Saat aku akan keluar dari Hall B, terdengar suara Chika memanggil. Aku menoleh dan gadis itu sudah tampak pucat, ia mencengkram lenganku erat.
“Mama, apa dia di rumah?” tanyanya. “Aku mencoba menelponnya tapi tidak diangkat!”
“Ini hari Minggu, dia pasti di rumah,” jawabaku, ikut mengecek gawai. “Pesanku juga tidak dibaca, padahal sudah terkirim.”.
Aku melepas cengkraman gadis itu. “Chika, aku harus kesana sekarang untuk memastikan Tante Tara baik-baik saja.”
“Aku ikut!” Chika hampir berlari mengikutiku tapi teman-temannya di belakang memanggil.
“Chika, mau kemana? Kita disuruh berkumpul di Hall A!”
Gadis itu menghentikan langkahnya, ia menoleh ke belakang, lalu kembali menatapku. Sorot matanya tampak ragu dan bingung.
“Pergi temui teman-temanmu,” ucapku. “Aku akan pulang duluan dan memberitahumu kabar Tante Tara.”
“Tolong, ya, Arka,” suara Chika bergetar. Ia pasti sangat takut dan khawatir.
Aku langsung bergegas keluar dari Jakarta Convention Center. Di saat seperti ini, mencari transportasi online pasti sulit. Kalau pun dapat, belum tentu driver-nya mau mengantar ke lokasi yang sedang terjadi Outbreak. Itu cari mati namanya.
Jalanan seketika menjadi macet total. Ini pasti efek pengumuman Outbreak. Orang-orang berusaha keluar dari kawasan Jakarta. Mereka tidak tahu skala kerusakan yang terjadi akan meluas sampai wilayah mana, jadi lebih baik kalau saat ini pergi menjauh ke pinggir kota.
Semua orang berpikiran sama, kendaraan pribadi bersaing di jalanan yang sempit sehingga mengakibatkan macet total. Transportasi umum lumpuh seketika.
Aku melihat helikopter TNI terbang melintasi udara, mereka menuju ke arah Jakarta Barat. Papan reklame digital di jalan-jalan mulai menampilkan peringatan evakuasi, seluruh tayangan di televisi juga menayangkan berita Outbreak, masyarakat—terutama yang tinggal di Jakarta Barat diminta untuk meninggalkan area tersebut.
Sejak tadi gawaiku bergetar karena pesan dari Asosiasi Hunter yang terus menerus bermunculan, mulai dari informasi terkini Outbreak, perintah evakuasi, sampai panggilan kepada Hunter Peringkat B keatas untuk membantu membersihkan monster-monster di Jakarta Barat.
“Kalau menunggu transportasi umum bisa lama.” Aku menggaruk kepala yang tidak gatal sambil memikirkan cara.
“Lari, hanya itu satu-satunya cara.” Aku menghela napas. Belakangan ini, aku bisa menyelesaikan quest lari 1 kilometer kurang dari 15 menit, seharusnya, jika menambahkan status point pada DXT, aku bisa berlari lebih cepat lagi.
Sambil memasang ancang-ancang berlari, aku memindahkan 10 status poinku ke atribut DXT.
Name: Arkana Ganendra | Level: 26
Race: Human | Job: -
Element: - | Path: -
Title: Croptiller
Guild: - :
Pet: -
HP: 360 (+350)
MP: 360
STR: 41 (+15) | INT: 26
VIT: 26 | DRB: 26 (+15)
DXT: 47
Status point: 32
Ketika kekuatan kukerahkan ke pijakan, terasa tubuhku terlontar dan melesat jauh, seperti berlari di atas angin. Sekelilingku berlalu dengan cepat. Perasaan ini seperti berkendara di dalam mobil balap. Dalam sekejap, aku sudah tiba di lampu merah perempatan dekat dengan perumahan kami.
Asap hitam membumbung dari berbagai lokasi, api terlihat membakar beberapa gedung. Jalanan rusak dan mobil-mobil mengalami kecelakaan. Dampak yang dihasilkan sudah sebesar ini. Saat aku sedang mencari-cari monster yang jadi penyebabnya, sudut mataku menangkap tiga mahluk hijau berwajah buruk rupa, tinggi tubuh mereka tidak sampai satu meter.
“Goblin?” seruku, tidak percaya.
Ketiga goblin itu botak, memiliki mata runcing dengan pupil hitam berbentuk garis. Mereka hanya mengenakan cawat dan membawa kayu untuk memukul. Goblin adalah monster yang cukup umum dijumpai di dalam dungeon. Mereka tergolong dalam monster Kelas D, jadi seharusnya berasal dari Dungeon Tingkat 2.
Hampir tidak pernah ada kejadian Outbreak dari Dungeon Tingkat 2. Penyebab Outbreak ini kemungkinan dari dua hal, kelompok Hunter yang bertindak ceroboh hingga akhirnya dibunuh oleh para goblin, atau dungeon tersebut tidak berhasil ditututp dalam tiga hari.
Aku mendengar teriakan dari arah dua mobil yang terguling di jalanan. Terlihat tiga goblin tadi sedang menarik kaki gadis muda yang terjepit di dalam jok mobil depannya.
“Tolong!” wanita itu berteriak ketakutan. Ketiga goblin tadi sudah akan merobek celana jeansnya.
Inilah yang paling tidak kusukai dari goblin. Monster-monster ini memang tidak terlalu kuat dan bertubuh kecil, tapi nafsu mereka untuk bereproduksi sangat tinggi. Sayangnya, tidak ada goblin berjenis kelamin perempuan, jadi mereka suka menyulik perempuan dari ras lain untuk dijadikan alat reproduksi. Termasuk manusia.
Aku melompat turun dari atas lampu merah dan langsung menghampiri ketiga goblin itu. Tangan kananku mengeluarkan Grasscutter dan seketika mengarahkan mata pisau sabit ke masing-masing leher mereka. Satu ayunan dari tanganku dan tiga kepala itu putus seketika. Wanita tadi menjerit melihat goblin di hadapannya ambruk tanpa kepala.
“Tenang, mereka sudah mati,” ucapku. “Aku Hunter, biar kubantu Anda keluar dari mobil.”
Setelah mendengar kalimatku, wanita itu menjadi lebih tenang. Ia mengikuti instruksiku dengan baik, proses penyelamatannya jadi jauh lebih mudah dilakukan. Akhirnya wanita itu berhasil keluar dari himpitan mobil.
“Di sini banyak goblin, tolong berhati-hati,” pesanku.
Wanita itu mengangguk paham. Setelah memastikannya pergi ke tempat aman, aku langsung melanjutkan perjalanan ke rumah.
Semakin dekat dengan perumahan, para goblin itu semakin banyak yang terlihat. Ada beberapa Hunter yang tengah bertarung melawan para goblin itu. Mataku dengan cepat memindai Hunter-Hunter tersebut, kebanyakan adalah Hunter Peringkat D dan E. Ada beberapa Hunter Peringkat C, tapi sepertinya mereka juga mulai kewalahan karena kalah jumlah dengan pasukan goblin.
Aku berberlok menghampiri sekelompok goblin yang tengah mengepung empat orang Hunter berperingkat D. Dari belakang, aku melesatkan beberapa serangan yang seketika memotong tubuh para goblin itu. Tubuh-tubuh mereka terbelah dua dan jatuh berceceran di aspal.
Para Hunter itu tampak terkejut melihat kehadiranku.
“A–aku tidak melihatnya datang tadi,” bisik salah satu dari mereka.
Aku menoleh ke arah para Hunter itu. “Ada beberapa penduduk yang belom mengungsi, lebih baik kalian membantu mereka keluar dari tempat ini.”
“Kami mengerti!” jawab Hunter yang mengenakan armor berwarna hitam. Mereka berempat langsung pergi dan mencari para penduduk yang masih tertinggal di area perumahan.
Sambil menuju ke rumah Tante Tara, aku akan membasmi para goblin yang sedang berkeliaran di jalan-jalan. Dari pintu gerbang perumahan, terlihat para goblin berlarian di sekitar pos satpam. Mereka mengejar dua petugas satpam yang tampak ketakutan dan panik.
Aku langsung berlari ke arah mereka dan membunuh kedua goblin itu. Tidak mengulur waktu, aku menjejakkan kaki dan lompat ke atas atap salah satu rumah bertingkat tiga. Dari atas, aku bisa lebih leluasa mengamati.
Rumah-rumah tampak rusak. Para goblin itu menjebol pintu, memecahkan kaca, bahkan menghancurkan pagar rumah. Beberapa Hunter terlihat sedang bertarung di ruas-ruas jalan. Tidak sedikit penghuni perumahan yang masih terjebak di dalam, dikepung oleh goblin-goblin.
Aku mendatangi salah satu halaman rumah yang dipadati oleh segerombol Goblin Paladin. Goblin ini berada satu kasta lebih tinggi dibandingkan goblin biasa. Mereka adalah goblin yang mengenakan armor besi, membawa perisasi dan senjata tajam seperti pedang.
Aku maju menyerang para goblin tersebut. Goblin Paladin memiliki celah di kepala mereka yang tidak sepenuhnya tertutup pelindung. Aku menusukkan ujung sabit Grasscuter ke mata mereka. Tusukan itu menembus sampai belakang kepala dan menghancurkan otak mereka seketika.
Goblin lainnya seketika menyadari kehadiranku. Kaki-kaki kecil mereka berlarian ke arahku sambil mengangkat pedang. Namun, aku bergerak jauh lebih cepat dari mereka. Dalam sekejap, aku sudah menghabisi sisa empat belas Goblin Paladin lainnya.
[Anda telah naik level!]
“Setelah empat hari menganggur, akhirnya naik level lagi,” gumamku sambil melihat layar pemberitahuan sistem. Memang lebih efisian menaikkan level dengan membunuh monster. Kalau begitu, sekalian saja kubunuh semua goblin yang ada di sini.
Aku melesat meninggalkan rumah tersebut. Selama perjalanan ke rumah Tante Tara, aku membantai setiap goblin yang terlihat. Aku tidak memberi mereka kesempatan untuk melawan sama sekali. Setiap bertemu dengan goblin, aku langsung lompat ke depannya, memotong tubuh atau menusuk kepala mereka sampai tewas seketika.
[Anda telah naik level!]
[Anda telah naik level!]
Aku membunuh banyak goblin sampai tidak terhitung jumlahnya. Jalan-jalan yang kulewati pasti meninggalkan tubuh-tubuh goblin yang sudah menjadi mayat.
Tinggal satu belokan lagi dan aku akan sampai di rumah. Tiba-tiba terdengar suara teriakan yang familiar. Tidak jauh, terlihat gerobak bubur Mang Asep yang terjungkal. Mang Asep berada di belakang gerobaknya yang terbalik, sementara di depannya terdapat lima Goblin Paladin.
“Tolong, jangan! Silakan makan buburnya, tapi jangan bunuh aku!” ujar Mang Asep yang ketakutan.
Aku langsung melompat ke tempatnya sambil menyiapkan serangan dengan Grasscutter. Tiga tusukan dan dua sabetan mendarat di tubuh-tubuh goblin itu. Mereka pun tewas seketika dan berjatuhan di depan Mang Asep.
“Arka!” Mang Asep berseru dengan ekspresi bahagia. “Terima kasih! Kamu boleh makan bubur gratis selama sebulan!”
“Sempat-sempatnya masih mikirin soal bubur,” tanggapku disertai senyum kecil. “Lihat itu kaki Mang Asep.”
Mang Asep melihat ke pergelangan kaki kanannya. Sepertinya ia tadi terkena sabetan pedang goblin. Terlihat pergelangan kakinya robek sampai tulangnya terlihat. Mang Asep berteriak lagi karena ketakutan melihat darah yang bersimbah dari lukanya.
Aku mendekatkan tanganku pada luka Mang Asep.
“Heal,” gumamku dan luka itu sembuh seketika.
Mang Asep melongo melihat luka di kakinya menghilang tidak berbekas. “Arka sejak kapan jadi dukun?”
“Ini bukan kekuatan dukun, Mang,” balasku sambil tertawa kecil. “Sudah ya, di dekat sini ada Hunter yang lagi mengecek rumah-rumah, Mang Asep ikut mereka saja biar dibantu evakuasi.”
“Kamu mau kemana lagi?”
“Ke rumah, cari Tante Tara,” jawabku sambil berdiri.
Saat aku sampai di rumah, bangunan itu tampak sudah hancur sebagian. Wajahku berubah menjadi pucat. Jika kehancurannya separah ini, bagaiaman dengan kondisi Tante Tara. Pintu rumah tampak dijebol dari luar, aku masuk ke dalam dan menemukan dinding rumah yang sudah berlubang besar. Perabotan berjatuhan dan kaca-kaca hancur, seperti ada horde yang habis menerjang rumah ini. Sungguh mengerikan.
“Tante Tara!” aku berseru memanggilnya, tapi tidak ada yang menyahut.
Kakiku menjelajahi setiap ruangan, tidak ada sosoknya dimana pun. Beralih ke lantai dua, juga tidak ada siapa-siapa. Ketika mengecek dapur, aku menemukan handphone Tante Tara tergeletak di meja. Kulihat di layarnya banyak panggilan masuk dari Chika, begitu pun pesan dariku. Tidak ada satu pun yang sempat ia baca.
Aku berharap saat terjadi Outbreak, Tante Tara sedang pergi berbelanja atau apa, tapi melihat handphone-nya tertinggal di dapur, jelas ia berada di rumah saat para goblin itu datang menyerang.
“Oh, tidak,” kedua kakiku lemas seketika. Tanganku berpegangan pada meja agar tubuhku tidak ambruk. Kepalaku terasa linglung. “Kemana Tante Tara?”
Aku memiliki asumsi, tapi ini asumsi yang buruk. Para goblin ini mungkin menangkap Tante Tara dan membawanya ke sarang mereka untuk dijadikan alat reproduksi.
“Tidak, tidak!” Membayangkannya saja sudah emmbuat perutku bergejolak saking mualnya. “Jika itu benar, artinya aku harus datang ke tempat mereka!”
Tekadku membulat. Aku pun melangkah meninggalkan dapur. Namun, di depan pintu masuk berdiri seekor monster seperti badak bercula satu. Di atas monster itu ada goblin setinggi 1.5 meter, duduk sambil membawa senjata seperti tombak.
“Goblin Raider,” gumamku sambil melempar tatapan yang dipenuhi kemarahan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
myseeds
Lah, terus cara reproduksi nya gimana? Klo pake spesies lain kan harusnya jadi campuran gak sih
2023-06-25
0