Terkejut Almero, pemuda yang baru saja hendak memasuki alam mimpinya itu segera beranjak dari ranjang nyamannya, karena suara cempreng sang bibi yang berteriak sekencangnya.
Dari jendela kamar Almero yang terletak di lantai tiga itu, ia dapat melihat balkon lantai dua yang digunakan untuk tempat menjemur pakaian.
Dari sana ia melihat Maya dengan tatapan kosong tengah menjemur cucian, bahkan tanpa di kering, terlihat kain-kain itu masih meneteskan banyak air.
"Kak Maya nyuci?" gumamnya yang juga Ikut-ikutan dilanda kebingungan, masih terdengar omelan-omelan dari Riana atau bibinya Almero, ibu biologis dari Maya.
Namun tak bertahan lama rasa penasarannya, segera kedua manik hitamnya menemukan sosok cantik yang tengah duduk di atas atap dengan mengayun-ayunkan kakinya.
"Dasar! Pasti ini ulahnya!" gumam Almero dengan menatap lurus kearah dimana Freya berada.
"Freya, kemarilah! Aku merindukanmu!" ucapnya dengan terus menatap kearah Freya.
Percobaan iseng-iseng mengirim telepati itu tak di sangka berhasil, Freya menoleh kearah Almero, detik berikutnya gadis itu menghilang, dan...
"Anda merindukan hamba Tuan ku?" berbisik Freya, kini ia sudah berdiri tepat dibelakang Almero, memeluk pinggang pemuda tampan itu dengan kedua lengannya, bahkan jemari lentiknya saling terkait di depan perut Almero.
"Apa yang kau lakukan?" Almero sedikit menoleh kearah Freya yang asik mengusakkan kepalanya pada punggung bidang sang Tuan.
"Hamba sedang mencari kenyamanan," sahutnya tanpa rasa bersalah.
Kesepuluh jemari lentik yang asik saling terkait di depan perut kotak-kotak milik Almero terpaksa harus terlepas, karena si pemilik tubuh bidang nan berotot seksi ini dengan paksa melepasnya.
Berbalik Almero menatap Freya yang masih gamang ditempatnya, jujur saja gadis itu sedikit merasa bingung dengan ekspresi sang Tuan saat ini.
Dingin, juga bengis, apakah ia sudah berubah? Tapi Freya sedikitpun belum menciumnya.
Apa jangan-jangan, dia sudah bisa muncul tanpa ciuman? Tunggu! Tapi kedua matanya masih berwarna hitam.
Tapi bukankah makhluk satu ras seperti dirinya bisa berubah-ubah? Bahkan Freya sendiri bisa merasuk kedalam alat tulis dan juga benda lain, merubah warna kornea bukan masalah besar baginya.
Masalah besar bagi Freya, demi daun kering yang rontok tertiup angin, Freya sangat takut jika sampai ia menggoda Benjamin Almero yang sudah masuk kedalam mode vampir.
Tanpa ia goda saja laki-laki itu sudah membuatnya encok semalaman, apa lagi jika sampai dia yang memulai duluan, bisa sampai pagi tiada henti.
Melayang kesana kemari pikiran Freya hingga sang Tuan kemabli bersuara...
"Sekali lagi aku tanya, apa yang kau lakukan?!" sedikit penekanan Almero bertanya, jujur saja keberanian Almero membuat Freya sedikit menciut.
"Tidak ada, anda bisa lihat sendiri hamba diam di sini," sahutnya.
"Tadi! Setelah kau mengambil alih pakaian kotor itu dari ku, apa yang kau lakukan?" masih bersabar Almero menginterogasi Freya.
"Hah?" loading otak gadis vampir itu kala mendengar pertanyaan seputar pakaian kotor, buyar sudah ketakutannya, ternyata yang dihadapannya saat ini hanyalah mahasiswa polos yang mengkhawatirkan pekerjaan rumahnya.
"Kau ini, selain jahil ternyata tuli juga ya?!" gertak nya.
"Maaf Tuan, apa maksud anda?"
"Nah, sekarang bertambah bodoh juga!" sergahnya. Menghela napas juga mengontrol emosinya, yang Freya lakukan setelah di prank oleh pikirannya sendiri.
"Astaga! Hamba tentu saja mencuci pakaian kotor itu, apa lagi?!" sedikit naik satu oktaf nada bicara Freya.
"Lalu kenapa di sana kak Maya yang menjamurnya?" terus saja Almero mencecar Freya dengan pertanyaan seputar cucian.
"Em... itu..." netra merah darah milik Freya meliar kesana kemari, seolah mencari alasan agar dapat diterima oleh sang Tuan.
"Freya Victoria!" bentak Almero dengan nada yang tidak biasa, tinggi juga penuh dengan tekanan.
"Iya, iya ok! Baiklah, hamba memang yang menggerakkan tubuhnya untuk mengerjakan pekerjaan rumah itu," menaikkan satu alisnya Almero kala mendengar penjelasan Freya, melihat itu Freya secepat mungkin mrncari alasan agar sang Tuan tidak lagi memarahinya.
"Begini Tuan, bukankah calon ibu mertua di luar sana suka dengan anak gadis yang rajin, juga laki-laki pastinya akan bangga dengan istri yang mengerti pekerjaan rumah..." cetus Freya, dengan senyum kikuknya. Karena saat ini Almero masih terus menatapnya.
