Kringgg!
Bunyi pertanda waktu sekolah dan belajar sudah berakhir, aku sudah memberi tahu ide juga menjelaskan ke mereka.
Besok, akan langsung di eksekusi sambil main ke pantai karena libur sekolah juga.
"Gue duluan, ya, bye!" pamitku sambil melambaikan tangan dan masuk ke mobil yang mungkin sudah menungguku dari lama.
Sopir menutupkan pintunya kembali memutar untuk masuk ke kursi sopir, tak lama mobil sudah jauh dari kawasan sekolah.
"Mama sama Papa ada di rumah, ya, Pak?" tanyaku memecah keheningan di dalam mobil menuju pulang.
"Iya, Non."
"Udah lama?"
"Bapak, udah. Kalau ibu, barusan aja datang pas saya mau jemput Non."
Aku hanya menampilkan wajah datar, seolah di diriku ada dua kepribadian. Ketika di sekolah adalah anak yang begitu periang.
Begitu keluar dari sekolah berubah menjadi anak yang untuk tersenyum saja amat susah, kubuka kerudung di dalam mobil dan merapikannya.
Rambut sebahu dengan wajah bulatku terlihat cocok serta ekspresi yang datar terlihat seolah aku seperti anak yang jahat, mungkin? Atau ... orang yang penuh dengan masalah?
"Non gak mau makan apa dulu?" tanya Pak sopir saat sekitar sepuluh menit lagi kami sampai di rumah.
"Kenapa, Pak? Bapak takut saya gak makan lagi dan akan masuk rumah sakit karena maag saya kambuh?" tebakku dengan berdecih.
"Menjaga kesehatan itu penting Non," sarannya.
"Untuk orang yang berharga dunianya, ia berhak menjaga kesehatan. Dan dunia saya, sama sekali tidak berharga Pak!" tegasku tersulut emosi.
Jika aku sudah seperti ini, sopirku hanya diam dengan tatapan sedih. Ia juga punya anak yang sebesar denganku.
Anaknya pernah ia bawa ke rumah untuk menemani aku waktu itu disaat aku belum bisa menerima takdir bahwa Mama dan Papa harus bercerai.
Namun, karena anaknya juga takut denganku plus pendiam. Buat apa juga ada di rumahku? Kami hanya akan sama-sama hening dan dia malah nantinya ketakutan saat tiba-tiba kulampiaskan rasa kekesalan yang hadir.
"Makasih, Pak!" ucapku setelah pintu mobil terbuka dan sampai di halaman rumah dua lantai dengan warna putih bercampur gold itu.
Dua mobil tak kalah mewahnya terparkir di depan halaman, ya, mobil mereka siapa lagi kalau bukan punya Papa dan Mama.
Aku masuk ke dalam rumah dan mendapatkan tatapan dari dua orang yang sedang duduk di ruang tamu.
"Sayang, sini!" panggil Papa melambai ke arahku.
Berjalan dengan tatapan kosong, bukan kebahagian sebab bertemu mereka. Aku duduk di kursi panjang menatap lurus ke depan.
"Jadi, gini Sayan--"
"Aku dulu dong yang ngomong, kamu kira yang sibuk di sini cuma kamu doang? Ada suami sah-ku yang harus aku urus.
Sedangkan kamu? Hanya selingkuhan yang modal gatel itu doang!" potong Mama saat Papa akan mulai menjelaskan maksudnya datang ke sini tanpa basa-basi terlebih dahulu.
"Aku yang duluan datang ke sini dan aku juga yang duluan ngabari Mega bahwa akan ke sini! Jadi, aku berhak duluan berbicara padanya.
Dan soal istri baruku, dia jauh lebih baik daripada dirimu itu! Jangan pernah menghina istriku yang seperti malaikat sedangkan dirimu layaknya iblis!" jelas Papa menunjuk ke arah Mama yang berada di sebrangnya.
Aku hanya menatap dengan malas perdebatan ini, tanganku terulur mengambil snack yang ada di atas meja.
Memasukkan ke dalam mulut sambil melihat perdebatan yang tak kunjung habisnya dari mereka bersama hingga akhirnya cerai.
"Bik, ambilin minum, dong!" pekikku ke arah Bibik yang kulihat sedang berdiri di ambang pintu.
"B-baik Non," jawabnya dengan tergopoh-gopoh ke dapur.
Sekitar lima menit, air minum yang kuinginkan tadi di letakkan Bibi ke meja serta snack tadi kukembalikan.
Perdebatan kembali saja terjadi padahal aku sudah memekik tadinya, lho. Wah ... hahaha. Memang hebat sekali bukan keluargaku ini.
Prang!
Suara ribut tadi seketika hening dan menatap ke arahku saat gelas yang sudah kosong kujatuhkan dengan sengaja.
Aku tersenyum sebab berhasil membuat mereka diam, "Sudah siap? Ayo, lantukan saja lagi!" titahku menatap satu per satu ke arah mereka.
"Aku baru pulang sekolah dan kalian langsung bahas soal perusahaan kalian masing-masing, kalian orang tua macam apa, sih?
Bukannya nanya aku gimana di sekolah? Gimana keadaan aku saat ini? Gimana kabar aku tanpa kalian.
Yang kalian tau cuma uang, uang dan uang aja. Seolah di dunia ini itu yang penting dan utama cuma uang!"
"Iya, aku tau Ma. Uang Mama memang sangat-sangat berharga buat aku untuk sekolah dan masa depan aku.
Kalo gak ada uang Mama, mungkin aku jadi anak gelandangan. Oh, enggak, kok. Aku liat temanku ada yang gak punya Mama dan Papa mereka masih bisa hidup sampai sekarang.
Bahkan, kata mereka. Mereka jauh lebih bahagia dibanding anak yang punya orang tua apalagi orang tuanya cerai seperti aku ini!" potongku saat Mama akan membuka suara seperti biasanya.
"Kalian urus sendiri dunia t*i kalian itu! Jangan pernah bawa-bawa aku lagi ke dalam dunia kalian! Ajak keluarga baru kalian sana!
Aku bisa hidup dengan nenek dan kakekku tanpa harus hidup dari uang kalian ini!" sambungku dan pergi meninggalkan mereka di ruang tamu.
Rasa sakit akibat terkena serpihan kaca tadi tak terasa karena sakit yang mereka buat lebih dari ini.
Kututup pintu kamar dengan begitu keras, melempar tas ke sembarang arah dan memberantaki barang yang ada di atas meja riasku.
Kadang ... aku suka bingung dengan takdir Tuhan, kenapa harus seperti ini duniaku? Apakah sebab dosaku?
Tapi, dosa yang mana itu? Agar aku bisa membalas semua kesalahanku menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Aku ingin ngerasain ketika pulang sekolah di kecup kening dan ditanya; kabar, hari dan tugas di sekolah.
Tapi, semua itu tak akan pernah aku rasakan selamanya. Aku hanya bisa bermimpi saja meskipun akan melihat kenyataan saat terbangun kembali.
Suara mobil salah satu di antara mereka terdengar, aku yang duduk di pinggir ranjang berjalan ke jendela melihat mobil siapa yang pergi.
"Sayang ... Papa boleh masuk?" tanya Papa sambil mengetuk pintu.
Kuhapus air mata yang mengalir padahal seharusnya sudah tidak perlu sebab hal ini sudah sangat biasa terjadi.
Berjalan dengan sedikit kesusahan, mungkin serpihan kacanya masih ada atau malah sudah keluar sebab darahnya mengalir di kakiku.
Ceklek!
Kubuka pintu dan kembali duduk di tepi ranjang, kudengar helaan napas yang panjang keluar dari bibir Papa.
"Papa capek, ya? Ngehadapi semua ini? Apalagi aku Pa! Aku gak punya tempat perlarian ketika masalah datang.
Kalian? Kalian bisa berbagi keluh kesah dengan pasangan kalian masing-masing ketika sudah pergi dari rumah ini.
Kalian enak, ya?" ujarku dengan berdecih menatap ke arahnya yang sudah duduk di sampingku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments