Menjadi Seorang Ning

Menjadi Seorang Ning

Bakal Tikus

"Woy, tugas animasi kita kali ini apa?" pekik Wendi.

"Gimana, kalo animasi ilustrasi tentang kerasnya dunia?" saran Kanaya.

"Bodo lu! Ya, kali ada anak kecil mau liat begituan, mending juga mereka liat cinta-cintaan," timpal Megi.

"Gimana ... kalau kita buat animasi soal seorang wanita yang berpindah ke tubuh seseorang?" potongku.

Kami ber-empat sedang melingkar di kelas memikirkan tugas yang diberikan oleh salah satu guru.

"Ha? Gila, lu? Yakali, ada orang yang mau liat kayak begituan," protes Wendi. Satu-satunya laki-laki di geng kami.

Sebenarnya, kami sebelumnya tidak menerima anggota cowok. Tapi, karena kesian melihat Wendi yang tidak punya teman dan selalu di bully.

Jadilah kami memungut dia, dia dijauhi dan di bully bukan karena sebab. Dirinya jauh lebih kemayu daripada kami bertiga.

Bak kata orang-orang, ya, dia yang lebih keliatan seperti cewek dibanding kami apalagi aku. Beuh ....

"Jadi, menurut lu orang-orang pada mau liat animasi yang gimana? Yang pacaran, gandengan tangan? Halah, itu udah biasa!" kritikku dan bangkit dari bangku.

Eh ... tunggu, Guys! Kalian mau kenalan sama satu per satu temen aku, gak? Kita juga belum kenalan, ya, 'kan? Tak kenal maka tak cinta, udah kenal boleh deh sama duda kaya raya. Ups ....

"Tapi, Mega Gavesha. Hal semacam itu gak masuk akal, tau, gak?" Kanaya tak kalah protes juga atas usul yang kuberikan.

Yap! Mega Gavesha adalah nama yang disematkan pada wanita yang manis dan unyu ini sekitar tujuh belas tahun lebih satu bulan yang lalu.

"Kita itu harus jadi anak muda yang beda, beda dari orang-orang lain. Kalau soal percintaan apalagi soal kenakalan di animasi begitu mah dah biasa banget.

Hal yang beda harus kita lakukan, masa kita mau sama kayak orang-orang, sih? Gak zaman banget tau!" ujarku pada mereka semua.

Kutatap mereka yang semula kubelakangi, "Gimana?" sambungku.

Mereka menggelengkan kepala dan menatapku seperti orang aneh, "Kalian kuno banget, sih? Itu bagus, tau! Udahlah, gue mau ke kantin aja!" putusku dan pergi meninggalkan mereka di dalam kelas.

"Buk Nining, bakso tikusnya satu mangkuk, ya!" pintaku dengan suara sedikit teriak membuat orang yang ada di kantin langsung menatap.

"Hahaha, becanda kali! Yakali, Buk Nining mau ngasih kalian makan daging tikus. Seharusnya kalian semua mah dikasih makan daging buaya!" sambungku dengan tertawa melihat wajah panik mereka.

Padahal, kalo pun beneran emangnya mereka tahu kalau itu daging bakso tikus dan enggaknya?

''Lu, ya, Mega demen banget buat orang jantungan!'' kesal Bik Nining memukul lenganku.

''Lagian mereka, sok takut segala makan daging tikus. Giliran makan uang korupsi dari Maknya biasa aja tuh,'' cibirku bersandar pada meja jualan Bik Nining menatap manusia-manusia yang pada akhirnya di medsos milik pribadi akan ada tulisan ''Info loker.''

Setelah menunggu lima belas menit, pesananku sudah selesai dan Bik Nining langsung menyerahkannya padaku.

Ya ... memang sistemnya di sini sangat mandiri, pembeli harus mengambil makanan yang dia mau sendiri.

Kalau di cafe-cafe, pasti udah gak laku nih kalau begini modelnya. Eh, tapi, beda halnya di luar negri.

Bahkan, ada juga yang sampai tidak punya penjaga. Mereka memberikan kepercayaan penuh pada pembeli.

Kuletakkan mangkuk dan duduk di meja paling sudut, tempat favorit-ku dan teman-teman biasanya.

Kuambil handphone di saku baju sekolah dan membuka aplikasi yang paling tahu segala hal di dunia ini bahkan gambar surga saja dia tahu, woy?!

Hebat banget, 'kan? Kuketik apa yang ingin kucari sambil menambahkan saos juga cabe kecuali kecap, soalnya aku gak suka.

Ning merupakan sebutan atau gelar bagi keturunan Kyai bagi perempuan. Gelar ini menjadi pertanda bahwa seseorang memiliki tugas yang berat!

Hal ini sesuai dengan filosofi kata, 'Ning' sendiri yang berasal dari kalimat berbahasa Jawa, 'Beningno ati' yang berarti jernihkan hati.

Orang yang bergelar demikian hendaklah bisa menjernihkan hati agar menjadi contoh yang baik bagi pengikutnya/santri.

Sambil mengunyah bakso, aku membaca pengertian dan melihat bagaimana sebenarnya dunia pesantren itu.

Btw, aku mulai tertarik dengan hal berbau islami ini saat membaca sebuah novel yang menunjukkan kisah bagaimana seorang Ning menikah dengan Gus.

"Tugas yang berat? Apakah yang berat di situ adalah saat dia dijodohkan dan dipaksa nikah, ya?" gumamku menatap lurus ke depan.

"Enak kali, ya, jadi seorang Ning? Bisa nyuruh-nyuruh santri dan makanan dimasakkan. Ntar ... kalo aku gak suka tinggal ngadu ke Umik hahaha." Aku tertawa sendiri membayangkan bagaimana kehidupan-ku jika menjadi seorang Ning.

Hidup yang bisa memerintah orang banyak, dinikahkan dengan Gus yang ganteng juga sabar serta orang tua yang sangat sayang sama anaknya.

Wajar, aku dan ketiga temanku korban broken home semua. Tapi, tenang! Kami semua kaya, jadi orang tua kami selalu berpikir bahwa yang terpenting adalah uang di dunia ini.

Gak perlu tuh, sosok orang tua yang memberi kasih sayang atau bahkan pengertian juga cinta ke anaknya.

Seperti aku, aku adalah anak tunggal dari orang tua yang dibilang berada. Papaku seorang anggota DPR dan Mama kepala sekolah yang cukup terkenal.

Tapi, aku bukanlah sekolah di mana Mama bekerja. Aku sekolah di SMK Negeri 6 dengan mengambil jurusan animasi.

Orang tuaku menentang? Tentu saja tidak, mereka tidak peduli apa pun yang aku ambil untuk hidupku.

Aku tinggal bertiga dengan Bibik juga tukang kebun di rumah, mereka suami istri yang merawatku dari kecil.

"Si anj*ng, dicariin ke mana-mana malah makan bakso!" omel Kanaya si paling beda agama dari kami ber-empat.

Dia ... mmm ... wanita cukup cantik, berkulit cokelat dan tinggal bareng Ibunya. Dia udah punya pacar dan kalau udah ketemu sama pacarnya.

Beuh ... bucinnya gak ketulungan, paling banyak mantan di antara kami karena gampang di tembak juga dan pasti langsung nerima siapa saja.

"Tau, tuh! Orang lagi pusing juga bahas soal tugas malah asik di sini dia nelan daging tikus buatan Bik Nining," protes Megi wanita yang namanya mirip samaku.

Banyak orang kira kami kembar; Maga, Megi padahal wajah kami juga orang tua beda. Aku terima dia sebagai teman juga sebab itu, karena nama kami rada mirip.

"Bik Nining, Megi ngehina bakso bibik!" pekikku mengadu dengan tersenyum jahil ke arah Megi.

"Heh! Kamu, ya, mau gak Bibik kasih lagi makan di sini? Mau makan di mana kamu, ha?" tegur Bik Nining yang selalu emosi setiap kali kami datang ke kantin.

Aku dan lainnya tertawa kecuali Megi yang cegengesan tak jelas, ia mengepalkan tangan ingin memukul diriku.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!