"Lagian, ya, aku udah kasih masukan tentang tugas kita kali ini yaitu buat animasi seperti perpindahan jiwa gitu.
Dari seorang anak berandal ke tubuh seorang yang alim banget, pasti akan banyak orang yang mau liat. Anime aja banyak yang kayak gitu, apalagi cerita di si orange," usulku kembali yang tidak tahu akan diterima atau tidak.
"Lu habis baca cerita apaan, sih? Sampe bisa kepikiran hal yang se-tol*l itu ha?" caci Wendi menopang dagunya menatap aku.
Nah, kalau terong satu ini tadi sudah aku jelaskan, bukan? Kenapa kami memungut dia, karena iba tentu saja.
Wajah yang gak ganteng-ganteng amat, banyak takutnya dan paling mudah capek. Bahkan, dia pernah pingsan karena upacara selama satu jam lamanya.
Sangat malu-maluin sekali, bukan? Kalau soal IQ-nya aku kasih 0,5/10 deh. Karena, emang gak ada pintar-pintarnya woy!
Dia selalu debat dengan Kanaya, nih! Ada saja hal yang mereka debatin, mungkin kalau jadi anggota DPR mereka cocok, terus diundang sebagai bintang tamu di Mata Najwa wkwkwk.
Plak!
Kupukul tangannya, "Seenak jidat lu yang lebar itu ngatain gue, terserah kalian deh! Cari aja kalo gitu gimana alurnya, males gue liat kalian. Dikasih ide bukannya di tangkap dan diterima.
Malah pada ngatain mulu kerjaannya, kayak gak ada aja opsi yang lain. Sono deh kalian, males banget gue liat wajah-wajah kalian tuh!" usirku mengibaskan tangan.
"Lah, seharusnya lu yang pergi kek di drama-drama gitu," tegur Megi padaku.
"Wah ... kalian ngelunjak, nih! Kan kalian yang datang ke meja gue, sana deh pada musnah kalian dari bumi ini. Biar berkurang beban keluarga dan negara!" jelasku menatap dengan kesal ke arah mereka.
Kembali kukunyah bakso dengan cepat dan berharap mereka enyah dari hadapanku, tugas kali ini membuat badmood saja.
Padahal, biasanya mereka nurut saja sama ide yang aku beri. Tapi kali ini? Mereka malah nentang parah.
Andai ... gue seorang Ning, nih! Pasti, gampang saja urusan semacam ini. Mereka pasti gak akan ada yang berani membantah.
"Yaudah, deh. Gimana konsep yang lu mau? Coba jelasin, kalo emang kita-kita tertarik. Konsep animasi dari lu kita pake sebagai tugas!" putus Megi yang sepertinya sudah berpikir puluhan tahun yang lalu. Eh, emangnya dia bisa mikir?
"Idih, sok banget kalian pada! Gaya-gayaan tertarik-tertarik, ogah gue jelasin! Terserah kalian aja!" putusku yang tentu saja ngambek plus marah pada mereka.
Pergi meninggalkan mereka sebab merek tak kunjung pergi, "Bik, berapa?" tanyaku sambil mengambil uang dalam saku.
"10ribu aja," jawabnya.
"Makasih Bik." Kutinggalkan uang pas di mejanya dan pergi ke luar kantin.
Mataku membulat saat melihat di ujung sana ada kepala sekolah, 'Mampus, mau pergi balik ke kantin juga gak mungkin,' batinku yang mau tak mau terus berjalan ke arah depan sedangkan kepala sekolah menatapku sudah dengan sangat teramat datar melebihi triplek.
"Hehe, siang Buk," sapaku dengan cengengesan. Memundurkan kerudung ke belakang juga memasukkan rambut yang terjurai keluar dari kerudung.
Kedua sisi kerudung yang tadinya kubuat di kanan dan kiri sekarang kuturunkan menutupi dada.
"Udah rapi, Buk!" sambungku yang paham dengan tatapannya itu.
Ia masih diam, diam-diam mencari kembali kesalahanku dengan menatap ke arah sepatu, "Lepas sepatunya!"
"Ha? Jangan dong Buk! Nanti saya pake apa?" mohonku dengan menangkup kedua tangan di depan dada.
"Lepas sepatunya!" tegasnya kembali dengan nada yang dingin. Kuhela napas pendek, kalo panjang ntar payah dong aku napas balik.
Terpaksa kubuka sepatu yang berwarna putih, "Padahal ada juga warna hitamnya ini," gerutuku sambil membuka sepatu.
Aku masih heran dengan sistem pendidikan di Indonesia, bukannya fokus pada nilai dan cara mendidik saja.
Malah, masalah sepatu juga dipermasalahkan. Bahkan, aku pernah di hukum karena ketahuan cat rambut.
Sekarang, rambutku kupotong agar tidak terlihat meskipun rambutku berwarna. Dengan sangat tidak ikhlas kuberi sepatunya.
"Buat apa kaos kakinya? Saya cuma minta sepatu kamu!" tekan kepala sekolah yang berjenis kelamin perempuan, wanita, women dan girl.
"Tanggung Bu," jawabku singkat dan melenggang pergi meninggalkannya dengan ceker ayam.
Kalian tahu? Aku sebenarnya tidak terlalu suka melawan guru apalagi dia yang statusnya kepala sekolah.
Hanya saja, aku tidak suka dengan seseorang yang mengatur anak muridnya begitu keras sedangkan anaknya sendiri tidak.
Kebetulan, anak kepala sekolah ini bersekolah di sini juga dan kelas sebelas. Aku ... adalah Kakak kelasnya.
Anaknya biasa saja, gak pernah dia tegur tuh. Padahal dia lebih parah daripada aku pake; lipstik, maskara, alisan bahkan eyeshadow dah kek mau kondangan saja.
Ya ... meskipun memang seharusnya tidak boleh membandingkan yang buruk dengan buruk lainnya karena tetap saja buruk intinya.
Cuma ... ya, ngotak dikit dong jadi kepala sekolah. Anaknya bisa ngelakuin apa saja kenapa murid yang lain, enggak?
"Mampus gue!" gerutuku saat melihat laki-laki yang paling tak ingin kulihat keberadaannya di muka bumi ini.
Kubalikkan badan dengan segera dan berjalan cepat menjauh darinya, "Mega! Mega!" panggilnya.
Tapi, tak sama sekali aku berniat berhenti apalagi melihat ke arahnya. Seharusnya ia tahu aku menghindar artinya gak suka dengan keberadaan dia.
Meskipun aku anaknya begini, aku kesian buat terus terang kepada seseorang. Takut kalo dia ngerasa sakit di tolak oleh Princess sepertiku ini.
"Kamu, aku panggil dari tadi. Kok gak denger, sih?" tanyanya saat sudah berada di sampingku.
"Eh, lu ada manggil gue?" tanyaku cengengesan melirik ke arahnya.
"Udah lupain aja, kamu mau ke mana?"
"Ha? Mau ke kelas," jawabku menunjuk ke depan.
Kedua tanganku di pegang oleh Angga Yunanda membuat aku berhenti dan menatap ke arahnya, "Kenapa?" tanyaku bingung dengan apa yang sedang dilakukannya.
"Kelas kamu, 'kan di sana," tunjuk Angga ke arah kiri kami.
"Eh, udah pindah, ya?" Kugaruk kepala yang tidak gatal, bisa-bisanya mau bohong tapi malah salah kayak gini.
Aku berjalan duluan meninggalkan Angga. Ya ... namanya doang Angga Yunanda, aktor terkenal nan tampan itu.
Aslinya? Ya, beda jauhlah dia sama tuh orang. Tapi, aku harus akui bahwa dia adalah orang yang sangat pintar. Gak di segala hal.
Buktinya, dia sangat bodoh dalam memilih orang yang di suka. Masa, begitu banyak wanita di SMK ini dia malah ngejar-ngejar aku.
Bahkan, 'Dih, ngapain lagi nih adik kelas cabe-cabean liatin gue kayak begitunya!' batinku saat melihat anak kepala sekolah beserta ke-lima temannya menatap ke arah kami.
Nah, itu salah satu orang yang menyukai Angga dan mengejar-ngejar Angga. Ya ... Angga memang lumayan, sih.
Lumayan ganteng, tinggi, pintar, bisa main gitar apalagi nyanyi suaranya enak banget, pemain basket, futsal dan juga ketua osis.
Setahu aku dari orang-orang yang sering cerita tentang sosok Angga, dia juga pernah di kontrak sebagai model suatu produk.
Sekarang, entah masih jadi model atau tidak. Aku tak pernah menanyakannya pada Angga, gak penting banget!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments