Selepas perginya Papa, Afifa dan Mama kembali berjalan ke arah sofa untuk duduk diikuti oleh teman-teman Afifa yang menatap ke arahnya dengan masih tidak percaya.
"Mega, lu beneran gak kenapa-kenapa? Lu keknya aneh, tau!" timpal Kanaya menatap ke arah Afifa.
'Afifa gak tau lagi nama mereka, Afifa harus panggil dengan sebutan apa, ya?' batin Afifa meremas tangannya.
Suara azan berkumandang membuat Afifa mengalihkan pandangan melihat ke arah jam, "Maaf, semuanya. Saya mau salat dulu, ya. Udah azan, Mama juga mau salat sama-sama?" tanya Afifa menatap ke arah Mama.
"Eh, enggak Sayang. Mama harus pulang, kamu salat aja sendiri. Oh, iya, besok kita ke rumah sakit, ya. Mama mau periksa kamu kembali," tutur Mama menatap ke arah Afifa.
Afifa mengangguk dan menyalim tangan Mamanya, "Afifa ke kamar dulu, ya. Mama hati-hati di jalan. Assalamualaikum," salam Afifa meninggalkan mereka semua.
"Bik, tolong buatin makanan yang sangat-sangat sehat buat Afifa. Jangan kasih micin, ya. Saya gak tau kenapa dengan tuh anak, saya mau pulang dulu. Ingat! Jangan kasih micin biar otaknya gak terlalu geser kayak sekarang," titah Mama bangkit dari duduk dan pergi dari rumah sambil memijit keningnya.
"Bibik ke belakang dulu, ya, semuanya," pamit Bibi pada teman Afifa.
"Iya, silahkan Bi," jawab mereka serempak.
Dengan tergopoh-gopoh, akhirnya Bibi berjalan ke dapur meninggalkan teman Afifa untuk menyiapkan makan malam.
"Bener, deh, ada yang gak beres sama manusia purba itu. Gimana kalo ternyata dia amnesia, ha? Kalo dia lupa sama kita semua gimana?"
"Gak mungkinlah bego, lu kira dia habis kejedot apaan atau ketabrak apaan? Dia baik-baik aja pas di pantai, 'kan? Terus ... lima menit gak kita liat, dia langsung pingsan gitu. Gak mungkin lima menit dia langsung benturkan kepala biar lupa ingatan!" ungkap Wendi yang tidak sependapat dengan apa yang dikatakan Megi.
"Atau ... jangan-jangan," tebak Kanaya bangkit dari duduk dan berjalan selangkah sembari membalikkan badan, "Mega diberi hidayah dadakan sama Tuhan sehingga dia taubat dan menjadi hamba yang lebih baik lagi!"
Wendi dan Megi terdiam mendengar ucapan Kanaya barusan, "Bener juga, sih. Sedikit masuk akal kalau tiba-tiba dia bisa langsung berubah 180° kayak gini, 'kan berkat hidayah dari Allah," timpal Megi yang merasa bahwa kata-kata Kanaya ada benarnya.
"Tapi, masa langsung kayak gini banget? Lu liat dia sampe teriak nyuruh keluar laki-laki yang ada di dalam kamarnya tadi?
Di mana-mana, ya, yang gue tau. Mereka akan hijrah dengan keadaan siap dan sadar, bukan pingsan kayak tadi," celetuk Wendi.
"Iya, juga, sih. Ada benernya kata Wendi barusan," ungkap Megi mengangguk dan menunjuk ke arah Wendi.
"Udahlah, terserah gimana nantinya. Yang penting, 'kan sekarang Mega udah sadar dan gak kenapa-kenapa.
Yang gawat itu kalau sampai tuh anak gak sadarkan diri, bisa-bisa kita bertiga dimasukkan ke kantor polisi sama Mama dan Papanya itu," kata Kanaya kembali duduk ke sofa.
Pintu kamar Afifa kembali dibuka olehnya karena ia sudah siap melakukan kewajiban sebagai muslim, Afifa melenggang berjalan ke arah dapur.
"Woy, Mega!" panggil Wendi saat melihat Afifa tidak menghiraukan mereka.
"Dih, nih anak! Lu kenapa malah sombong kayak gini sama kita? Lu gak lupa sama kita-kita pada, 'kan?" tanya Kanaya.
Mereka bertiga bangkit dan berjalan ke arah Afifa yang berhenti akibat panggilan dari mereka tadi, Afifa sedikit menjauh dari mereka.
"Dih, lu kenapa mundur kayak gitu Nyet? Lu kira kita apaan? Kita temen lu dari kelas 10, lho," gerutu Megi yang mulai kesal dengan sikap Afifa.
'Gimana ini? Afifa paling gak biasa punya teman akibat trauma Afifa dulu, atau ... Allah memasukkan jiwa Afifa ke orang ini agar Afifa tahu bahwa tidak semua orang itu sama dengan teman Afifa dulu?' batin Afifa kembali meremas jarinya.
"Dih, keringetan dia. Kek ketemu sama begu aja lu!" ucap Wendi melihat kening Afifa yang bercucuran keringat.
"Udah-udah, jangan kayak gitu. Mungkin, Mega butuh waktu untuk sendiri. Mending sekarang, kita pulang aja dulu.
Lagian, besok juga ketemu lagi, 'kan? Semoga pas kita ketemu di sekolah lu Mega udah baik-baik aja, gak sampe keringat dingin ketemu sama kita," harap Kanaya dengan tersenyum simpul.
Mereka akhirnya mengangguk dan mencoba memahami situasi Afifa sekarang, "Yaudah, deh, kalau gitu. Kita pulang dulu, ya. Bye!" pamit Wendi berjalan lebih dulu keluar dari rumah.
Ketika Wendi akan lewat, Afifa kembali memberi jarak dengan memundurkan tubuhnya, "Lu kalau ada apa-apa, langsung hubungi kita, ya. Kita pergi dulu, good night," papar Kanaya mengusap bahu Afifa dan melangkah ikut pergi.
"Jangan sampai berubah menjadi Mega yang gak kita kenal, ya. Kalau emang lu mau hijrah, jangan sampai menjauh dari kita.
Ingat, kita juga keluarga lu! Kalo emang lu marah sama kita, kasih tau. Jangan menjauhi kita kayak gini, ok?!" terang Megi menatap ke arah Afifa dan dibalas dengan anggukan.
Mereka akhirnya pergi dari rumah Afifa, Afifa menatap rumah yang memiliki tangga serta barang-barang terbilang mewah.
Ia menatap segala pajangan yang ada serta foto-foto, "Jadi, Mega ini anak korban percerain orang tua, toh? Dia tinggal di sini sama Bibi tadi doang?
Dan ... itu teman dia? Emangnya baik semua mangkanya dia bisa dekat kayak gitu? Tapi ... kalo denger dari kalimat temen-temannya.
Kayaknya emang baik semua, sih. Waktu itu juga teman aku berlaku yang sama kayak teman Mega, baik. Tapi pada akhirnya, apa?
Eh, astagfirullah Afifa. Kamu ndak boleh suudzon dengan orang lain, orang yang kamu temui di masa lalu dengan yang sekarang pasti beda.
Apalagi, ini tubuh orang lain. Jadi ... kalau aku masuk ke dalam tubuh Mega, artinya Mega masuk ke dalam tubuh aku dong?
Apa ... apa dia bisa jadi aku? Sedangkan di sini aja pakaian dia kayak begini, gimana nanti dengan Abah dan Umi? Atau Akbar?
Pasti mereka akan sangat kaget jika melihat anak gadisnya berpakaian membuka aurat dan berperilaku buruk," gumam Afifa resah dan cemas dengan keadaan Mega di tubuhnya.
"Lagian, ini di mana, sih?" sambungnya kembali melihat keadaan rumah mencari tahu ia tinggal di kota mana.
"Non Mega!" panggil Bibi kepada Afifa yang sedang fokus mencari tahu alamat rumah dan di mana ia tinggal sekarang.
"Astagfirullah!" Afifa berlonjat kaget dan menatap ke arah Bibi sambil mengelus dadanya.
"Eh, maafin saya Non. Hehe, saya ndak tau kalo Non lagi fokus liat sesuatu."
"G-gak papa, Bi. Ada apa?" tanya Afifa menatap ke arah wanita itu.
"Anu, makanannya udah siap. Ayo, makan malam dulu," ajak Bibi dan dibalas anggukan oleh Afifa.
"Bibi, kok gak ngajak saya buat ikutan masak?" tanya Afifa di sela-sela berjalan ke arah dapur.
Bibi langsung berhenti melangkah ke arah ruang makan dan menatap ke arah Afifa, tak lama suara tawa dari bibir wanita itu keluar.
"Non masak telur aja gosong sampai mau buat dapur kebakaran, apalagi masak makanan yang lain Non," ejek Bibi kembali tertawa sambil berjalan ke dapur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments