Papa mendekat ke arahku seolah ingin memelukku, "Gak perlu, Pa. Aku udah gak butuh pelukan Papa lagi!" terangku mencegah niatnya.
Ia yang tadinya ingin mendekat seketika terhenti, "Kakimu berdarah, biar Papa obatin, ya!" usul Papa menatap ke arah kakiku.
"Gak perlu, biar aku suruh Bibik aja nanti. Papa kasih tau apa maksud dan tujuan Papa ke sini aja!" tegasku muak dengan basa-basinya.
"Mmm ... jadi, dua hari lagi Papa akan ada pertemuan dengan client. Mereka, 'kan sudah tau bahwa kamu adalah anak Papa.
Jadi, ya ... Papa harus bawa kamu karena ini pertemuan keluarga. Nanti, Mama baru kamu juga ikut," jelas Papa maksud dan tujuannya.
"Jadi, kalau mereka gak tau kalo aku adalah anak Papa. Artinya, Papa gak akan ngajak aku ke acara itu?" tanyaku dengan tersenyum miring menatap ke arah Papa.
"B-bukan kayak gitu, Sayang," gelagap Papa.
Aku diam dan menampilkan wajah datar menatap ke arah depan dengan tatapan kosong, "Kirim baju juga tukang riasanya ke sini."
"Ha? Kamu beneran mau Sayang? Makasih, ya, makasih banget. Gak akan lama, kok. Paling satu jam doang, nanti Papa akan tambahin uang jajan kamu.
Kalau gitu, Papa pulang dulu, ya. Assalamualaikum," salamnya dan pergi dengan bahagia setelah apa yang ia inginkan dapat.
Tanpa ia tahu, bahwa dibalik bahagianya itu. Ada aku yang terluka dengan sifat serta sikapnya. Bibik masuk ke kamar dengan sesenggukkan.
Ia memang mudah menangis jika sudah melihat pertengkaran seperti ini, "Sini kakinya Non, biar Bibi obatin," pinta Bibi dan duduk di sampingku.
Kunaikkan kaki ke hadapan Bibi, membiarkan wanita ini mengobatinya. Aku sedikit meringis saat ternyata kakiku yang kena serpihan kacanya bukan satu saja.
"Sakit, Non?" tanya Bibik saat melihat aku menggigit bibir.
"Lumayan Bik."
"Kita ke rumah sakit aja, ya. Itu bibir Non juga berdarah karena terlalu kuat Non gigit, hiks ... Bibi takut jadinya Non. Ayo, kita ke rumah sakit aja!" ajak Bibi yang malah berhenti mengobatiku saat melihat bukan hanya satu serpihan yang kena.
"Haha, oke-oke Bik. Tapi, jangan nangis gitu dong," ujarku mengusap pipi Bibi.
"Cepet Non, ganti baju, ya. Bibik bilang sama Mang sopir dulu!" timpal Bibi meletakkan P3K ke nakas dan berlari keluar kamar memanggil sopir.
Aku sedikit tertatih bangkit dari ranjang, berjalan menutup pintu lebih dulu dan mengganti seragam sekolah dengan dres se-lutut agar dokter nantinya mudah mengobati luka kakiku.
Ya ... sebenarnya aku tadi menggunakan rok panjang, hanya karena terlalu menghayati seolah masuk ke dunia film-film perdebatan.
Aku naikkan deh tuh rok sampai se-lutut karena aku juga selalu menggunakan celana dalaman pendek lainnya.
Sehingga, mau tak mau saat gelas kujatuhkan dengan sengaja di depan kaki. Kakiku juga ikut kena, deh.
"Ayo, Non. Pelan-pelan, ya," ucap Bibi merangkulku.
"Maaf, ya, Non. Bibi gak bisa ikut," sambung Bibi ketika sudah berhasil membantuku masuk ke dalam mobil.
Bibi trauma rumah sakit, sebab beberapa keluarga yang ia cintai pasti meninggal ketika di rumah sakit.
Terakhir yang membuat dia sangat trauma hingga tak berani lagi ke rumah sakit saat anaknya harus meninggal juga di rumah sakit.
"Iya, Bik. Mega paham, kok. Gak papa, Mega bisa sendiri," ujarku dengan tersenyum simpul.
"Hati-hati, ya, Mang!"
"Sip, Bik!"
Di dalam mobil, kunyalakan kembali handphone untuk melihat pesan-pesan unfaedah dari teman-temanku.
Sudah ratusan pesan dari grup tersebut membuat aku akhirnya hanya menyimak karena gak paham mereka udah bahas sampai mana.
"Gimana rasanya Non?" tanya sopir menatap ke arahku dari kaca spion.
"Rasa apa Pak?" tanyaku balik.
"Itu, kakinya. Ampe banyak gitu yang kena serpihan kaca, Bapak aja ngilu liatnya," ujarnya menaikkan bahu karena memang yang membantuku tadi sepenuhnya Bibi sebab sopir-ku ini takut katanya.
"Rasanya, anj*ng banget!" seruku dan tertawa bersama dengannya.
Begitu sampai di rumah sakit, sopir bukannya membantu aku masuk ke dalam malah memanggil suster yang ada.
Suster akhirnya datang sambil membawa kursi roda, bukan hanya suster wanita tapi laki-laki yang membantuku turun dari mobil dan duduk di kursi roda.
"Awas aja, Bapak! Gajinya saya potong karena ninggalin saya di mobil sendirian!" ancamku ke arahnya sebelum dibawa masuk oleh suster ke dalam rumah sakit.
Sangat menyebalkan sekali, bisa-bisanya dia malah ninggalin aku. Kalau terjadi apa-apa tadi padaku, bagaimana? Mana aku gak bisa lari.
Aku dibawa ke ruangan dokter langganan kami dulu, gak tahu kalau Mama dan Papa sekarang jika sakit periksa ke dokter mana.
"Wah ... anak cantik habis ngapain, nih?" tanya dokter laki-laki dengan kacamata petak yang bertengger di hidung mancungnya itu.
"Habis guling-guling di tumpukan kaca, Dok!" ketusku.
"Haha, ada saja jawabanmu itu," tegurnya dan mendekat ke arahku, "mau rebahan atau duduk di sini aja?"
"Sini aja deh, Dokter," tawarku yang sudah tidak kuat lagi jika harus disuruh bergerak.
"Oke, biar dokter yang jongkok deh. Demi kamu," ujarnya mengambil alat-alat medisnya.
Beberapa kali aku meringis dan menggigit kain yang diberikan dokter padaku, tanpa sadar rasa sakit ini membuat air mataku menetes.
'Apakah aku harus membalas air mataku ini pada Mama dan Papa?' batinku yang dipenuhi oleh dendam pada mereka berdua.
"Sudah! Sini ... bibirnya biar Om obatin juga," ucapnya menatap-ku.
Kulepaskan kain tadi dari bibir dan membiarkan ia mengobati bibirku yang terluka akibat ulahku sendiri.
"Kamu gak capek nyakiti diri sendiri mulu?" tanya dokter yang kali ini serius.
"Enggak, lebih baik saya nyakiti diri sendiri daripada membalas sakit yang saya rasakan ke orang tua saya," ungkapku menatap wajahnya yang tepat di hadapanku.
Dokter tersenyum dan menghapus jejak air mata di pipiku, ia mengusap rambutku serta berdiri, "Sudah!"
"Terima kasih dokter."
"Sama-sama, yuk, saya antarkan ke luar dan ambil obat."
"Harus banget minum obat dokter? Kan, udah diobati juga."
"Biar cepat kering dan sembuh, untuk beberapa hari kamu jangan pakai kaos kaki dulu, ya. Atau ... boleh pake rok pendek, gak?"
"Gak boleh dokter."
"Tapi, ini 'kan urgent."
Aku mendongak dan menatap wajahnya, "Mangkanya, besok-besok dokter buat sekolah sendiri yang ngebolehin berbagai hal di sekolah itu!" terangku dengan ketus.
"Untuk anak se-usiamu, kau terlalu pemarah Mega."
"Bodo amat!" jawabku singkat.
Dokter hanya terkekeh dan mengambilkan obat di apotek, setelah itu kami berhenti di resepsionis untuk membayar pengobatan.
"Makasih, dokter!" ujarku karena telah dibantu naik ke dalam mobil juga.
"Pak? Masih takut sama luka dan darah?" tanya dokter melihat ke arah sopirku.
"Hehe, iya, Pak dokter," jawabnya dengan cengengesan sedangkan dokter tersenyum dan menggelengkan kepala.
"Dokter kalo ada denger yang nyari loker dan bisa nyupir, kabari saya, ya. Mau saya ganti, tapi buat dia yang biasa liat darah juga luka, ya!" timpalku dengan wajah datar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments