Bab 18: Jakarta Convention Center

Siang itu, gerimis turun membahasi Jakarta. Aku melangkah keluar dari bank membawa payung hitam. Lega rasanya semua utang orang tuaku sudah lunas. Setelah Denis mentransfer uangnya, aku langsung pergi ke bank untuk membayar utang orang tuaku.

Aku tersenyum kecil memandang saldo rekeningku di gawai. Uang miliaran itu seketika ludes untuk dipakai bayar utang. Dulu kukira bekerja seumur hidup pun, aku tidak akan bisa melunasi utang mereka. Aku tahu, mustahil bisa mengumpulkan 3.5 miliar rupiah hanya dengan bekerja sebagai Porter, tapi aku tetap melakukannya karena tidak ada pilihan lain.

Sekarang, beban besar itu sudah diangkat sepenuhnya dari pundakku. Ekspresi wajahku teras lebih rileks. Perasaan ‘plong’ didada ini sulit digambarkan, tapi langkah kakiku jadi ikut terasa ringan. Kabut gelap yang menghalangi jalanku seperti menghilang. Sekarang, aku sudah bebas dari jerat utang sialan tersebut.

Benar, aku harus mengabari Tante Tara.

Aku mengirimkan foto surat bukti utang lunas kepada Tante Tara. Tidak lama, muncul pesan balasan darinya. Sebagian besar berisi pertanyaan darimana aku mendapatkan uang sebanyak itu. Ia juga khawatir aku berbuat kriminal untuk mendapatkan uang secara instan.

Jariku memijit ponsel, membalas berbagai ketakutan Tante Tara dengan kata-kata menenangkan. Syukurlah, ia akhirnya percaya kalau aku dapat uang sebanyak itu dari menjual material langka dungeon. Tante Tara pun mengucapkan syukur dan selamat padaku.

Tante Tara: Untuk merayakannya, malam ini aku akan masak yang enak-enak! Pulang cepat ya, Arka!

Aku tertawa kecil membaca pesan darinya, lalu memberi jawaban cepat, “Oke” disertai stiker lucu.

“Masalah besar sudah beres,” gumamku sambil memasukkan kembali handphone ke dalam saku. “Sekarang, tinggal menunggu Denis kembali ke Jakarta.”

Empat hari lalu, aku sudah menghubungi Denis dan mengajaknya betemu untuk membahas soal kerjasama dengan Guild Moon Orchid. Sayangnya, Denis sedang mengikuti konferensi di Surabaya bersama dengan pembimbingnya.

Aku juga baru tahu kalau Denis ternyata mahasiswa doktoral di salah satu universitas top negara ini. Sulit membayangkan bagaimana cara ia membagi waktu mengurus guild dengan mengerjakan tugas-tugas kuliahnya.

Tring!

Terdengar suara pemberitahuan masuk, kukira dari sistem, ternyata dari ponsel. Kulihat di layar, ada pesan dari Asosiasi Hunter. Mereka sedang mengadakan acara di Jakarta Convention Center. Acara itu meliputi konsultasi karir, medical check-up gratis, penjualan senjata dan armor, sampai booth-booth Pendaftaran Guild untuk Hunter yang ingin bergabung dengan serikat.

Acaranya cukup besar, mereka juga menyewa satu Hall untuk dipakai sendiri. Pasti banyak Hunter yang akan datang.

“Apa aku ikut Registrasi Ulang ya?”

Saat berbincang terakhir kali dengan Denis, ia sempat menyarankanku untuk ikut Registrasi Ulang. Itu karena ia tidak yakin kalau aku adalah Hunter Tanpa Peringkat.

Aku menghela napas, bahkan sampai detik ini pun aku tidak memiliki keterangan elemen di dalam status profilku. Aku juga tidak mengalami fenomena Rebirth. Bagaimana pun, diriku ini tidak bisa disebut Hunter sepenuhnya.

Kekuatanku memang meningkat drastis, itu yang membuatku penasaran dan ingin mengeceknya saat Registrasi Ulang. Siapa tahu, aku akan mendapatkan Peringkat baru. Jika iya, aku akan menjadi satu-satunya orang yang mampu melakukan pembaruan Peringkat.

Jika seseorang mengalami Rebirth dan Asosiasi Hunter sudah menetapkan Peringkatnya, maka itu adalah Peringkat permanen. Mau sekeras apa pun Hunter itu berlatih, peringkatnya tidak akan pernah berubah. Dia akan tetap pada peringkat itu tidak peduli sehebat apa pun keterampilannya dalam memakai kekuatan elemen.

Begitu pun, kasus yang sama pada diriku. Tidak peduli seberapa kuat diriku saat ini, jika aku tidak lolos penilaian dari Asosiasi Hunter, artinya aku akan tetap berada di tingkat Hunter Tanpa Peringkat.

Kupikir melakukan Registrasi Ulang tidak akan lama, sore nanti aku akan pulang dan sampai di rumah sebelum Maghrib. Lagipula aku tidak ada kegiatan lagi hari ini, semua Daily Quest sudah kukerjakan.

“Baiklah, aku pergi ke sana kalau begitu,” putusku, bulat.

Aku menyetop salah satu taxi di pinggir jalan, lalu melesat ke gedung Jakarta Convention Center.

...***...

Bagian pintu masuk Hall B Jakarta Convention Center sudah ramai, dipadati oleh para Hunter. Ada antrian panjang di depan pintu masuk, setiap Hunter mengeluarkan ID mereka dan melakukan pemindaian dengan petugas dari Asosiasi Hunter.

Di dalam ruang luas yang sudah didekorasi tersebut tampak beberapa booth milik Asosiasi Hunter. Di belakangnya terdapat panggung besar dan seorang pembawa acara sedang mewawancarai salah satu Hunter. Tampaknya itu salah satu bagian dari rangkaian acara mereka.

Aku membuka denah booth di gawai sambil berjalan-jalan di sekitar. Ada deretan booth yang menjual armor dalam bentuk pakaian. Booth sebelahnya menjual berbagai jenis senjata, seperti pedang, kapak, panah dan belati. Ada juga booth alkemi. Booth ini menjual berbagai jenis ramuan, salah satunya yang paling populer adalah potion.

Booth alkemi berada di tengah dan ukurannya cukup luas. Rak-rak kaca yang berjajar memajang berbagai jenis potion. Namun, yang paling cepat habis adalah potion penyembuh.

Selama ini para Hunter hanya bisa mengobati luka mereka mengandalkan potion. Potion yang mahal maka kemampuan penyembuhnya juga semakin hebat. Seperti potion yang sedang kulihat sekarang, tercantum di label harganya mencapai 5 juta rupiah per botol. Potion ini mampu mengobati luka besar seperti pendarahan sampai fungsi organ yang gagal.

“Oh, inikan?” aku mengenali salah satu potion berukuran kecil yang terletak di etalse. Potion berisi cairan merah itu persis seperti yang kumiliki di dalam Inventory. Small HP Potion. Mataku melotot saat melihat harga jualnya mencapai 7.5 juta per botol, untuk ramuan penyembuh sekecil itu.

Sementara aku punya 20 botol di dalam Inventory dan belum pernah kupakai. Itu baru yang berukuran kecil, belum yang berukuran sedang. Namun, aku tidak memiliki keinginan untuk menjualnya. Item yang diberikan oleh sistem terlalu berharga untuk dijual.

Aku sudah selesai berkeliling di area perdagangan dan sekarang mengitari booth-booth milik serikat. Ada lebih dari 30 guild yang mendirikan booth pendaftaran anggota baru. Setiap booth guild itu juga mencoba menunjukkan keunikannya masing-masing.

Misal, Guild bernama Babi Ngepet. Guild ini termasuk dalam 50 Guild Terbaik di Indonesia. Mereka memasang patung siluman babi di depan boothnya, lalu ada anggotanya yang memakai kostum berbentuk babi hutan. Mereka menawari Hunter-Hunter yang lewat di depan booth untuk bergabung. Beberapa Hunter tampak tertarik dan mulai mengunjungi meja pendaftaran di booth tersebut.

Ternyata berkeliling seperti ini menyenangkan juga. Namun, aku tidak boleh berlama-lama, bisa gawat kalau sampai pulang terlalu larut. Aku pun bergegas menuju ke booth Asosiasi Hunter yang terletak di area pinggir kiri depan, dekat dengan panggung.

Saat itulah mataku menangkap rombongan Hunter yang mengenakan seragam. Yang perempuan mengenakan seragam berwarna merah hitam dengan sabuk putih, legging hitam dan sepatu boots selutut. Sementara yang laki-laki seragamnya berwarna biru tua dan hitam. Di dada mereka terlihat logo Akademi Hunter.

“Ada para siswa Akademi Hunter disini?”

Aku memperhatikan dari arah pintu masuk, sepertinya para pelajar dari Akademi hunter itu baru tiba dan mereka dalam satu rombongan besar. Mungkin satu angkatan.

“Apa mereka sedang ada kegiatan di sekitar sini, lalu memutuskan mampir?”

Aku mengedikkan pundakku. Tidak mau terlalu peduli. Namun, ketika akan melanjutkan berjalan, pundakku tidak sengaja menyenggol seorang gadis yang kukenali. Terutama karena wajahnya yang sangat mirip dengan Tante Tara.

“Chika?” aku memanggil.

Gadis berambut panjang coklat itu berbalik. Mata bundarnya dengan bulu mata lentik menatapku bingung.

“Anda siapa ya?” tanya Chika.

“Aku Arka, masa kamu lupa?” balasku sambil tertawa kecil.

Chika melotot seketika. Mulutnya terbuka lebar dan ia menunjuk wajahku. “Tidak mungkin? Kamu Arka?”

Sosok anggunnya seketika hilang, digantikan oleh ekspresi syok luar biasa.

“Chika, kamu kenapa?” temannya yang tadi berjalan disampingnya menghadiri gadis itu dengan raut khawatir.

Chika mengabaikan temannya dan berjalan mendekatiku. “Bohong, kamu tidak mungkin Arka!”

“Oke, kalau begini kamu pasti percaya,” Aku bersedekap sambil melemparkan senyum jahil. “Kamu tidak suka toge dan acar, kalau pesan mi ayam saosnya harus banyak, kalau beli bubur Mang Asep selalu minta tanpa kacang, pernah bawa pacar ke rumah tapi ketautan Tante Tara, pernah—.”

“Oke, oke, cukup!” potong Chika. Raut wajahnya tampak panik.

Ia mengangkat kepalanya dan menatap wajahku, bisa kulihat semburat merah muncul di pipinya. Gadis itu buru-buru membuang muka.

“Coba kirim chat. Kalau kamu Arka, kirim chat ke aku sekarang,” tantang Chika. Sepertinya ia masih belum percaya.

Aku menuruti keinginannya dan mengirim chat berisi kalimat acak ke nomor Chika. Sebuah pesan masuk, Chika buru-buru membukanya. Ia memasang ekspresi yang sudah bisa kutebak.

Gadis itu menoleh ke arahku, “Kamu benar-benar Arka.”

“Kan sudah kubilang,” aku menghela napas.

Tiba-tiba dua teman perempuan yang tadi bersama Chika menghampirinya. Mereka menyeret Chika ke belakang dan berbisik sambil sesekali melirik ke arahku. Selanjutnya bisa kudengar Chika berteriak.

“Apa sih? Kalau mau kenalan ya bilang sendiri sama orangnya!”

Aku berusaha menahan tawa. Seumur hidup belum pernah ada gadis yang lebih dulu minta dikenalkan kepadaku. Baru kali aku mengalaminya. Rasanya tidak buruk juga.

“Chika,” panggilku, seketika mengalihkan perhatian ketiga gadis itu. Aku jadi grogi ditatap tiga gadis cantik seperti mereka. Aku berdehem untuk menjaga wibawaku. “Apa Akademi Hunter sedang ada acara? Tumben melihat kalian datang ke tempat seperti ini.”

“Oh, sebenarnya kita habis dari latihan di dungeon dekat sini, lalu saat pulang ada informasi acara dari Asosiasi Hunter, mumpung satu arah jadi sekalian mampir,” terang Chika.

“Satu angkatan?”

“Benar, hanya angkatanku.”

“Banyak juga ya,” aku manggut-manggut.

“Kamu sendiri bagaimana? Tidak ada jadwal menjadi Porter hari ini?” tanya Chika.

“Aku sedang cuti.”

Chika adalah putri tunggal Tante Tara. Aku tinggal dengannya sejak ia masih SMA. Dulu, Chika tidak pernah menatapku seramah ini. Biasanya ia melemparkan lirikan sebal setiap kali ku ajak bicara. Setiap aku bertanya kepadanya, Chika tidak akan menanyaiku balik. Dia hanya menjawab seperlunya lalu mendengkus sambil meninggalkanku.

“Apa dia jadi sebaik ini karena fisikku yang berubah?” aku bergumam sambil tertawa-tawa kecil.

Chika melihatku, heran. “Tadi diam, sekarang tiba-tiba tertawa. Jawab dulu pertanyaanku, kamu sendiri ada perlu apa di JCC?”

“Oh, aku mau Registrasi Ulang.”

“Bukankah kamu sudah pernah Registrasi sebagai Hunter?” tanya Chika.

“Tidak apa-apa, hanya ingin memastikan ulang. Walau mungkin hasilnya tidak berubah,” jawabku diselingi tawa getir.

“Baiklah kalau begitu, aku mau melihat-lihat armor dulu,” ujar Chika seraya berbalik. “Sampai jumpa lagi, Arka.”

Aku melambaikan tangan padanya. Keramahan barusan, mungkin tidak akan kudapatkan kalau tubuhku masih Arka yang dulu. Orang-orang memperlakukanmu berbeda, tergantung dari rupa fisikmu. Bukan sesuatu yang aneh, tapi tetap saja menyakitkan.

Akhirnya aku sampai di tempat Registrasi Ulang. Aku menghampiri meja dengan petugas dari Asosiasi Hunter dan meminta untuk dilakukan pemindaian Peringkat Hunter.

“Baiklah, tunggu sebentar ya,” kata petugas itu. “Untuk sementara, silakan pakai ini.”

Petugas Asosiasi Hunter itu memberikanku badge yang wajib dipasang di badan. Badge ini menyertakan level Hunter seseorang. Berhubung aku pernah melalukan pemindaian dan hasilnya Hunter Tanpa Peringkat, maka aku mengenakan badge berwarna putih bertuliskan”Zero”. Hunter sungguhan akan mengenakan badge berwarna emas dan disana tertulis peringkatnya S sampai E.

Dari bilik pemindaian, keluar seorang siswa dari Akademi Hunter. Ia terlihat jauh lebih muda dibandingkan teman-temannya. Tubuhnya sedikit lebih pendek dari Chika, tapi sorot mata anak laki-laki ini tajam dan ekspresinya sangat serius.

Aku berjalan ke atas bilik dan saat melewatinya, aku mendengar bocah itu bergumam, “Sampah.”

Kepalaku otomatis menoleh ke belakang dan memandangi punggungnya yang berjalan menjauhi booth Asosiasi Hunter. Tanganku mengepal menahan emosi. “Dia tadi bilang sampah, itu maksudnya aku, kan?”

“Maaf, tolong segera masuk ke bilik ya,” peringat petugas Asosiasi Hunter yang bertugas melakukan pemindaian.

Aku menghela napas panjang, membuang jauh-jauh kekesalanku, lalu masuk ke dalam bilik.

Di dalam terdapat kursi besar yang dapat di atur sandaran kaki dan kepalanya. Aku duduk di sana, setengah rebahan dan petugas Asosiasi Hunter mulai memasangkan gelang di tangan kiriku. Gelang ini bertugas mengidenfitikasi adanya aliran kekuatan dari dungeon. Hunter biasanya memiliki aliran tersebut, sementara manusia biasa tidak.

Petugas Asosiasi Hunter itu mengaktifkan alat pemindaian, mesin di atas kepalaku yang berbentuk seperti panel surya mulai nyala satu per satu menyala.

Tiba-tiba, ponsel di sakuku bergetar kencang. Bersamaan dengan itu, muncul suara sirene di dalam Hall B. Telingaku mendengarnya dengan jelas, pengumuman dari Asosiasi Hunter.

“Perhatian! Telah terjadi Outbreak! Kami ulangi, ada Outbreak di Wilayah Jakarta Barat. Informasi terkini, wilayah yang sudah dikuasai oleh monster adalah….”

Petugas dari Asosiasi Hunter itu bahkan belum menyelesaikan pengumumannya, tapi aku langsung bangkit dan melepas gelang di tanganku. Aku mengabaikan suara petugas di bilik yang memintaku untuk kembali. Di kepalaku saat ini cuma ada Tante Tara. Dia dalam bahaya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!