"Kelas 12 Aliyah itu artinya berapa, sih?"
Mega mengetuk-ngetuk dagunya dan menatap lurus ke depan, ia tak tahu kelas 12 aliyah itu kelas berapa artinya.
Suara pintu terbuka di ruang utama, Mega bangkit saat feeling-nya mengatakan bahwa itu adalah Abah.
"Assalamualaikum," salam Abah dengan pelan karena tahu bahwa orang rumah pasti sudah tidur.
"Waalaikumsalam Abah!" seru Mega sembari membuka pintu kamar.
"Kenapa masih bangun, Sayang? Kamu belum tidur?" tanya Abah menatap ke arah Mega yang berdiri di ambang pintu.
"Belum, Bah. Masih, nyiapin buku besok dibawa ke pondok," jawab Mega.
"Oh ... belajar yang pinter, ya, Sayang. Sebentar lagi kamu akan ujian lulusan, jadi haru semangat belajar, ya!"
'Mau lulus? Berarti, aliyah itu setara sama SMK dong atau SMA, ya? Artinya, aku seusia sama Afifa dong ternyata?' batin Mega yang akhirnya tahu.
"Ini, ada surat dan bingkisan dari beberapa santriwati buat kamu. Mereka seneng kamu datang ke aula tadi buat nemenin mereka ngajinya," sambung Abah menyerahkan papar bag yang berisi pemberian santriwati tadi.
"Wah ... banyak banget, Bah! Makasih, ya," ucap Mega tersenyum gembira.
"Yaudah, kamu tidur sana. Abah juga mau langsung tidur," titah Abah yang dibalas dengan anggukan oleh Mega.
Ia masuk kembali ke dalam kamar tak lupa mengunci kembali pintu, diletakkan di nakas papar bag tadi memilih untuk melanjutkan menyiapkan buku-buku.
Jam sudah menunjukan pukul 10 malam, Mega segera berjalan ke arah ranjang karena merasa sudah sangat ngantuk.
Membaca doa dan ayat-ayat pendek terlebih dahulu, setelahnya Mega menutup mata dan masuk ke dalam tidurnya.
***
Mega masuk ke dalam suatu ruangan, ruangan yang begitu gelap dan hanya ada satu lampu tanpa apa pun itu.
Tiba-tiba, seorang wanita masuk entah dari pintu mana dengan kebingungan yang sama dengan dirinya.
"K-kamu, Afifa, ya?"
"Kamu ... Mega?"
Mereka akhirnya saling peluk satu dengan yang lain, bertemu dengan tubuh yang beberapa jam lalu mereka huni.
"Bagaimana dengan duniaku, apa kau tertarik Mega?" tanya Afifa menatap ke arah Mega.
"Lu dipenuhi oleh orang-orang yang cinta sama lu, bahkan santriwati lainya juga sangat cinta sama lu.
Gue belum tau, sih, apa sebabnya lu gak mau bersosialisasi karena jawabannya belum gue dapatkan.
Tapi, satu yang harus lu tau. Mereka begitu bahagia saat melihat kehadiran lu, jika satu orang mengecewakanmu bukan berarti yang lainnya juga.
Lagian, seharusnya lu juga tau bahwa ketika lu berharap sama manusia, ya, siap-siap aja akan kecewa," ungkap Mega membuat Afifa menunduk.
Afifa mendongak dan melihat ke arah Mega, "Dunia kamu juga sangat menyenangkan, apalagi saya bangunnya hampir mau Isya. Semuanya panik termasuk kedua orang tua kamu.
Mereka kaget pas tiba-tiba saya nyari kerudung kamu dan mereka liat kamu pake kerudung plus pakaian syar'i.
Hehe, lucu banget ketiga teman kamu, ya. Meskipun, saya masih takut untuk sekolah besok harus bertemu dengan teman-teman kamu di sekolah.
Saya tau kalau orang tua kamu bercerai, tapi tadi yang saya liat. Mereka sudah bisa mulai meredakan intonasi bicara mereka.
Mereka gak bisa tau apa yang kamu mau dan rasakan dan kamu gak bisa merubah hal buruk dengan melakukan yang buruk pula.
Jika kamu mau mereka gak teriak-teriak saat berbicara, juga tidak saling marah dan memaki maka kamu harus nasehati dengan lemah lembut bukan dengan teriakan pula."
Mega mengangguk seolah membenarkan saran yang diberi oleh Afifa, bahwa sesuatu yang buruk tak akan bisa berubah jika kita ingin mengubahnya tapi menggunakan hal yang buruk juga.
Mereka akhirnya kembali saling berpelukan satu sama lain, bahkan Afifa sampai meneteskan air matanya.
"Bagaimana? Apakah kalian sudah bisa menerima kehidupan kalian satu dengan yang lainnya?
Jika hanya beberapa jam, saya rasa terlalu sebentar. Saya beri waktu seminggu untuk kalian agar benar-benar bisa belajar dan berubah menjadi orang yang bisa menerima kenyataan.
Selama seminggu kedepan, kalian harus benar-benar merubah diri terutama jiwa kalian itu agar tidak iri sama kehidupan orang lain.
Dan harus kalian yakini bahwa kehidupan kalian jauh lebih baik daripada kehidupan orang lain, jika kalian ingin jiwa kalian itu berpindah!" terang suara yang masuk ke dalam ruangan ini tanpa adanya wujud.
Hal itu membuat Afifa dan Mega terkejut, mereka melihat-lihat ke arah ruangan dengan rasa panik.
"Siapa lu, ha? Gak perlu seminggu, gue udah bisa berdamai sama kehidupan gue! Udah, gue gak mau lagi jadi Ning. Bener deh!"
"Iya, saya gak mau lagi ngerasain bebas kok. Saya janji," lirih Afifa.
Namun, tak ada lagi sahutan setelah itu. Berapa banyak kata-kata yang mereka ucapkan satu pun tak ada yang menjawabnya.
"Sayang ... Sayang! Afifa, kamu kenapa?!" pekik Umi menggoyangkan tubuh Mega membuat Mega membuka matanya.
Mega langsung di dudukkan oleh Umi dan bersandar, keringat dingin membanjiri tubuh Mega.
Ia mengerjapkan mata menatap ke arah Umi, "Minum dulu, kamu kenapa toh Sayang? Mimpi buruk, ya?" tanya Umi menyerahkan gelas yang berisi air.
Mega mengambil gelas dan meminum air, melihat ke arah ambang pintu yang ternyata sudah ada Abah juga Akbar.
Dilirik ke arah jam baru jam 12 malam, pantasan orang rumah sampai terjaga semuanya. Ternyata, masih terlalu dini.
"Kamu mimpi apa? Kenapa sampai teriak-teriak gitu, ini lagi sampai keringat dingin kamu," ucap Umi mengelap keringat di kening Mega.
"Kamu lupa baca doa, ya, Nduk?" timpal Abah yang sekarang ikut masuk ke dalam kamar.
"Mbak mimpi nikah tuh kayaknya Umi, Abah," celetuk Akbar tak mau ketinggalan.
"Gak tau Umi, Abah. Mungkin, Afifa mimpi jatuh kayaknya," jawab Mega dengan cengengesan.
"Ingat, ya, Sayang. Mimpi buruk itu datangnya dari setan, jadi gak perlu takut, ya."
Mega mengangguk dengan paham, "Kalau gitu, kamu tidur balik. Umi, Abah dan Akbar mau kembali ke kamar," putus Umi mengusap surai hitam milik Mega sebelum keluar kamar.
"Maaf, ya, Umi. Abah dan Akbar."
"Ndak, papa Sayang."
Pintu kembali ditutup dengan mereka bertiga keluar dari kamar Mega, Mega melorotkan bahu serta membuang napas panjang.
Diletakkan gelas tadi kembali ke nakas dan memegang dadanya, jantungnya masih berdegub dengan kencang akibat mimpi tadi.
Mimpi? Apakah itu benar mimpi? Kenapa rasanya seperti nyata? Tapi ... di mana tempat itu jika nyata?
"Seminggu. Aku dan Afifa punya waktu seminggu untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Menjadi manusia yang tidak iri hati serta menerima dengan ikhlas takdir yang diberi-Nya," gumam Mega menatap lurus ke depan.
Ia kembali merebahkan tubuh karena masih ada beberapa jam lagi hingga waktu tahajud, dua rakaat sebelum subuh serta salat subuh tiba.
Masuk kembali ke alam mimpi tak lupa membaca doa sebelumnya, berharap tak akan masuk ke tempat itu kembali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments