Berhubung kami ke pantainya sore, pagi ini aku ingin bermalas-malasan di rumah sambil nonton televisi.
Ya ... meskipun memang biasanya hanya hal ini yang aku lakukan, sih. Rebahan di sofa sambil nonton karena sudah siap sarapan.
Tok! tok! tok!
Aku bangkit dan menatap ke arah dapur, tak ada Bibik yang keluar membuat aku memutuskan untuk membuka pintu melihat siapa yang datang.
"Cari siapa, ya?" tanyaku menautkan alis bingung.
Ia berdecih dan menatap ke arah rumah juga area dalamnya, "Oh ... jadi ini rumah Papa-ku?" tanyanya kembali menyelonong masuk begitu saja ke dalam.
"Papa siapa?" Aku masih belum paham dengan kedatangan dia, bahkan aku tidak tahu siapa dia.
"Rumah yang mewah, mobil juga dan kehidupan yang serba ada. Mana, diakui sebagai anak juga dikenalkan sama para teman-teman Papa pula. Enak, ya, jadi kamu," ujarnya.
"Wait! Papa? Jadi, lu anak tiri dari Papa gue? Wah ... nekat banget datang ke sini," cercaku bersedekap dada menatap dengan tidak senang ke arahnya.
"Emangnya kenapa? Gue iri sama lu! Karena setiap ada acara yang dibawa ke mana-mana itu cuma lu! Sedangkan gue? Gue selalu disembunyikan seolah gak ada."
"Bukan seolah gak ada, tapi seolah lu gak dibutuhkan. Kan, Papa gue selingkuh sama Mama lu. Bukan sama lu-nya, jelas Papa gue gak butuh sama lu.
Iri lu bilang? Gak punya kaca lu di rumah? Lu mau derajat kita sama, gitu? Gue ... anak kandungnya sedangkan lu mungkin entah anak dari berapa Ayah," cibirku menatap ke arahnya membuat ia marah.
Tangannya ingin mendarat di pipiku tapi dengan cepat kutahan di udara, "Jangan pernah sok berani datang kembali ke sini apalagi lu ingin nyakiti gue.
Seharusnya, lu malu datang ke sini! Gak pantes lu datang ke rumah seseorang yang berbeda derajat dan kedudukannya di hati Papa gue!" geramku menatap tajam ke arahnya dan membuang tangannya kasar.
"Sekarang, gue minta lu pulang atau gue surut satpam gue nyeret lu dari rumah ini!" sambungku menunjuk ke arah pintu.
Wajahnya penuh dengan kebencian bahkan mulutnya tak berhenti komat-kamit seolah sedang mencaci saya.
"Pak!" pekikku saat tak melihat ia beranjak juga dari hadapan. Akhirnya, dirinya pergi dan berjalan ke luar rumah tanpa sepatah kata pun.
Aku berjalan kembali ke arah sofa dengan air mata yang sudah menetes, gara-gara keegoisan orang tuaku.
Bukan hanya aku akhirnya merasa sakit hati, tapi ada hati lain yang terluka akibat mereka. Apakah itu mauku? Aku juga tak ingin masuk ke dalam hidup yang begini.
"Non-non, ada apa?" tanya Bibik yang mungkin mendengar suara pekik-ku tadi.
Kugelengkan kepala dan tetap menangis, Bibik membawa aku ke dalam dekapannya.
"Hay penghuni hutan!" pekik suara yang tak terlalu asing di telingaku.
Kulihat ke arah pintu yang masin terbuka, sudah ada Megi dan Wendi datang ke rumahku. Dengan cepat kuhapus air mata sedangkan mereka menatapku dengan sendu.
Berjalan mendekat dan sampai di depan, "Bibik buatin minum dulu, ya!" pamit Bibik sembari mengusap wajahnya menghapus jejak air mata.
"Makasih, Bik," ucap Wendi menatap kepergian Bibik.
Setelah itu, Megi langsung duduk di depanku sambil memegang tanganku erat, "Lu kenapa woy?" tanya Megi.
Kuangkat wajahku dan tersenyum ke arahnya, kulihat ke arah Wendi yang duduk di sebrang sana.
"Gak papa, gue gak papa kok. Kalian, kok cepat banget sih datangnya? Kan, sore kita pergi ke pantainya," ucapku mencoba tetap stabilkan diri.
"Huft ... kalo paksa lu cerita juga gak akan bisa, sih. Yaudah, intinya kalo lu kenapa-kenapa. Cerita sama kita-kita, kita akan selalu ada buat lu," kata Wendi dengan pemikiran dewasanya.
Memang, dia gak terlalu gesrek sih. Mereka pasti akan sangat menjadi dewasa ketika kondisinya benar-benar membutuhkan.
Aku tertawa mendengar ucapan Wendi, "Dih, si begu! Malah ketawa!"
"Hahaha ... sok banget, lu, tau, gak? Emangnya kalo gue cerita lu akan paham dengan apa yang gue katakan? Pelajaran yang dijelasin sama guru aja lu suka gak paham," hinaku sembari kembali tertawa.
Megi ikut tertawa dengan apa yang kukatakan, sedangkan Wendi mengumpat diriku dengan berbagai kata-kata mutiaranya.
"Nih, sok di makan," ujar Bibik sambil meletakkan berbagai makanan yang dibawanya.
"Bik, kok gak ada rumput, sih?" timpal Megi membuat Bibik menatap heran.
"Lho, buat siapa?" tanyanya menatap ke arah Megi.
"Tuh, buat Wendi Bik. Dia bukan manusia asli, tuh, Bik. Manusia jadi-jadian hewan kambing!" terang Megi membuat kami berdua kembali tertawa dan Bibik akhirnya ikut juga meskipun tidak terlalu berlebihan seperti kami.
"Ndak boleh kayak gitu, masa ganteng-ganteng dibilang mirip kambing," protes Bibik membuat kami berdua tidak terima dengan apa yang ia katakan.
"Ganteng Bik? Dari mana? Dari sedotan tuh liatnya?"
"Udah-udah, jangan kayak gitu ndak baik. Bibik pamit ke belakang dulu, ya!"
"Oke, Bik. Makasih, ya."
"Sami-sami."
"Nah, btw. Kalian ngapain cepat banget jemput gue? Kan, masih lama waktunya."
"Ya ... sengaja, kita gabut doang mangkanya deh ke sini. Mau numpang makan juga soalnya," ujar Wendi tanpa merasa malu.
"Dih, ini bukan sekolah. Lu jangan begitu, malu di dengar orang di rumah ini!" tegur Megi.
"Gak ada siapa-siapa juga di sini, gak masalah dong!" cerca Wendi yang lagi-lagi mereka akhirnya terjadi perdebatan.
Aku hanya terdiam dan menganggap mereka tak ada sembari menatap televisi juga mengunyah makanan yang dibuat oleh Bibik.
"Eh, kaki lu kenapa?" tanya Megi yang ternyata baru sadar membuat aku melihat ke arahnya sambil memasukkan snack dalam mulut.
"Dih, iya, kenapa tuh?" kata Wendi bangkit dari tempat duduk dan melihat ke arah kakiku, "sakit, gak?"
"Sakitnya, gobl*k!" geramku memukul bahu Wendi saat dengan sengaja memencet lukaku.
"Haha, ya, gak sengaja kali. Sorry-sorry," ungkapnya kembali duduk.
"Gue sengaja jatuhin gelas dan kena deh kaki gue yang mulus aduhay ini," kataku tak lupa dengan lebaynya.
Bibir Megi terangkat sebelah mendengar ucapanku sedangkan Wendi mendatarkan wajahnya yang jelek itu.
"Jijik banget gue dengernya, serius, dah!" tutur Megi menatapku.
Kembali aku tertawa, hanya sama mereka aku bisa tertawa meskipun tawaku tak bisa bertahan lama.
Setidaknya, mereka adalah teman-teman yang tidak gila harta. Mau berteman padaku hanya sebab orang tuaku kaya saja.
"Hello, epribadeh! I'm coming!" teriak Kanaya yang baru saja datang padahal tak diundang.
Kami hanya menatap dengan datar ke arah dirinya, ia berjalan dengan menenteng kresek yang entah apa isinya.
"Yuk, pergi, yuk!" ucapku kepada Megi dan Wendi.
"Yuk!"
"Ayo-ayo!"
"Dih, kalian jahat banget! Orang baru sampe juga, nyebelin banget!" gerutu Kanaya dengan memajukan bibirnya sebal dengan kami.
Kembali tawa hadir di rumah ini setelah sekian lama tak pernah terdengar, "Ih, kaki lu kenapa woy?" tanya Kanaya.
"Biasa, mau sok jadi anak buahnya Lambat dia," timpal Wendi.
"LIMBAT!" ucap kami serempak dengan nada yang cukup tinggi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments