Aku duduk di bangku halaman rumah, menghirup udara malam yang sepi. Pak sopir tidur di pos penjaganya.
"Pak! Itu jualan apa?" pekikku kala mendengar suara penanda adanya pedagang masuk komplek.
"Cilung Non!"
"Panggilin!" titahku dan berusaha bangkit dari bangku. Setidaknya, aku masih bisa memaksakan kaki untuk jalan.
"Pak, cilung artinya apa?" tanyaku melihat ke arah jajanannya.
"Aci gulung Non," celetuk sopir yang ada di belakang-ku.
"Lah, Bapak mau ngapain?"
"Hehe, nunggu bagian Non," jawabnya dengan cengengesan.
"Bapak ambil duit, gih! Minta sama Bibik dulu, saya gak bawa duit ini."
"Oke!"
Ia berlari masuk ke dalam rumah dengan berlari, "Pak, pesen 10rb dua bungkus, ya!" pesanku tersenyum ramah ke arah pedagang.
Tak lama, sopir datang membawa uang lima puluh ribu dan membayar pesanan. Sedangkan aku masuk duluan saat apa yang kumau sudah dapat.
Kembali duduk di bangku dan melihat sudah ada air putih karena cilungnya memang dikasih saos sama pedagangnya gitu.
"Kalo jadi anak dari Kyai, ada masalah kayak gini, gak, ya? Masalah mereka kira-kira apa, ya? Apakah seperah aku?
Kayaknya ... enggak, deh! Karena, bagaimana pun orang tuanya juga berilmu agama dan pasti akan sangat sabar.
Sedangkan keluargaku? Aku aja sampe lupa berapa rakaat salat-salat pada, sangking gak pernah diajarin dan udah lama gak salat," gumamku sambil mengunyah cilungnya.
"Nih, Non. Kembaliannya," ujar sopir memberikan tiga puluh ribu lagi. Ia menghela napas dan duduk di sampingku.
"Kenapa ngelamun di sini Non?"
"Biar lebih enak aja."
Sopir mengangguk mendengar jawaban dariku, "Bapak pernah ingin ngerasain dunia orang lain, gak? Kayak ... Bapak pengen keluar dari dunia Bapak dan pergi ke dunia orang lain," ujarku bertanya.
"Pernahlah Non."
"Dunia siapa Pak?"
"Non. Tapi, saya tau kalo pasti gak akan bisa. Soalnya saya cowok dan Non cewek," jawabnya membuat aku kesal.
"Gaya bener mau jadi saya, liat luka aja Bapak gak kuat apalagi rasainnya nanti," ejekku mengalihkan pandangan.
Cilung dan air minum sudah habis, aku bangkit dan berniat meninggalkan sopirku, "Mau ke mana Non?"
"Mau tidur, besok saya mau ke pantai soalnya," ungkapku dengan tertatih.
"Pergi sama siapa Non?" pekiknya yang masih bisa kudenger.
"Sama temen!"
"Saya anterin aja dan jemput, gak boleh sendirian Non!"
"Gak sendirian!" teriakku lagi dan menutup pintu agar tak ada sahut teriak-teriakan kembali.
Begitu sampai ke kamar, kubuka handphone dan grup gak jelas itu sedang melakukan video call. Kusandarkan punggung dan gabung di video call itu.
"Woy! Dari mana aja lu?" tanya Kanaya dengan semangat 45.
"Habis makan cilung sama sopir."
"Muka lu kenapa? Udah makan daging tiren atau belum, nih? Pucet amat kek mayat hidup," celetuk Megi.
"Berisik banget kalian, dah! Kek Mak-mak rempong!" hinaku yang risih dengan suara cempreng mereka.
"Dih, itu namanya perhatian!"
"Gak butuh gue diperhatiin," ujarku sinis menatap mereka.
"Ini mana lagi si terong satu," kata Megi.
"Dah tidur dia, besok ibadah," ucapku.
"Lah, si anj*r! Yang ibadah itu besok gue!" omel Kanaya membuat kami berdua tertawa.
"Besok kita perginya jam berapa?" tanyaku yang memang belum tahu.
"Jam 4, lu gak liat grup, ya?" tanya Megi kubalas dengan anggukkan dan menggaruk kepala yang tak gatal.
"Dih, pantesan aja! Habis ngapain emang lu sampe gak sempat baca tuh grup?"
"Lu kenapa gak dikasih pulang sama kita aja, sih? Kan, biar lu pas pulang tuh happy, gitu!"
"Nah, iya! Atau ... lu mau kita nginep di rumah lu, gak? Nginep lagi gitu, biar kita bisa maskeran lagi kek waktu itu."
Aku tersenyum melihat mereka berdua yang seolah memahami keadaan-ku, aku memang tidak bisa bohong dari mereka.
Karena ... kami saling tahu satu sama lain persoalan keluarga yang tengah dijalani, "Makasih, banget. Tapi, lain kali aja deh. Nanti, kapan-kapan kalian baru nginep di sini lagi, ya!"
"Yaudah, lu kabari aja kapan lu butuh temen di rumah. Kita akan selalu ada, kok," ucap Kanaya yang tumben-tumbenan berkata waras.
"Aaa ... ucul banget, sih, Kanaya. Makin tayang, deh," rayu Megi dengan memajukan bibirnya seolah ingin mencium Kanaya.
"Dih, naj*is! Lu bisa normal dikit gak, sih, Megi? Orang lagi serius juga!" tegur Kanaya membuat aku tertawa mendengarkan ucapannya.
Serius? Mimpi apa tuh manusia bisa serius dan sok jadi motivator begini? Hahaha. Akhirnya, jam 11 malam kami akhiri pembicaraan yang unfaedah ini.
Aku menatap lurus ke depan dengan tubuh yang sudah rebahan, menatap asbes yang ada di atas sana.
Pikiranku menembus di mana kejadian saat amarah, bentakan, juga cacian masih terdengar dan memenuhi rumah ini.
Di mana aku harus duduk di ruangan yang bukan hanya ada aku juga Papa dan Mama. Tapi, ada juga hakim yang memutuskan hubungan mereka.
Semua terasa sempurna jika orang-orang hanya melihat hartaku saja, tapi semua tak sempurna dan berarti saat mereka merasakan apa yang kurasakan.
Sedari kecil, aku tak pernah diajari apa pun. Mau itu mudah memberi atau hal lainnya, sehingga aku tak pernah peduli pada sesama.
Uang yang diberi oleh Mama dan Papa, paling aku simpan dan belikan barang branded juga kadang traktir dengan teman-temanku.
Tapi, aku sudah punya tanah serta rumah sendiri sebab dulu dikasih bagian warisan dari nenek sebelah Papa yang kebetulan kaya juga.
Karena Papa sama seperti aku, anak tunggal. Sangking banyaknya nenek jadi beri hak untukku juga.
Sekarang, kalau nenek tahu bahwa cucunya tak bahagia lagi. Gimana, ya? Apakah dia juga sudah melihat dari atas sana?
Kututup mata sebelum semakin deras mengalir bulir bening dari mataku.
"Aaaaaa!" teriak seseorang membuat aku terbangun dan refleks bangkit dari tempat tidur.
"Non!"
"Bibik!"
Suara teriakan sopir dan menggedor pintu membuat aku panik, "Aww," ringisku kala memaksakan ingin berjalan dengan cepat.
"Ada apa Non?" tanya Bibik yang mengucek mata.
"Mega juga gak tau Bik," jawabku dengan wajah panik.
Ceklek!
Pintu dibuka dengan lebar dan menatap ke arah sopir, "Ada apa, Pak? Ada maling?" tanyaku melihat ke arah pagar dan sekitar rumah.
"B-bukan Non," jawabnya dengan terbata.
"Lah, terus?"
"Kenapa Mang? Habis ngeliat hantu?" tanya Bibik membuatku melihat ke arahnya. Sudah 2023 masih saja percaya hal begituan.
"Ya, kalo hantu mah Bik. Sereman juga sopir daripada tuh hantu," timpalku bersedekap dada.
"Bukan juga Bik. Ini, saya mau ngasih tau kalo saya dapat undian dari artis yang suka bagi-bagi itu 50juta rupiah!" serunya menunjukkan handphone ke arah kami.
Kalau di film-film, mungkin akan ada suara jangkrik sebab setelah mendengar ucapannya kami berdua langsung tercengang hingga mulut terbuka. Untung saja malam, jadi lalat tidak akan masuk ke dalam mulutku juga Bibik.
"Hantu ... tolong makan sopirku ini! Kalo lu gak mau makan dia, bawa aja ke duniamu biar dia gak terlalu pintar banget!" terangku menutup pintu sebelah dan pergi berjalan ke kamar.
"Wong gendeng!" caci Bibik dan menutup kembali pintu ikut masuk juga ke kamarnya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments