NovelToon NovelToon

Menjadi Seorang Ning

Bakal Tikus

"Woy, tugas animasi kita kali ini apa?" pekik Wendi.

"Gimana, kalo animasi ilustrasi tentang kerasnya dunia?" saran Kanaya.

"Bodo lu! Ya, kali ada anak kecil mau liat begituan, mending juga mereka liat cinta-cintaan," timpal Megi.

"Gimana ... kalau kita buat animasi soal seorang wanita yang berpindah ke tubuh seseorang?" potongku.

Kami ber-empat sedang melingkar di kelas memikirkan tugas yang diberikan oleh salah satu guru.

"Ha? Gila, lu? Yakali, ada orang yang mau liat kayak begituan," protes Wendi. Satu-satunya laki-laki di geng kami.

Sebenarnya, kami sebelumnya tidak menerima anggota cowok. Tapi, karena kesian melihat Wendi yang tidak punya teman dan selalu di bully.

Jadilah kami memungut dia, dia dijauhi dan di bully bukan karena sebab. Dirinya jauh lebih kemayu daripada kami bertiga.

Bak kata orang-orang, ya, dia yang lebih keliatan seperti cewek dibanding kami apalagi aku. Beuh ....

"Jadi, menurut lu orang-orang pada mau liat animasi yang gimana? Yang pacaran, gandengan tangan? Halah, itu udah biasa!" kritikku dan bangkit dari bangku.

Eh ... tunggu, Guys! Kalian mau kenalan sama satu per satu temen aku, gak? Kita juga belum kenalan, ya, 'kan? Tak kenal maka tak cinta, udah kenal boleh deh sama duda kaya raya. Ups ....

"Tapi, Mega Gavesha. Hal semacam itu gak masuk akal, tau, gak?" Kanaya tak kalah protes juga atas usul yang kuberikan.

Yap! Mega Gavesha adalah nama yang disematkan pada wanita yang manis dan unyu ini sekitar tujuh belas tahun lebih satu bulan yang lalu.

"Kita itu harus jadi anak muda yang beda, beda dari orang-orang lain. Kalau soal percintaan apalagi soal kenakalan di animasi begitu mah dah biasa banget.

Hal yang beda harus kita lakukan, masa kita mau sama kayak orang-orang, sih? Gak zaman banget tau!" ujarku pada mereka semua.

Kutatap mereka yang semula kubelakangi, "Gimana?" sambungku.

Mereka menggelengkan kepala dan menatapku seperti orang aneh, "Kalian kuno banget, sih? Itu bagus, tau! Udahlah, gue mau ke kantin aja!" putusku dan pergi meninggalkan mereka di dalam kelas.

"Buk Nining, bakso tikusnya satu mangkuk, ya!" pintaku dengan suara sedikit teriak membuat orang yang ada di kantin langsung menatap.

"Hahaha, becanda kali! Yakali, Buk Nining mau ngasih kalian makan daging tikus. Seharusnya kalian semua mah dikasih makan daging buaya!" sambungku dengan tertawa melihat wajah panik mereka.

Padahal, kalo pun beneran emangnya mereka tahu kalau itu daging bakso tikus dan enggaknya?

''Lu, ya, Mega demen banget buat orang jantungan!'' kesal Bik Nining memukul lenganku.

''Lagian mereka, sok takut segala makan daging tikus. Giliran makan uang korupsi dari Maknya biasa aja tuh,'' cibirku bersandar pada meja jualan Bik Nining menatap manusia-manusia yang pada akhirnya di medsos milik pribadi akan ada tulisan ''Info loker.''

Setelah menunggu lima belas menit, pesananku sudah selesai dan Bik Nining langsung menyerahkannya padaku.

Ya ... memang sistemnya di sini sangat mandiri, pembeli harus mengambil makanan yang dia mau sendiri.

Kalau di cafe-cafe, pasti udah gak laku nih kalau begini modelnya. Eh, tapi, beda halnya di luar negri.

Bahkan, ada juga yang sampai tidak punya penjaga. Mereka memberikan kepercayaan penuh pada pembeli.

Kuletakkan mangkuk dan duduk di meja paling sudut, tempat favorit-ku dan teman-teman biasanya.

Kuambil handphone di saku baju sekolah dan membuka aplikasi yang paling tahu segala hal di dunia ini bahkan gambar surga saja dia tahu, woy?!

Hebat banget, 'kan? Kuketik apa yang ingin kucari sambil menambahkan saos juga cabe kecuali kecap, soalnya aku gak suka.

Ning merupakan sebutan atau gelar bagi keturunan Kyai bagi perempuan. Gelar ini menjadi pertanda bahwa seseorang memiliki tugas yang berat!

Hal ini sesuai dengan filosofi kata, 'Ning' sendiri yang berasal dari kalimat berbahasa Jawa, 'Beningno ati' yang berarti jernihkan hati.

Orang yang bergelar demikian hendaklah bisa menjernihkan hati agar menjadi contoh yang baik bagi pengikutnya/santri.

Sambil mengunyah bakso, aku membaca pengertian dan melihat bagaimana sebenarnya dunia pesantren itu.

Btw, aku mulai tertarik dengan hal berbau islami ini saat membaca sebuah novel yang menunjukkan kisah bagaimana seorang Ning menikah dengan Gus.

"Tugas yang berat? Apakah yang berat di situ adalah saat dia dijodohkan dan dipaksa nikah, ya?" gumamku menatap lurus ke depan.

"Enak kali, ya, jadi seorang Ning? Bisa nyuruh-nyuruh santri dan makanan dimasakkan. Ntar ... kalo aku gak suka tinggal ngadu ke Umik hahaha." Aku tertawa sendiri membayangkan bagaimana kehidupan-ku jika menjadi seorang Ning.

Hidup yang bisa memerintah orang banyak, dinikahkan dengan Gus yang ganteng juga sabar serta orang tua yang sangat sayang sama anaknya.

Wajar, aku dan ketiga temanku korban broken home semua. Tapi, tenang! Kami semua kaya, jadi orang tua kami selalu berpikir bahwa yang terpenting adalah uang di dunia ini.

Gak perlu tuh, sosok orang tua yang memberi kasih sayang atau bahkan pengertian juga cinta ke anaknya.

Seperti aku, aku adalah anak tunggal dari orang tua yang dibilang berada. Papaku seorang anggota DPR dan Mama kepala sekolah yang cukup terkenal.

Tapi, aku bukanlah sekolah di mana Mama bekerja. Aku sekolah di SMK Negeri 6 dengan mengambil jurusan animasi.

Orang tuaku menentang? Tentu saja tidak, mereka tidak peduli apa pun yang aku ambil untuk hidupku.

Aku tinggal bertiga dengan Bibik juga tukang kebun di rumah, mereka suami istri yang merawatku dari kecil.

"Si anj*ng, dicariin ke mana-mana malah makan bakso!" omel Kanaya si paling beda agama dari kami ber-empat.

Dia ... mmm ... wanita cukup cantik, berkulit cokelat dan tinggal bareng Ibunya. Dia udah punya pacar dan kalau udah ketemu sama pacarnya.

Beuh ... bucinnya gak ketulungan, paling banyak mantan di antara kami karena gampang di tembak juga dan pasti langsung nerima siapa saja.

"Tau, tuh! Orang lagi pusing juga bahas soal tugas malah asik di sini dia nelan daging tikus buatan Bik Nining," protes Megi wanita yang namanya mirip samaku.

Banyak orang kira kami kembar; Maga, Megi padahal wajah kami juga orang tua beda. Aku terima dia sebagai teman juga sebab itu, karena nama kami rada mirip.

"Bik Nining, Megi ngehina bakso bibik!" pekikku mengadu dengan tersenyum jahil ke arah Megi.

"Heh! Kamu, ya, mau gak Bibik kasih lagi makan di sini? Mau makan di mana kamu, ha?" tegur Bik Nining yang selalu emosi setiap kali kami datang ke kantin.

Aku dan lainnya tertawa kecuali Megi yang cegengesan tak jelas, ia mengepalkan tangan ingin memukul diriku.

Cabe-cabean

"Lagian, ya, aku udah kasih masukan tentang tugas kita kali ini yaitu buat animasi seperti perpindahan jiwa gitu.

Dari seorang anak berandal ke tubuh seorang yang alim banget, pasti akan banyak orang yang mau liat. Anime aja banyak yang kayak gitu, apalagi cerita di si orange," usulku kembali yang tidak tahu akan diterima atau tidak.

"Lu habis baca cerita apaan, sih? Sampe bisa kepikiran hal yang se-tol*l itu ha?" caci Wendi menopang dagunya menatap aku.

Nah, kalau terong satu ini tadi sudah aku jelaskan, bukan? Kenapa kami memungut dia, karena iba tentu saja.

Wajah yang gak ganteng-ganteng amat, banyak takutnya dan paling mudah capek. Bahkan, dia pernah pingsan karena upacara selama satu jam lamanya.

Sangat malu-maluin sekali, bukan? Kalau soal IQ-nya aku kasih 0,5/10 deh. Karena, emang gak ada pintar-pintarnya woy!

Dia selalu debat dengan Kanaya, nih! Ada saja hal yang mereka debatin, mungkin kalau jadi anggota DPR mereka cocok, terus diundang sebagai bintang tamu di Mata Najwa wkwkwk.

Plak!

Kupukul tangannya, "Seenak jidat lu yang lebar itu ngatain gue, terserah kalian deh! Cari aja kalo gitu gimana alurnya, males gue liat kalian. Dikasih ide bukannya di tangkap dan diterima.

Malah pada ngatain mulu kerjaannya, kayak gak ada aja opsi yang lain. Sono deh kalian, males banget gue liat wajah-wajah kalian tuh!" usirku mengibaskan tangan.

"Lah, seharusnya lu yang pergi kek di drama-drama gitu," tegur Megi padaku.

"Wah ... kalian ngelunjak, nih! Kan kalian yang datang ke meja gue, sana deh pada musnah kalian dari bumi ini. Biar berkurang beban keluarga dan negara!" jelasku menatap dengan kesal ke arah mereka.

Kembali kukunyah bakso dengan cepat dan berharap mereka enyah dari hadapanku, tugas kali ini membuat badmood saja.

Padahal, biasanya mereka nurut saja sama ide yang aku beri. Tapi kali ini? Mereka malah nentang parah.

Andai ... gue seorang Ning, nih! Pasti, gampang saja urusan semacam ini. Mereka pasti gak akan ada yang berani membantah.

"Yaudah, deh. Gimana konsep yang lu mau? Coba jelasin, kalo emang kita-kita tertarik. Konsep animasi dari lu kita pake sebagai tugas!" putus Megi yang sepertinya sudah berpikir puluhan tahun yang lalu. Eh, emangnya dia bisa mikir?

"Idih, sok banget kalian pada! Gaya-gayaan tertarik-tertarik, ogah gue jelasin! Terserah kalian aja!" putusku yang tentu saja ngambek plus marah pada mereka.

Pergi meninggalkan mereka sebab merek tak kunjung pergi, "Bik, berapa?" tanyaku sambil mengambil uang dalam saku.

"10ribu aja," jawabnya.

"Makasih Bik." Kutinggalkan uang pas di mejanya dan pergi ke luar kantin.

Mataku membulat saat melihat di ujung sana ada kepala sekolah, 'Mampus, mau pergi balik ke kantin juga gak mungkin,' batinku yang mau tak mau terus berjalan ke arah depan sedangkan kepala sekolah menatapku sudah dengan sangat teramat datar melebihi triplek.

"Hehe, siang Buk," sapaku dengan cengengesan. Memundurkan kerudung ke belakang juga memasukkan rambut yang terjurai keluar dari kerudung.

Kedua sisi kerudung yang tadinya kubuat di kanan dan kiri sekarang kuturunkan menutupi dada.

"Udah rapi, Buk!" sambungku yang paham dengan tatapannya itu.

Ia masih diam, diam-diam mencari kembali kesalahanku dengan menatap ke arah sepatu, "Lepas sepatunya!"

"Ha? Jangan dong Buk! Nanti saya pake apa?" mohonku dengan menangkup kedua tangan di depan dada.

"Lepas sepatunya!" tegasnya kembali dengan nada yang dingin. Kuhela napas pendek, kalo panjang ntar payah dong aku napas balik.

Terpaksa kubuka sepatu yang berwarna putih, "Padahal ada juga warna hitamnya ini," gerutuku sambil membuka sepatu.

Aku masih heran dengan sistem pendidikan di Indonesia, bukannya fokus pada nilai dan cara mendidik saja.

Malah, masalah sepatu juga dipermasalahkan. Bahkan, aku pernah di hukum karena ketahuan cat rambut.

Sekarang, rambutku kupotong agar tidak terlihat meskipun rambutku berwarna. Dengan sangat tidak ikhlas kuberi sepatunya.

"Buat apa kaos kakinya? Saya cuma minta sepatu kamu!" tekan kepala sekolah yang berjenis kelamin perempuan, wanita, women dan girl.

"Tanggung Bu," jawabku singkat dan melenggang pergi meninggalkannya dengan ceker ayam.

Kalian tahu? Aku sebenarnya tidak terlalu suka melawan guru apalagi dia yang statusnya kepala sekolah.

Hanya saja, aku tidak suka dengan seseorang yang mengatur anak muridnya begitu keras sedangkan anaknya sendiri tidak.

Kebetulan, anak kepala sekolah ini bersekolah di sini juga dan kelas sebelas. Aku ... adalah Kakak kelasnya.

Anaknya biasa saja, gak pernah dia tegur tuh. Padahal dia lebih parah daripada aku pake; lipstik, maskara, alisan bahkan eyeshadow dah kek mau kondangan saja.

Ya ... meskipun memang seharusnya tidak boleh membandingkan yang buruk dengan buruk lainnya karena tetap saja buruk intinya.

Cuma ... ya, ngotak dikit dong jadi kepala sekolah. Anaknya bisa ngelakuin apa saja kenapa murid yang lain, enggak?

"Mampus gue!" gerutuku saat melihat laki-laki yang paling tak ingin kulihat keberadaannya di muka bumi ini.

Kubalikkan badan dengan segera dan berjalan cepat menjauh darinya, "Mega! Mega!" panggilnya.

Tapi, tak sama sekali aku berniat berhenti apalagi melihat ke arahnya. Seharusnya ia tahu aku menghindar artinya gak suka dengan keberadaan dia.

Meskipun aku anaknya begini, aku kesian buat terus terang kepada seseorang. Takut kalo dia ngerasa sakit di tolak oleh Princess sepertiku ini.

"Kamu, aku panggil dari tadi. Kok gak denger, sih?" tanyanya saat sudah berada di sampingku.

"Eh, lu ada manggil gue?" tanyaku cengengesan melirik ke arahnya.

"Udah lupain aja, kamu mau ke mana?"

"Ha? Mau ke kelas," jawabku menunjuk ke depan.

Kedua tanganku di pegang oleh Angga Yunanda membuat aku berhenti dan menatap ke arahnya, "Kenapa?" tanyaku bingung dengan apa yang sedang dilakukannya.

"Kelas kamu, 'kan di sana," tunjuk Angga ke arah kiri kami.

"Eh, udah pindah, ya?" Kugaruk kepala yang tidak gatal, bisa-bisanya mau bohong tapi malah salah kayak gini.

Aku berjalan duluan meninggalkan Angga. Ya ... namanya doang Angga Yunanda, aktor terkenal nan tampan itu.

Aslinya? Ya, beda jauhlah dia sama tuh orang. Tapi, aku harus akui bahwa dia adalah orang yang sangat pintar. Gak di segala hal.

Buktinya, dia sangat bodoh dalam memilih orang yang di suka. Masa, begitu banyak wanita di SMK ini dia malah ngejar-ngejar aku.

Bahkan, 'Dih, ngapain lagi nih adik kelas cabe-cabean liatin gue kayak begitunya!' batinku saat melihat anak kepala sekolah beserta ke-lima temannya menatap ke arah kami.

Nah, itu salah satu orang yang menyukai Angga dan mengejar-ngejar Angga. Ya ... Angga memang lumayan, sih.

Lumayan ganteng, tinggi, pintar, bisa main gitar apalagi nyanyi suaranya enak banget, pemain basket, futsal dan juga ketua osis.

Setahu aku dari orang-orang yang sering cerita tentang sosok Angga, dia juga pernah di kontrak sebagai model suatu produk.

Sekarang, entah masih jadi model atau tidak. Aku tak pernah menanyakannya pada Angga, gak penting banget!

Gak Bahaya, Tah?

Ide jahil seketika hadir untuk memanasi tuh orang, aku yang awalnya sedikit jauh dari Angga sekarang mendekat bahkan memegang pergelangan tangannya.

Kalau kalian mau tahu kayak mana, contohnya kayak artis-artis giti deh yang au masuk ke sebuah acara dengan karpet merah dan gau yang super ribet.

Kulirik ke arah Angga, wajahnya kaget melihat apa yang tengah aku lakukan. Bahaya, nih, kalau sampai dia baper dengan apa yang aku lakukan sekarang.

Wajah cabe-cabean itu tampak merah saat melihat kami mulai mendekat ke arahnya, ''Ada apa, adik kelas?'' tanyaku sok raah pada mereka.

''Cuma mau bilang, Kak Angga dipanggil sama guru,'' ungkapnya yang aku tidak tahu apakah benar atau tidaknya.

''Siapa, Dek?'' tanya Angga dengan alis yang tertaut.

''Guru MTK, Kak,'' ujarnya mencoba tetap tersenyum meskipun aku tahu bahwa hati terluka, tuh!

''Oh, yaudah. Nanti Kakak datang ke sana,'' putus Angga sedangkan aku hanya sok-sok msnjs padanya menampilkan wajah imut.

''Kata gurunya sekarang, Kak,'' protes, nih, Cabe. Bisa saja meemang kalau orang sirik ntuh, mah.

''Iya, Kakak anter Kak Mga ke kelasnya dulu,'' tutur Angga menatap ke arahku membuat aku sedikit mendongak.

''Oh, gak perlu. Lu ke sana aja daripada nanti gurunya ngamuk ke gue karena lu lebih mentengi gue dibanding tugas, 'kan?

Jadi, pergi aja deh. Gue juga bisa pergi sendiri ke kelas, kok,'' tuturku melepaskan tanganku darinya.

Ia menatap hal itu dengan wajah kecewa, nah, kecewa, 'kan , lu? Lagian, siapa suruh mau jadi babu sekolah? Eh, wkwkwk.

"Yaudah kalau gitu, aku ke sana dulu, ya, kamu hati-hati ke kelasnya," balas Angga tersenyum dan mengusap kepalaku.

Tak lama, mereka semua akhirnya pergi bersamaan dengan anak cabe tadi.

"Huwek! Gaya-gayaan sok romantis segala, ngusap pala gue," gerutuku dan mengusap-usap kepala meninggalkan jejak tangan tuh orang.

"Woy!" teriak teman-temanku dan datang dengan menabrak tubuhku.

Untuk saja gak jatuh, mana badanku paling kecil di sini dibanding yang lainnya lagi, "Dih, kalian apaan, sih? Untung aja gue gak jatuh!" gerutuku menatap tajam ke arah mereka.

"Gak bahaya, ta?"

"Awas nanti anak orang baper!"

"Sungguh teganya-teganya Mega mempermainkan cintaku ...."

"Apaan, sih kalian? Gak jelas banget, bye!" cetusku meninggalkan mereka. Pasti, mereka ngeliat apa yang aku lakukan tadi sama Angga.

Ya ... mereka juga tahu soal Angga yang gak pernah menyerah buat deket sama gue. Meskipun, sering banget gue bilang bahwa gak ada rasa sama dia.

Kek ... males saja gitu, dia terlalu monoton hidupnya. Kenapa aku bisa tahu? Karena ... dia pernah cerita sama aku meskipun aku gak peduli sama sekali soal itu.

Masuk ke dalam kelas dengan ceker ayam dan merasakan dinginnya keramik sekolah ini, kupilih duduk di bangku-ku yang berada di paling belakang.

Aku sendirian di bangku ini, sebenarnya teman-temanku sempat mau duduk bareng denganku tapi aku tak menerima mereka.

Karena, yang ada nanti aku akan selalu di cepu-in jika melakukan sesuatu. Makan misalnya, atau tidur dan lain sebagainya.

Kuambil sepatu yang ada di kolong meja, entah guru tahu atau tidak soal ini. Aku menyimpan sepatu, hels, sendal jepit di dalam meja.

Pertemuan dengan client orang tuaku suka mendadak, mereka terkadang membawa aku yang selalu mereka sebut sebagai, 'aset'

Entah nanti ending hidupku akan dijodohkan atau tidak. Namun, setiap kali aku ikut mereka untuk meeting atau yang lebih tepatnya makan bersama.

Banyak orang tua, orang tua mereka ingin aku jadi menantunya dengan embel-embel agar kerja sama terus berjalan lancar.

Tapi, sejauh ini Mama dan Papa tidak pernah mengubris ucapan mereka. Hanya dijawab gelak tawa saja.

"Ke mana sepatu lu?" tanya Kanaya yang baru saja masuk di susul dengan dua orang lainnya.

"Biasa," jawabku singkat dan menatap ke arahnya.

"Hadeuh ... kayaknya, ya. Sepatu di ruang BK, tuh, semua isinya punya lu."

"Mau dijual sekolah kayaknya, 'kan lumayan dijual 1jt laku keras dah tuh. Itung-itung beramal buat memperbaiki; WC, gerbang sekolah juga asbes kelas yang bocor," terangku menatap ke arah Kanaya dan tersenyum.

"Njir, pembahasan lu serem mulu! Lu enak, kalo dikeluarin bisa dibawa ke luar negri. Lah, gue? Bisa-bisa ikut Ayah gue ke kuburan sono," geram Kanaya.

"Hahaha, sans ae kali!"

"Pulang sekolah ke pantai, yuk!" ajak Wendi duduk di bangku sebrang.

"Besok ajalah, 'kan besok libur," jelasku menatap ke arahnya sambil men-cek handphone.

Ada notifikasi dari Papa diantara beberapa pesan yang masuk dan sudah lama kubiarkan tanpa berniat untuk membalas juga melihatnya.

[Pulang sekolah, langsung ke rumah dan jangan ke mana-mana. Papa ada urusan sama kamu!]

Aku berdecih dan langsung menghapus pesan darinya, mood-ku semakin anjlok mendapatkan pesan dari seseorang yang membuat aku menyesali lahir ke dunia ini.

Tak lama setelah itu, handphone-ku berdering kali ini dan tertampil nama, 'Mama'

"Hmm?" dehemku ketika panggilan tersambung dengan tetap duduk di bangku membuat teman-temanku yang tadinya sedang bercerita menatap ke arahku.

"Sayang ... nanti kamu pulang sekolah langsung ke rumah, ya. Mama mau ngasih tau sesuatu sama kamu," jelasnya memberi tahu maksud ia menelpon-ku.

"Hmm!" Kembali deheman kuberi sebagai jawaban dan memutuskan panggilan secara sepihak.

Kupilih mematikan handphone daripada akan ada lagi panggilan-panggilan dari mereka yang membuat aku risih.

"Oh, iya, mengenai tugas sekolah. Kita udah sepakat akan pakai ide dari lu Mega," terang Megi membuatku mendongak setelah memasukkan handphone ke dalam tas.

"Kenapa? Kenapa baru mau pakainya sekarang, ha?" tanyaku dengan menaikkan alis sebelah juga tersenyum.

"Gak usah sok senyum segala lu!" protes Wendi padaku.

"Ngape? Takut jatuh cinta lu sama gue?" tanyaku nyolot dan full percaya diri.

"Daripada sama lu, mending sama Megi!" imbuh Wendi dengan suara pelan dan melihat ke lantai.

"APA?" teriak kami bertiga secara bersamaan, mungkin Wendi tidak sadar bahwa ucapannya itu akan di dengar.

Aku hanya tertawa melihatnya, bukan berarti gak boleh ada yang suka. Itu semua hak mereka aku juga tidak pernah melarangnya.

Plak!

"Enak bener lu jatuh cinta sama gue, cari cewek yang lain aja. Gue gibeng lu kalo beneran jatuh cinta sama gue!" larang Megi memukul lengan Wendi dan menampilkan kepalan tangan ke arah Wendi.

Sedangkan Wendi hanya cengengesan sambil menggaruk kepalanya membuat aku semakin ngakak melihat tingkah salah tingkah tuh anak.

"Kembali ke topik, kita pakai ide lu karena selama ini, 'kan emang pakai ide dari lu semua setiap kali buat tugas dan gak pernah ngecewain.

Meskipun, kali ini kita sedikit ngerasa aneh dengan ide yang lu beri. Tapi, setidaknya ketika kita ngerasa aneh, itu artinya ide dari lu jarang ada di pasaran," ungkap Megi memberi tahu alasannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!