"Emh... dari pada itu lebih baik Tuan memikirkan pelatihan Tuan dalam menyatukan kedua jiwa Tuan yang bertolak belakang," ususlan berguna itu Freya gunakan untuk mengalihkan pembicaraan, tentu saja Almero paham dengan maksud terselubung gadis itu.
"Sekarang?" dengan satu alis yang terangkat lagi Almero bertanya, "Hehe... bukankah lebih cepat lebih baik?" dengan nyengir kikuk, Freya bertanya kembali.
"Haaahhh... Baiklah!" pasrah Almero dengan rencana yang Freya usulkan.
^^^Di sisi lain...^^^
Hutan lebat itu sudah puluhan kali diputari oleh Alan dan Alvin bersaudara, bahkan tak jarang ia kembali ke tempat awal, sengaja juga ia memasang tanda di setiap jalur yang pernah ia lewati.
"Kemana lagi kita akan mencari?" gumam Alan yang mulai frustasi mengenai hilangnya si adik cantik yang selalu bikin panik.
"Etahlah... sepertinya otak ku tidak bisa berpikir, bagaimana jika kita berburu dulu?" Alvin terlihat semakin pucat karena sedari mendengar hilangnya Freya ia tak sempat mengisi energinya.
"Makan saja di otakmu Vin! Adik kita belum ketemu, bagaimana jika sampai Daddy mendengar berita ini?!" sedikit tersulut emosi Alan mendengar usulan sang kakak.
"Ya makanya kita isi energi dulu baru lanjutkan pencarian! Kalau kita sampai lemas tak ada tenaga, bagaimana akan berpikie, penglihatan ku saja saat ini mulai kabur," cerocosnya dengan suara yang semakin pelan.
"Heh... Kakak beradik saja bisa saling bertengkar, pantas saja jika ada satu ras kalian saling membunuh!" suara seorang gadis yang terdengar begitu sinis membuat Alan dan Alvin menoleh secara bersamaan.
"Keluarga yang sangat tidak harmonis! Lalu untuk apa kalian hidup jika hanya berebut kedudukan, untuk apa kalian hidup jika hanya untuk bertengkar? Sangat tidak penting!" celetuknya lagi.
Alvin dan Alan masih celingukan mencari dimana sumber suara itu berasal, "Siapa kau?! Tunjukkan jati dirimu! Jangan sampai aku yang menemukan mu lebih dulu!" teriak Alvin dengan mencoba sekuat tenaga menajamkan indera penglihatannya.
"Tak perlu bersusah payah! Kekuatan mu perlu makan juga!" seorang gadis perlahan melayang dari atas pohon dan turun tepat di hadapan Alvin dan Alan.
Mengendus aroma yang tak asing Alan menyeletuk, "Cih, bangsa Anjing!" celetuk Alan dengan tatapan dinginnya.
"Walau kami sejenis Anjing, setidaknya kami setia dan rukun dengan kelompok kami, tidak seperti ras nyamuk penghisap darah kalian itu!" cibir gadis itu dengan bersidekap dada.
"Kau!" Alan tersulut emosi karena ucapan gadis cantik bermulut pedas itu.
"Kenapa? Heh... Aku memang masih muda, tapi cerita nyata yang kalian tutup-tutupi itu, bangsa kami mengetahui kebenarannya, bahwa makhluk seperti kalian itu rela saling membunuh hanya demi sebuah kedudukan!" senyum yang merendahkan itu terkembang di sudut bibir gadis itu.
"Sangat tidak etis!" imbuhnya dengan gerstur tubuh yang sangat menjengkelkan, terlihat songong tapi tak dapat dipungkiri kalau gadis itu sangat cantik, dan pas dengan sifat songongnya.
"Jaga bicaramu!" lagi-lagi Alan bersuara, entah mengapa si vampir yang biasa dingin dan pendiam itu kini berubah menjadi pemarah, mungkin karena gadis itu mencemooh bangsanya.
"Al, tenanglah!" Alvin kali ini lebih tertarik untuk mendengarkan penjelasan dari gadis bangsa serigala itu.
"Hey, Nona, kalau boleh tau siapa nama mu, dan sejauh apa kau tau tentang cerita masalah bangsa kami?" sedikit lembut Alvin menanggapi gadis yang ia anggap seumuran dengan Freya sang adik.
Memicingkan kedua mata, gadis itu menatap curiga kearah wajah tampan Alvin, "Memang, apa untungnya aku menjawab?"
"Sangat beruntung, kulihat tulang rusuk mu masih cidera, bagaimana jika kita berburu bersama, aku hanya meminta darah dari mangsa saja, selebihnya untukmu," bermain cantik memanglah cara Alvin, si tampan dengan mata merah darah itu selalu menggunakan otak daripada otot.
Berhasil nyatanya, kini gadis itu terlihat bimbang, bahkan berkali-kali netra birunya menatap kearah Avin, mungkin ia sedang berpikir, bisakah laki-laki itu dipercaya?
Dan lagi jiwa muda gadis itu berkata, "Apa salahnya jika dicoba?" gumamnya yang kebetulan didengar oleh Alvin.
"Kau setuju? Siapa nama mu gadis cantik?" semakin manis saja Alan berucap, semakin merah pula wajah gadis itu.
Mengangguk imut gadis muda itu, "Lovie..."
"Tunggu! Kau anak dari raja Adolf?!...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments