Waktu pulang telah tiba, semua murid dari berbagai kelas juga jurusan berhamburan keluar dari gedung sekolah.
Ke-empat murid sekolah ini berjalan ke luar gedung dengan saling tertawa dan memuji satu sama lainnya.
"Keren banget, asli Mega tadi! Kek pinter banget!"
"Ya ... ini, 'kan ide dia dari awalnya. Pastilah gampang buat dia bungkam pertanyaan yang agak aneh itu."
"Bener, sih!"
"Mega!" panggil seseorang membuat mereka berempat berhenti dan melihat ke arah belakang dari sumber suara.
"Iya?" tanya Afifa saat melihat orang yang memanggil dia adalah teman sekelasnya tadi lebih tepatnya orang yang bertanya padanya tadi.
"Besok, waktunya kelompok aku yang presentasi. Aku berharap dapat pertanyaan darimu," ujarnya kemudian mengulurkan tangan ke hadapan Mega, "selamat buat animasinya dan selamat buat kalian, kalian keren! Maaf juga untuk tadi pertanyaan-ku."
Afifa tersenyum dan menangkup kedua tangannya di depan dada, "Gak masalah, semua orang berhak bertanya soal apa pun itu selama presentasi sedang berlangsung tadi.
Kalau ada yang mau ditanyakan, pasti akan saya tanya, kok. Kalau enggak ada, buat apa saya bertanya, 'kan?" Afifa menaikkan sebelah alisnya.
Laki-laki tadi menarik kembali tangannya dan membalas senyuman Afifa, "Yaudah kalau gitu, a-aku duluan, ya!" pamit laki-laki tadi dengan terbata-bata.
"Bwahaha ... kenapa dia malah terbata-bata gitu? Gerogi, ya, sama lu Mega?"
"Bukan, malu dia tuh pasti."
"Atau ... jatuh cinta?" celetuk Megi yang malah mendapatkan pukulan di bahunya hadiah dari Afifa.
"Gak jelas banget kalian, saya pulang duluan, ya. Assalamualaikum," salam Afifa berjalan kembali duluan meninggalkan mereka.
"Kebiasaan banget nih anak ninggalin orang gitu aja," gerutu Kanaya menatap punggung Afifa yang sudah menjauh.
"Dia mau ke rumah sakit itu, udah biarin aja," timpal Wendi yang masih saja ingat dengan kalimat Mama.
Sesampainya Afifa di gerbang sekolah, sudah ada sopir yang berdiri di samping mobil sambil melambaikan tangan ke arahnya.
"Udah nunggu lama Pak?" tanya Afifa tersenyum ke arah sopir.
"Enggak, kok, Non. Non, handphone-nya kok gak aktif?" tanya sopir sebelum menyuruh masuk Afifa ke dalam mobil.
"Ya, ditinggallah Pak. Kan, mau sekolah bukan main-main," jawab Afifa dengan polos.
"Ha? Astaghfirullah, Non. Sejak kapan sekolah melarang? Papa Non dari tadi nelpon-in Non, pantesan gak diangkat ternyata gak dibawa.
Sekarang cepat masuk, Non. Papa udah nunggu, Non udah ada janji mau makan siang sama client Papa," jelas sopir sembari membuka pintu belakang mobil.
Afifa langsung buru-buru masuk ke dalam mobil melihat wajah sopir yang sepertinya panik dan merasa ada hal penting.
Mobil membelah jalanan dan menjauh dari gedung sekolah, ketiga teman Afifa menatap ke arah mobil yang sudah mulai tak lagi terlihat.
"Kita liat kehidupan Mega enak, ya. Kaya, Papa dan Mamanya orang sibuk, banyak uang. Tapi ternyata? Semua itu gak menjamin bahwa dirinya bahagia.
Dia harus tinggal sendirian, kita yang hanya tinggal sama Ibu atau Ayah saja merasa kesepian apalagi dia yang gak tinggal dengan keduanya," jelas Kanaya yang merasa iba pada kehidupan Mega.
Wendi juga Megi mengangguk membenarkan hal itu, sebenarnya mereka tahu kehidupan Mega bukan baru-baru ini tapi sejak lama.
Hanya saja, ia belum tahu masalah sebelumnya apa hingga orang tuanya memutuskan untuk cerai dan hidup dengan keluarga masing-masing.
Hingga perdebatan kedua orang tua Mega kemarin malam membuat mereka tersadar apa sebabnya Mega sangat ingin berpindah tubuh dan merasakan kehidupan orang lain.
Karena, kehidupan dirinya tak semenyenangkan yang dikira orang-orang saja. Afifa turun dari mobil dengan tergesa-gesa.
Ia melihat sudah ada beberapa mobil yang berada di halaman rumahnya, "Assalamualaikum," salam Afifa membuka pintu yang tak terkunci.
Papa dan beberapa orang yang tengah duduk di sofa menatap ke arahnya, dengan cepat Afifa berjalan setengah berlari ke arah Papa dan menyalim tangannya lebih dulu.
Mereka akhirnya berdiri menatap ke arah Afifa dengan tersenyum, "Kakak-kakak ini yang akan memilihkan pakain buat kamu juga make-up. Papa udah pilih beberapa sekarang kamu pakai yang benar cocok buat kamu, ya."
Afifa mengangguk paham dengan perintah Papa, ia masuk ke dalam kamar diikuti oleh ke-empat wanita suruhan Papa.
"Dek, kamu pakai gaun yang ini dulu, ya," titah salah satu Kakak yang Afifa sendiri tak tahu dirinya siapa.
Afifa kembali mengangguk sambil meletakkan ransel-nya di ranjang, masuk ke dalam kamar mandi sambil membawa baju tadi.
Sekitar lima belas menit, Afifa keluar dan sudah ada Papa di pinggir ranjang menatap ke arahnya, "Coba mutar," titah Papa yang langsung diturutinya.
"Kamu suka?" sambung Papa bertanya pendapat.
"Suka, kok, Pa," jawab Afifa tersenyum.
"Yaudah, kalau gitu. Ini aja, Papa keluar dulu, ya."
Papa akhirnya pamit kembali keluar, "Kamu ganti pakaian sekolah kamu dengan ini, ya, biar jangan gerah banget nanti pakai ini. Tenang aja, dress-nya gak nerawang jadi gak akan keliatan sama sekali tubuh kamu, Dek.
Kami pakai bahan terbaik untuk setiap dress kami, kok," ungkapnya agar Afifa tak merasa khawatir.
Kembali ke kamar mandi untuk melepaskan dress juga pakaian sekolah, Afifa meremas perutnya saat dirasa cacing sudah tak tahan lagi.
"Ini mah bukan makan siang, makan sore kayaknya," gerutu Afifa saat baru ingat dirinya pulang dari sekolah tadi jam 2 siang.
Ia keluar dari kamar mandi dengan seragam sekolah yang ada di tangan, berjalan ke arah gantungan lebih dulu menggantung seragam.
"Sini, duduk!" titah perias dan memegang kerudung milik mereka.
"Non, ini makan siangnya," kata Bibi datang dan berdiri di samping Afifa.
Senyum yang tadinya mengembang karena berpikir bahwa Bibi akan membawakan makanan berat ternyata salah.
"Kata Bapak, Non cuma boleh makan ini agar di sana nanti makanannya bisa habis. Non soalnya biasa makanannya gak habis dan itu buat client ngerasa gak senang," jelas Bibi yang sebenarnya kasian apalagi melihat mimik wajah Afifa yang langsung berubah.
"Gak papa, Bi. Makasih, ya," ungkap Afifa dengan tersenyum paksa.
Kerudungnya sudah mulai dibentuk oleh para perias, mata Afifa berbinar bukan karena kagum pada dress tapi pada keadaannya sekarang.
'Afifa di rumah mana pernah makan begini padahal udah laper, kalau laper, ya, makan nasi bukan malah makan roti,' batinnya mencoba untuk tidak menangis dengan terus mengunyah roti yang berselai cokelat.
Setelah selesai kerudung yang tetap bermodel menutupi dada, sekarang giliran wajah Afifa. Ia mengerutkan keningnya.
"Bukannya harusnya wajah duluan, ya, Kak?" tanya Afifa yang merasa bahwa mereka salah.
"Gak papa, Dek. Tenang aja, lagian Papa adek tadi bilang untuk gak terlalu full make-up agar gak terkesan hilang umur remajanya."
Afifa akhirnya hanya mengangguk pasrah sedangkan roti 5 potong telah habis dikunyah Afifa sebagai pengganjal laper.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments