan?
Drttt….
Aku segera melihat notifikasi masuk itu. Senyumku langsung mengembang, ketika ada pesan dari Bunga.
[Aku di tempat Hema.] balasannya membuat senyumku sirna.
Aku sudah mengusahakan waktuku, agar bisa menemuinya. Tapi ia menggunakan waktunya untuk laki-laki lain, tepatnya mantan suaminya.
Ini karma bukan sebenarnya? Karma dari sikap datarku pada Harum, karma dari perasaan Harum yang tidak terbalaskan olehku.
[Aku kangen, capek nungguin kamu di rusun.] balasku padanya.
[Aku izin kerja besok, Bang. Kalau gak boleh, nanti aku buat surat dari dokter.]
Lah, ia tidak meresponku. Ia malah mengalihkan topik pembicaraan lain. Sesakit ini mencintai bajingan.
[Rumah Hema di mana? Aku jemput.] nyatanya, aku semakin menggebu untuk memilikinya.
Ia sama sekali tidak meresponku meski sampai aku bangun esok paginya. Aku bekerja seharian penuh pun, dalam urat wajah yang tidak bersahabat. Rasa kesalku pada Bunga belum habis, aku ingin mencecarnya kenapa ia sampai menginap di rumah Hema.
Aku seperti dibuat gila dengan perasaan dan pikiranku sendiri. H*****ku menggebu, n****ku memuncak, emosiku tersulut, rasa kecewaku penuh, tapi aku rindu juga.
Entah ini karma, atau memang kurangnya aku untuk memikat Bunga. Aku ingin meminta bantuan orang lain, agar Bunga bisa berada di dalam genggamanku selamanya. Menghamilinya, itu bukan cara yang tepat untuk membelenggunya. Yang ada aku kebakaran jenggot, karena anakku tumbuh dan berkembang di tangan perempuan gila seperti Bunga.
Aku tidak masalah jika ibu dari anakku adalah Bunga, tapi aku mau diriku harus ikut andil mendidik anak dari ibu gila sepertinya. Bunga tidak bisa dilepas untuk mendidik anak, karena hatinya sudah rusak.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
fitri ristina
ya iya...sam rusaknya dengan hatimu...
2023-06-22
3
Auralia Citra Rengganis
Buat Handaru
2023-06-22
2
chaia
sadar sih emng bunga gila...ga cocok buat gedein anak....tp hawa nafsu semakin menjadi...ego bahwa aku harus bisa milikin yg susah dapet😌
2023-06-22
3