….dititipkan ke saudara aku di Aceh. Tapi sekarang akses komunikasi kami terputus, aku tak kuasa nanya anak aku ke saudara yang lain, karena aku takut mereka kasih tau fakta ini ke ayah kandung aku. Aku minta ke saudara aku, untuk tutup rapat-rapat tentang identitas anak aku dari lingkungannya. Aku pun tak berani pulang tanpa Hema, aku bingung mau jelasin apa tentang rumah tangga kami. Hema mau antar pulang ke sana, tapi sekalian pulangkan aku ke ayah aku. Aku yakin ayah tak siap, dia udah percaya seratus persen ke Hema."
Rumit, aku kasihan padanya.
"Jangan jadi pecundang, Bunga. Hadapi, itu resiko kamu." Masa iya mau menyembunyikan terus keadaan rumah tangganya dari keluarganya?
Ia menggeleng samar, ia mengambil bantal yang berada di jangkauannya dan memeluk bantal tersebut erat sekali. Tangisnya lebih pilu dari sebelumnya, aku tak tega melihat keadaannya sekarang.
Aku berpindah duduk di sampingnya, membawanya bersandar di lenganku dan tanganku merangkulnya melewati tengkuknya. Perlahan aku menarik bantal tersebut, Bunga langsung reflek mengalungkan tangannya ke dadaku dengan erat. Aku menyandarkan punggungku, Bunga juga menyandarkan kepalanya ke dadaku.
Tangisnya masih belum berhenti. Aku mungkin adalah teman pertama yang mendengar keluh kesah dari mulutmu, aku yakin pasti sangat sulit memendam kepedihan ini selama setengah tahun hidup dengan mantan suami tanpa teman bercerita.
"Jangan ada dendam, pasti alasan Hema bukan cuma kecewa karena kamu kasih anak kamu ke saudara kamu aja. Mental seorang pecandu itu diobrak-abrik pikirannya sendiri, Bunga. Mungkin ada masalah besar, yang buat dia milih lepasin kamu. Dia sayang banget sama kamu, kelihatan sekali dari sikapnya dan pancaran matanya." Aku tadi mencerna ceritanya yang mengatakan bahwa mantan suaminya 's*k*u'.
Aku paham hal itu terjadi karena apa.
"Dia buang aku, keluarga aku buang aku. Aku sama siapa lagi coba?" Ia mendongak sesaat, kemudian membasahi kemeja navyku kembali.
Katanya ia kaya? Tak mungkin hanya dari Hema saja, keluarganya pasti menurunkan warisan. Tapi kenapa bahasanya dibuang? Harus dari mana aku mengulik tentangnya?
"Kan sama aku, kita bestie sekarang." Aku merubah nada bicaraku seperti anak kecil.
Bunga terkekeh. "Tapi Abang laki-laki." Ia mendongakkan wajahnya dan tetap memperhatikanku dari bawah.
"Ya udah bestot." Aku hanya mencoba membuatnya tenang karena kehadiranku.
"Bestie nge**** dong?" Ia tertawa renyah.
Meski sempat kaget, aku tetap membaurkan tawanya. Dari sejak di ruangannya, aku paham jika ia suka dengan candaan yang sedikit dewasa.
"Oh, bisaaaaa," sahutku membuat tawanya menggema.
Siapa keluarganya? Bagaimana ceritanya? Rasanya aku ingin bertanya langsung pada mantan suaminya.
"Abang sama perempuan yang di ruangan itu, tinggal bersama kah?" Bunga melepaskan pelukannya, ia sudah tidak bersandar di dadaku lagi.
"Harum maksudnya?" Aku merapikan kemejaku yang sedikit kusut karenanya.
"Ohh, Harum namanya? Aku Bunga, dia Harum? Abang pilih yang mana? Apa mau sekalian, jadinya bunga harum?" Ia sudah terlihat ceria lagi.
"Pilih bunga Bank aja, ada gak?" Aku terkekeh kecil.
Aku memperhatikannya yang memutari mesin cuci dan memperhatikan printilannya.
"Uhh, bunganya rendah, cuma tujuh persen pertahun. Aku pernah soalnya." Ia meliukan tangannya seperti bencong.
Aku jadi terbahak-bahak dengan tingkahnya. Ingin jaim padanya pun bagaimana? Ia selalu bisa membuatku tertawa lepas, hingga sulit untuk menahannya.
"Ayo kita pindahin ke belakang, Bang." Bunga berusaha mengangkat sisi mesin cuci tersebut.
"Ayo." Aku lekas bangkit dan membantunya.
Aku membantu pemasangan instalasi kecil, karena di ruangan belakangnya tidak memiliki colokan listrik. Hingga akhirnya mesin berputar, kemeja navyku pun ikut masuk ke gilingan tersebut karena kata Bunga kemejaku terkena ingusnya.
Bagaimana penampilanku sekarang? Tentu saja mengekspos dada bidangku di depan janda genit ini.
"Abang, siapa Harum itu?" Ia menghampiriku yang tengah meluruskan punggung di sofa panjang.
Aku menunda untuk membalas pesan dari Harum, karena Bunga lebih menarik untuk aku ladeni.
"Pacar, kenapa?" Harum adalah tunanganku. Tapi jika aku menjawab demikian, aku takut ia menjauhiku.
Aku nyaman memiliki teman sepertinya.
"Oh ya? Tinggal bersama kah? Tetangga rusun aku, ternyata banyak yang tinggal bersama loh. Soalnya yang nyewa di pusat, disewakan lagi dengan harga lebih tinggi. Kan Abang tau sendiri, kontrakan satu petak pun sampai nyampai satu setengah juta. Jadi rusun yang cuma berapa ratus aja, pastinya dimanfaatkan oknum." Jemarinya bermain ketika berbicara. Tangannya bertumpu pada lututku yang menekuk satu, agar ia ada tempat untuk duduk di dekatku.
"Gak kok, dia ngontrak sendiri sama temannya. Aku tinggal sendiri, mau main ke sana?" Aku berpikir, agar ketika aku sakit ada yang datang menengokku.
"Boleh deh kapan-kapan. Tapi aku bakal ngaku kalau aku ini istri orang, pas aku kenalan sama orang tua Abang. Biar Abang dimarahin, karena udah bikin istri orang datang ke tempatnya." Bola matanya berputar, ekspresinya bermain sekali ketika berbicara.
"Wah, jangan dong." Aku menarik tangannya.
Ia bisa menahan bobot tubuhnya, agar tidak terhuyung menindihku.
"Pasti lucu betul ekspresi orang tua, kalau tau anak bujangnya rusak rumah tangga orang." Ia terkekeh geli, dengan melepaskan cekalan tanganku di tangannya.
"Kamu kali yang ngerusak hubungan aku sama Harum." Aku menempatkan kedua tanganku di belakang kepala, agar digunakan sebagai bantal.
Bulu ketiakku terekspos.
"Wah masa? Abang kali yang naksir aku, tapi sayang untuk ninggalin Harum." Tawanya meledek sekali.
Jangan sampai hubunganku berada di titik itu. Aku pemain wanita, tapi aku jangan sampai mempermainkan perasaan wanita.
"Kita lihat nanti ya???" Aku terkekeh kecil.
"Jangan nantangin orang gila loh? Hal bodoh sekalipun pasti akan aku lakuin kalau aku udah mau." Ia menggelitiki rusukku.
Geli sekali.
Aku terbahak-bahak lepas, menahan tangannya dan sampai membawanya jatuh ke atas tubuhku. Namun, posisi ini membuat tawa kami lenyap. Kami saling memandang, sebelum Bunga menyadari ada yang hidup di antara tubuhku.
"Abang sih gitu bercandanya." Ia meninggalkanku ke ruangan belakang.
Aku tidak akan mengejarnya, karena aku yakin pasti aku akan memper***a dirinya sekarang juga. Harum terlelap karena mabuk pun, aku tega menggarapnya. Apalagi memp******a janda, yang jelas aku dipersilahkan masuk ke dalam rumahnya.
Bunga bisa habis dan koyak dalam sekejap.
"Abang…. Udah aku coba benerin selangnya, tapi airnya tak keluar-keluar ini."
Ya salam, segala ia memanggilku lagi.
"Jadi, Abang yang keluarin nih? Nanti b***k gak?" Aku bangkit mencari keberadaannya.
Sesak sekali celanaku dibawa berjalan begini.
"Hei, apanya coba?" Bunga terkekeh dengan menutupi mulutnya.
"Ngeres ya? Mau sekalian dibuat kotor kah, terus mandi junub?" Aku berjalan mendekatinya.
"Apa sih, Abang?!!" Ia menahanku, saat aku meraih pundaknya.
...****************...
Aku menagih komentar 😙
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Tathya Aqila
kamu pasti bahagia bunga
2023-07-16
2
Edelweiss🍀
Lelaki memang begitu mulutnya😌 Cara Bunga nolak Han jd keingat sama mamah Dinda terus nih mungkin karena mereka sama2 survive setelah pisah dari suami
2023-06-15
1
Red Velvet
Bunga tak seharusnya kamu menyembunyikan semua ini dari keluarga kamu, dan Hema juga apa sih sebenarnya yg membuat kamu melepaskan Bunga🤨
2023-06-15
1