"Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh," salam Mega naik ke aula membuat mereka yang sedang sibuk dengan hafalan masing-masing langsung terdiam dan menatap ke arah dirinya yang masih berdiri.
"Dih, pada kenapa, sih?" gumam Mega dan akhirnya mencoba cengengesan biar tidak terlalu canggung.
"Afifa?!" panggil Abah yang ada di depan mereka semua. Mega menatap dan mengangguk, ia sedikit membungkuk saat melewati santriwati yang ada.
"Ning?"
"Ning!"
"Iya?" sahut Mega saat mereka memanggil dirinya yang memang mendapat sebutan itu.
Mata mereka membulat dan menutup mulut saat mendapat jawaban dari Mega, Mega terus berjalan hingga sampai ke tempat Abah.
"Kamu ngapain ke sini Nak?" tanya Abah yang duduk di atas satu tingkat dari santri dan Mega.
Mungkin, memang tempat ini sengaja dibuat untuk membedakan tempat duduk antara ustadz/ustadzah juga santriwati lainnya.
"Mau liat mereka menghafal juga murajaah, Bah. E-emang, gak boleh, ya?" tanya Mega menunduk.
"Subhanallah, sejak kapan Abah melarangmu melakukan sesuatu? Bahkan, ketika kamu ingin mengurung diri saja Abah beri meskipun beberapa bulan belakang Abah memaksa kamu untuk keluar dari rumah dan zona nyaman itu.
Abah senang dengan sikapmu yang sekarang, lebih berbaur dengan yang lainnya juga mudah tersenyum pada mereka," papar Abah tersenyum dan memegang bahu Mega.
Wanita itu akhirnya mendongakkan kepala dengan mata yang sudah berembun, "Ya, Allah. Nikmat-mu begitu nyata, aku tak pernah sebelumnya mendengar kalimat seorang ayah sebegini damainya.
Aku selalu mendengar pertengkaran juga cacian, sekarang aku mendengar kalimat yang begitu damai dan indah.
Berikan hidayah pada Papa hamba, ya, Allah. Agar bisa seperti Abah Afifa. Hamba tau bahwa hal ini gak akan abadi, entah bahkan ini hanya sekedar mimpi belaka bahwa jiwa hamba bisa berpindah.
Namun, hamba bahagia ya Allah. Sangat dan sangat bahagia merasakan mimpi ini,' batin Mega dengan bulir bening yang sudah membasahi pipi.
"Sayang? Kamu kenapa? Apa ada yang sakit?" tanya Abah dengan nada panik.
Mega tersadar dengan suara Abah tersebut, ia menggelengkan kepala dan mengusap pipi menghapus air mata.
Diambil Mega tangan Abah yang memegang lutut, di ciumnya tangan yang lebih keriput dibanding milik Papanya dengan takzim.
"Afifa bahagia dan bangga punya Ayah seperti Abah," ungkap Mega mendongak dengan mata yang berbinar ke arah Abah.
"Abah juga bahagia dan bangga dengan apa yang kamu lakukan, Nak!" terang Abah mengusap kepala Mega yang tertutup kerudung syar'i, "udah-udah, kesian mereka yang mungkin mulai ngantuk. Lebih baik, kamu bantuin Abah untuk membantu mereka, ya!"
Entah dorongan dari mana, Mega menganggukkan kepalanya serta memilih duduk di dekat santriwati lainnya.
"Nak, kenapa tidak di atas saja?" tanya Abah menaikkan satu alis.
"Afifa belum pantas duduk bersanding di samping Abah, ilmu Afifa jauh di bawah Abah," tutur Mega dengan senyuman.
Sontak mendengar hal itu, santriwati lebih banyak ke arah Mega untuk penyetoran hafalan sebab mereka juga sudah tahu bahwa Mega atau lebih tepatnya Afifa baru saja selesai 20juz.
Bak seorang yang memang sudah hafal, Mega mengajari dan memberi semangat serta motivasi pada mereka yang belum sempurna bacaannya.
"Ning, Ning kok tumben keluar?"
"Ning, kenapa setelah saya mau lulus baru keluar dari rumah?"
"Ning, Ning cantik banget Maa Syaa Allah."
"Ning, caranya pinter kayak Ning gimana?"
Mungkin, jiwa mereka memang tertukar. Tapi, otak dan kepintaran masih saja melekat. Buktinya, Mega mampu menyelesaikan hafalan mereka dan mengkoreksi tanpa melihat mushaf.
"Kalian kenapa ngasih pertanyaannya banyak-banyak gitu, toh? Sudah seperti wartawan saja," jawab Mega tersenyum simpul ke arah mereka.
"Assalamualaikum," salam seseorang yang masih belum di hafal Mega pemilik suaranya.
Mereka yang berdekatakan tadi pada Mega juga Abah langsung beralih mengecup tangan Umi, Mega menatap ke arah Umi yang duduk di hadapannya.
"Ayo, kita, pulang!" ajak Umi ke arah Mega. Mega menatap ke arah jam dinding yang ada di aula.
"Astagfirullah, maafkan Afifa Umi. Afifa lupa bahwa harus pulang jam 9 malam," kata Mega melihat jarum jam sudah berada di angka 10.
"Tidak apa, kita pulang sekarang," ucap Umi diangguki oleh Mega, "Abah, maaf kami izin pulang terlebih dahulu."
Umi berpamitan pada Abah dan dibalas anggukan, Umi mendekat dan mencium tangan Abah diikuti oleh Mega.
"Terima kasih sudah membantu Abah, Abah harap Afifa bisa sering berbaur dengan mereka, ya," pinta Abah menatap lekat ke arah Mega.
"Inn Syaa Allah, Bah," kata Mega tak berani berjanji.
Mega berdiri, santriwati yang melihat ia akan pulang dan hendak menyalim tangannya langsung ia larang.
"Ndak usah, saya sama seperti kalian. Masih awam dan perlu belajar, kita sama, kok. Semangat, ya, saya masuk ke ndalem dulu. Assalamualaikum," salam Mega pergi meninggalkan mereka.
Langkah Mega terhenti saat melihat Abah dan Umi saling tatap, ia mendekat dengan senyam-senyum, "Maa Syaa Allah, udah rindu sama Abah, ya, Mi?" bisik Mega menggoda Umi.
Mendengar ucapan Mega, Umi langsung mengalihkan pandangan begitupula dengan Abah.
Mega menutup mulutnya takut jika tawanya menggelegar di aula, "Sudah, ayo, kita pulak!" ajak Umi mengalihkan pembicaraan dengan menggandeng tangan Mega.
"Uluh ... Umi sepertinya sedang jatuh cinta kembali sama Abah, nih. Atau ... Umi kebanyakan pakai blus on? Sampai-sampai pipi Umi merah, tuh," tunjuk Mega ke pipi Umi kembali menggoda wanita yang di sampingnya.
"Ish, mana ada. Udah, ih!" cetus Umi yang malu digoda oleh Mega sedangkan Mega cekikikan dengan menahannya sambil menutup mulut.
Pintu kembali di tutup dengan ruangan yang sudah kosong dan rumah sepi, "Kamu jangan lupa salat malam habis itu wudu sebelum tidur dilanjutkan sama belajar, ya."
"Umi ... Afifa boleh belajar di pondok? Gak usah belajar sendiri di dalam kamar Mi," kata Mega yang ingin merasakan belajar di pondok pesantren itu seperti apa.
"Kamu yakin, Sayang?" tanya Umi memastikan. Mega mengangguk dengan mantap.
"Yaudah, boleh. Nanti pas Abah pulang, Umi kasih tau ke Abah."
"Apa Abah akan kasih izin, Mi?" tanya Mega yang takut.
"Inn Syaa Allah, Sayang. Sekarang, kamu masuk ke kamar dan lakuin apa yang Umi bilang tadi, ya."
"Baik, Umi."
Mega masuk ke dalam kamar, sebelum menutup pintu ia tersenyum terlebih dahulu ke arah Umi dan menutup pintu kamar tak lupa menguncinya.
Ia tak tahu di sini apa harus mengunci pintu, tapi waktu di rumahnya. Ia pasti harus mengunci pintu karena takut jika ada orang jahat yang masuk.
Tapi, ini kawasan pondok pesantren. Emangnya ada orang jahat? Ah, sudahlah! Tak ada salahnya berjaga-jaga, 'kan? Ini hanya soal kunci pintu kamar doang, kok.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments