"Kok, gak gurih, ya, Bi? Kayak kurang penyedap gitu," ujar Afifa setelah mengunyah makan malamnya.
"Emang gak diboleh sama Nyonya Non, kata Nyonya ndak boleh dikasih micin makanannya," jawab Bibi yang akhirnya duduk di samping Afifa setelah dipaksa oleh wanita itu.
"Kenapa gak dibolehin Bi?" tanya Afifa menatap ke arah Bibi.
"Non ... walaupun Mama dan Papa Non Mega cerai, mereka tetap sayang dan sangat khawatir sama Non.
Jangan pernah benci orang tua, ya, Non. Karena bagaimana pun jahat dan buruknya mereka, mereka pasti juga sangat sayang sama Non."
Mama Non tadi ngelarang saya buat ngasih micin di makanan Non. Tadi, juga pas Mama dan Papa Non denger bahwa Non pingsan.
Mereka langsung datang ke sini padahal mereka sudah punya keluarga masing-masing, mereka marahi sahabat non dan mang sopir habis-habisan.
Padahal, sahabat Non juga gak kalah panik sama Non yang tiba-tiba pingsan di pantai tadi. Nak; Wendi, Kanaya sama Megi juga sama-sama panik dan nangis-nangis.
Mereka sayang sama Non terlihat dari kejadian tadi, meskipun Non gak dapat kehangatan dari orang tua Non seutuhnya.
Tapi, mereka tetap sayang sama Non, kok. Mereka tetap cinta dan ingin melindungi Non meskipun cara mereka salah."
Afifa menyimak dengan seksama ucapan yang keluar dari Bibik, ia tersenyum dan mengangguk paham.
Setelah selesai makan malam serta membantu Bibi merapikan dapur juga mencuci piring, Afifa berjalan kembali ke kamar.
Ceklek!
Terpana dengan tataan serta warna dan model kamar Mega untuk kesekian kalinya, ia berjalan ke arah meja belajar dan tas yang ada di atasnya.
"Jadi, aku harus sekolah besok? Ketemu sama orang banyak?" tanya Afifa saat melihat buku milik Mega.
"Mega Gavesha," gumamnya membaca nama di buku Mega, "SMK Negeri 6 Jakarta? Jurusan animasi?"
Mata Afifa membulat saat tahu ia sekarang berada di mana, kota Jakarta dan harus sekolah di SMK?
"Ya, Allah. Emangnya Afifa akan bisa lewati hari-hari dengan keadaan begini? Pasti, di sekolah itu nanti campur baur banget dan pas jam istirahat saling dorong-dorongan.
Gimana kalau Afifa bersentuhan dengan yang bukan mahram? Pasti ... Allah akan marah nanti, ya, Allah," keluh Afifa yang mulai overthingking dengan keadaan kedepannya nanti.
Afifa kembali membuka setiap lembar buku yang ada, ia ingin memahami apa yang harus dilakukan ke depannya.
Suara handphone berdering membuat Afifa menghentikan melihat-lihat handphone, ia berjalan ke arah nakas untuk mengambil benda pipih.
"Kanaya? Ini pasti handphone Mega," gumam Afifa dan segera mengangkat panggilan yang masuk.
"Woy, Mega! Jangan lupa besok bawa laptop, ya! Ada upacara besok, pake dasi dan topi biar gak dihukum lu.
Emangnya lu gak bosen dihukum mulu di sekolah, ha? Guru dah pada bosen ngehukum lu. Ingat! Udah kelas 12 jangan banyak main dan ngelawan guru lu!" terang Kanaya yang berada di sebrang mengingatkan Afifa.
"I-iya, makasih Kanaya."
"Oke, pokoknya laptopnya jangan sampe lupa lu bawa. Tugas kita ada di situ semuanya, ya. Yaudah, gue mau tidur dulu. Capek gue, bye!"
Panggilan di matikan terlebih dahulu oleh Kanaya, Afifa menatap kembali ke meja belajar dan meletakkan handphone.
"Mata pelajaran besok apa, ya?" tanya Afifa mencari keberadaan poster pelajaran kelas-nya.
"Nah, ini!" seru Afifa dengan tersenyum lega melihat pelajaran apa yang ada besok.
Ia langsung mengeluarkan buku dari tas dan memasukkan buku untuk besok, "Ini pasti laptopnya!" Afifa memasukkan laptop ke dalam tas juga yang ada di meja belajarnya.
"Yey! Buku udah rapi, apa tadi kata Kanaya? Topi? Dasi? Itu ... ada di mana, ya?" Afifa mengedarkan pandangannya berharap benda itu digantungkan oleh Mega di kamarnya ini.
"Afifa tanya sama Bibi aja, deh. Sekalian nanya seragam sekolah juga," putus Afifa kembali keluar dari kamar untuk bertanya pada yang lebih tahu.
***
"Mbak Afifa? Ngapain di teras, ayo, masuk! Udah malam, besok 'kan harus sekolah," panggil Akbar membuat Mega terlonjat kaget.
"Eh, sans ae Dek. Kan, ada alarm di handphone, 'kan?" tanya Mega dengan tersenyum menatap Akbar.
Sedangkan Akbar, ia menggaruk kepalanya yang tak gatal dan menautkan alis, "Sans itu apa Mbak?"
'Mampus! Kebiasaan banget lu, Mega! Ini dunia Afifa bukan dunia lu. Jangan sampe pas dia balik lagi ke tubuhnya.
Dia langsung bundir karena gak kuat dihujat sama yang lainnya sebab kelakuannya yang minus sebagai seorang Ning,' batin Mega menggerutu.
"Eh, anu Akbar. Kenapa kita gak ke sana? Mereka pada ngapain di situ?" tanya Mega mengalihkan pandangan menunjuk ke arah aula yang di mana biasanya tempat santri menghafal serta menyetor juga murajaah hafalan.
"Lah, Mbak 'kan gak pernah mau bareng sama mereka. Mbak selalu mau sendirian pas nunggu Abah pulang baru Mbak setor, tapi karena sekarang Mbak udah hafal 20juz.
Abah ngasih cuti deh selama 10 hari Mbak buat gak ngehafal, enak banget, Mbak! Dikasih cuti sama Abah," jelas Akbar membuat mata Mega membulat juga jantungnya yang berdetak tak karuan.
'Bisa gawat kalo sampe aku harus disuruh menghafal juga pas di tubuh dia, lah aku mah paling gak bisa menghafal.
Masa, disuruh menghafal mana ayat Al-qur'an pulak. Untung aja si Afifa ini otaknya pinter banget, wih ... hebat banget, 20juz,' batin Mega kembali kagum pada tubuh yang sedang ia masuki sekarang.
"Mbak mau ke sana, boleh?" tanya Mega menunjuk ke arah aula kembali.
"Boleh, Mbak. Bawa Al-qur'an juga tapi, sekalian murajaah dan melihatkan bacaan Mbak dan Mas yang di situ," jelas Akbar dibalas anggukan oleh Mega.
Mega masuk ke dalam rumah dengan melepaskan sendal lebih dulu, ia mengambil mushaf yang ada di meja belajar.
"Mau ke mana Afifa?" panggil Umi yang berdiri di ambang pintu dapur.
"Mau ke aula Umi, sama Abah dan santri lainnya," ungkap Mega menunjukan Al-qur'an yang ia pegang.
Umi menampilkan wajah bingung dan berjalan mendekat ke arah Mega, ia menempelkan punggung tangannya ke kening Mega sedangkan wanita itu hanya diam saja.
"Demam, Mi?" tanya Mega yang ternyata tetap tak bisa menghilangkan sikap lucunya itu.
"Enggak, kamu gak sakit, 'kan Afifa?"
"Sakit kayaknya Mbak, Umi! Aneh soalnya," celetuk Akbar yang sudah ada di tengah-tengah mereka.
"Anak kecil gak boleh motong-motong ucapan orang tua, lho. Dosa," peringat Mega seolah mencoba menghayati diri menjadi Afifa.
Mega mengulurkan tangannya di depan Umi, Umi menyambut dan dicium takzim oleh Mega, "Jangan lama pulangnya, ya! Jam 9 malam udah harus pulang," titah Umi.
"Mmm ... di aula emang ada jam, Umi? Kita gak ada handphone, ya? Biar gampang gitu komunikasi-nya," tanya Mega menatap ke arah Umi.
Umi kembali terdiam dan mengerjap-ngerjapkan matanya, Mega mengalihkan pandangan ke arah Akbar.
Anak itu malah mendongak dengan mulut yang terbuka seolah kaget atas apa yang dikatakan oleh Mega barusan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments