Bab 10: Debt Collector

Cahaya matahari yang masuk melalui sela-sela gorden membangunkanku. Tubuhku menggeliat di atas kasur, rasanya malas untuk bangun. Kepalaku memutar ulang kejadian kemarin. Aku pingsan selama beberapa jam di dungeon. Begitu bangun, sudah ada stasiun dan Infinity Train di depanku. Entah bagaimana semua itu bisa muncul tiba-tiba, lalu akhirnya aku naik kereta tersebut dan berhasil kembali ke Stasiun Pasar Senen. Kelelahan, begitu sampai rumah, aku langsung tidur seperti orang mati.

Sekarang kondisiku sudah lebih segar. Kupaksa tubuhku untuk bergerak turun dari kasur. Ada Daily Quest yang harus dikerjakan. Aku tidak boleh menyia-nyiakan hadiah status point yang didapatkan dari mengerjakan misi harian tersebut.

Setelah menyelesaikan lari satu kilometer, aku melanjutkan dengan push up 100 kali. Dibandingkan seminggu lalu, pengerjaan misi harian kini terasa lebih mudah. Kaki dan tubuhku terasa ringan, kedua lenganku tidak sakit lagi saat melakukan push up. Aku menyelesaikan semua misi harian kurang dari dua jam.

Sambil meregangkan tubuh, aku berjalan menuju ke dapur. Tercium aroma nasi goreng.

“Selamat pagi, Tante,” sapaku, ceria.

Tante Tara mengenakan celemek putih dan daster kuning panjangnya. Ia berbalik ke arahku, “Selamat pagi Ar—kyaaaa!”

Aku terkejut karena Tante Tara tiba-tiba menjerit. Terdengar suara sutil yang terjatuh ke lantai.

“Ada apa Tante?” tanyaku, kebingungan.

“Kamu siapa?” Tante Tara bertanya dengan ekspresi ketakutan. Ia meraih telponnya, bersiap memanggil satpam perumahan.

“Ini aku Arka!”

“Arka? Mana mungkin Arka—kok bisa?” Tante Tara menatapku tidak percaya.

Di sisi lain, aku juga bingung. Memang aku tidak terlihat seperti “Arka” yang seperti biasanya? Aku harus memeriksanya sendiri. Aku berlari ke lorong rumah, di dekat ruang tamu ada cermin besar. Aku berkaca di sana.

Seperti tersengat listrik, aku pun dibuat terkejut saat melihat tampilanku di depan cermin. Kuraba pelan rahang tegas yang membingkai wajah ovalku. Kedua mataku tampak tajam dengan sepasang alis tebal panjang. Hidungku mancung dengan garis tulang yang tegas. Jakunku yang dulu tertimbun oleh gumpalan lemak di leher kini terlihat lebih menonjol.

Leherku jenjang disusul oleh tubuh yang padat berotot. Kedua pundakku lebar dengan pinggang yang sedikit lebih ramping, seperti segitiga terbalik. Kusingkap kaos putih yang kukenakan sampai ke dada. Terlihat cetakan baku-baku otot di perut dan dada. Tinggiku juga bertambah. Pantas tadi saat berjalan, sekelilingku menjadi terlihat lebih pendek dari biasanya.

“Apakah ini karena sistem?” aku bertanya pelan pada diri sendiri. Aku sungguh takjub melihat perubahan yang terjadi hanya dalam satu malam.

Terdengar langkah kaki di belakang, aku menoleh, Tante Tara berdiri dengan dua alis tertaut. “Kamu beneran Arka?”

“Iya, Tante,” aku menggaruk kepala yang tidak gatal. “Sepertinya aku kebanyakan olahraga, haha.”

“Tante baru tahu olahraga bisa memberi perubahan secepat ini,” Tante Tara mengelus pipinya pelan, tapi lambat laun ia tersenyum. “Kapan-kapan, kamu ajarin Tante ya Arka, Tante juga pengen punya badan sebagus pas jaman muda dulu.”

“Tante juga sekarang masih cantik,” pujiku dan itu bukan bualan. Tante Tara masih terlihat seperti berusia 25 tahun, terlepas dari usia aslinya yang menginjak kepala empat.

“Ah, bisa saja kamu,” Tante Tara tersipu sambil memegang kedua pipinya yang bersemu merah. “Iya sih, cuma Arka yang bisa memuji Tante seperti ini,” ucapnya lagi sambil tertawa kecil.

“Tante percaya kok kalau kamu Arka,” katanya lagi. “Ya sudah, yuk makan, nasi gorengnya sudah matang.”

“Oke, Tante!”

Kami berdua lalu sarapan dengan nasi goreng sosis buatan Tante Tara yang lezat. Di dapur itu ada sebuah meja dengan tiga kursi. Kursi ketiga selalu kosong karena anak Tante Tara sedang tidak ada di rumah. Anak Tante Tara 4 tahun lebih muda dariku. Ia sekarang sedang bersekolah di Akademi Hunter. Sekolah khusus Hunter tersebut memiliki sistem wajib asrama sehingga ia jarang pulang ke rumah.

Suami Tante Tara sendiri sudah lama meninggal. Suami Tante Tara dulu bekerja di Asosiasi Hunter, tapi meninggal karena sakit. Sejak saat itu Tante Tara membesarkan putrinya sendiri. Mungkin Tante Tara kesepian, makanya ia senang saat aku bergabung menjadi anggota keluarganya. Ia juga menganggapku seperti putranya sendiri dan selalu baik kepadaku.

Terdengar suara bel rumah dibunyikan. Tante Tara seketika beranjak dari kursi.

“Sebentar ya Arka,” katanya sambil berlalu meninggalkan dapur.

Aku penasaran, siapa yang datang bertamu pagi-pagi begini. Tanpa sepengetahuan Tante Tara, aku mengikutinya dan mengintip dari ruang tamu. Tante Tara membuka pintu dan terlihat dua orang pria. Pria yang di sebelah kiri memiliki potongan rambut cepak, berkumis lebat dan mengenakan jaket hitam, sementara pria di sebelahnya berambut gondong dikucir kuda mengenakan kaos oblong coklat.

“Mana Arkana Ganendra?” tanya si pria berambut cepak, kasar.

“Dia sedang keluar,” jawab Tante Tara, berbohong.

Aku membelakanginya sehingga tidak bisa melihat ekspresi wajah Tante Tara, tapi dari nada suaranya yang terdengar gugup, ia pasti ketakutan.

Pria yang dikucir kuda tiba-tiba maju dan menggebrak daun pintu. Nada suaranya meninggi. “Bilangin sama babi itu, segera bayar utang!”

Teman satunya ikut berteriak. “Awas ya kalau tidak ada pembayaran masuk hari ini, kami acak-acak rumah kalian!”

Tante Tara beringsut mundur sampai punggungnya menabrak dinding. Kedua kakinya gemetaran.

“Ma-maaf, nanti akan kusampaikan, mohon jangan teriak-teriak, tidak enak dengan tetangga,” pintanya, halus.

“Tidak bisa! Ini cara kami kerja! Kalau tidak mau dibentak ya bayar utangnya!” balas si pria berjaket hitam.

“Atau begini saja,” tiba-tiba nada pria satunya melunak. Ia menatap Tante Tara dari atas kepala sampai ujung kaki dengan pandangan mesum, bibirnya menyugingkan senyum miring. “Kita akan tutup mulut ke atasan, tapi mbak kasih kita service.”

Ia melirik temannya yang berambut cepak sambil mengedikkan dagu, memberi kode. Keduanya langsung tertawa-tawa.

“Nah, boleh itu, service-nya tidak sulit kok, cukup ‘karaoke’ saja!” timpal si pria berambut cepak, dibalas oleh kekehan temannya.

Wajah Tante Tara merah padam, ia tidak masalah kalau dibentak, tapi sampai dilecehkan terang-terangan seperti itu, hatinya mendidih.

“Kurang ajar! Tindakan kalian ini sudah melanggar SOP debt-collector! Akan saya laporkan!” sentak Tante Tara. Namun, tindakan itu justru membuat dua pria tadi menjadi kesal. Pria dengan kuciran kuda mendorong pundak Tante Tara dan menahan kedua tangannya.

“Dasar perempuan tidak tahu diri, dikasih hati malah minta jantung!”

Teman satunya tertawa melihat Tante Tara menggeliat berusaha membebaskan diri. Ia tampak menikmati ekspresi Tante Tara yang berubah menjadi ketakutan. Pria itu melangkah mendekati tubuh Tante Tara, kedua tangannya menjulur kedepan untuk meraih dua gundukan dadanya.

“Hentikan,” ucapku. Mereka berdua terkejut melihatku tiba-tiba muncul di depan pintu. Tangan milik pria berambut cepak kucengkram kuat, sampai terdengar suara gemeretak dari tulangnya. Ia mengaduh-aduh kesakitan.

“Anjing! Lepasin! Arrrgh!” Ia mendorong tubuhku, tapi tenaga manusia biasa seperti itu tidak akan berpengaruh padaku. Aku mengempaskan tanganku dan pria itu langsung jatuh terjungkal ke belakang.

Temannya yang berambut gondrong panik. Sekarang, gantian dia yang terlihat ketakutan.

“Anda senang menyiksa wanita ya?” tanyaku dengan tatapan dingin. Ia berbalik hendak kabur, tapi tanganku dengan cepat menyergap kuciran rambutnya dan menariknya dengan kuat.

“Ahhh! Sakit!” jeritnya histeris. Darah menetes dari sela-sela rambutnya, aku menariknya sangat kencang sampai kulit kepalanya hampir terlepas.

Kutendang bokong pria itu sampai ia jatuh tersungkur ke depan, menimpa teman satunya yang masih terjerembab di teras rumah.

Aku melangkah ke depan keduanya, menatap mereka seperti kotoran hina. “Aku adalah orang yang kalian cari, Arkana Ganendra. Akan kubayar utang orang tuaku minggu ini. Sampaikan itu ke atasan kalian.”

“Ka-kami mengerti!” jawab pria berambut cepak, gemetaran.

“Pergi sekarang dan jangan coba-coba kembali ke rumah ini,” ancamku. Mereka berdua langsung bangkit dan lari terbirit-birit meninggalkan rumah.

Atmosfer dingin dan mencekam menghilang, aku berbalik melihat kondisi Tante Tara. Wajahku yang tadi dingin tak berekspresi seketika berubah diselimuti kekhawatiran.

“Tante, tidak apa-apa?”

Tante Tara mengangguk. “Tidak apa-apa, terima kasih ya Arka.”

Aku membantunya duduk di ruang tamu. Setelah itu Tante Tara bercerita kalau selama ini banyak penagih utang yang datang ke rumah. Ia menyembunyikan soal itu dariku karena tidak ingin membuatku semakin tertekan.

“Tante tahu pekerjaanmu sebagai Porter tidak terlalu menghasilkan banyak uang, tapi kamu sudah berusaha keras,” ucapnya. “Makanya Tante tidak ingin kamu menjalaninya dengan penuh tekanan, kumpulkan uang itu sedikit demi sedikit, nanti Tante akan bantu sisanya dan kita lunasi utang itu sama-sama ya?”

Hatiku perih mendengar ucapan Tante Tara. aku merasa sungguh tidak pantas diasuh oleh orang sebaik dirinya. Bagaimana mungkin selama ini aku membiarkannya menghadapi penagih utang sendirian di rumah. Padahal seharusnya aku yang dibentak dan dimaki-maki oleh mereka. Aku tidak bisa merepotkannya lebih banyak dari ini. Aku harus melunasi utangku sesegera mungkin.

“Aku mengerti, terima kasih banyak Tante,” kataku sambil tersenyum kecil. Kugenggam tangan Tante Tara untuk meyakinkannya. “Aku akan melunasi utang orang tuaku, agar kita bisa hidup dengan tenang.”

Kata-kataku tidak hanya sekedar kalimat penghibur. Aku bersungguh-sungguh.

Kedua tanganku kini terkepal menahan emosi. Di dalam hati, aku ingin menyalahkan orang tuaku yang malah memilih mati dan meninggalkan utang-utangnya. Namun, ini bukan salah mereka sepenuhnya.

Orang tuaku dulu adalah penguasaha travel. Usaha mereka cukup sukses. Mereka baik kepada siapa pun, sampai aku heran kenapa mereka memberi banyak bonus kepada karyawan-karyawannya.

“Kebaikan akan selalu menular,” kata ayahku.

Prinsipnya itu adalah awal mula dari malapetaka yang menimpa keluarga kami. Salah seorang karyawan ternyata menilap uang jamaah haji umroh. Dia resign beberapa bulan sebelum kasus ini mencuat ke permukaan. Akhirnya, perusahaan orangtuaku viral di media sosial.

Sebelum kasus dibawa ke pengadilan, orang tuaku menggunakan semua tabungannya untuk mengganti uang korban penipuan. Hingga tidak tersisa sepeser uang pun. Ayah menjual rumah kami yang besar, lalu pindah ke kontrakan kecil di Bogor.

Masalah tidak selesai sampai disana. Ayahku berutang gaji dengan karyawan-karyawannya. Bank tidak bisa memberi pinjaman lagi, akhirnya mereka mencoba pinjam ke pinjol. Gaji karyawan semua sudah dibayar, tapi kini orang tuaku jadi terjerat utang di pinjol dan bank.

Aku tidak pernah menyadari betapa depresinya orang tuaku saat itu. Mereka masih bisa tetap tersenyum, menanyakan kabarku dan memberiku uang saku. Aku tidak menyangka, semua penderitaan yang bertumpuk menjadi gunung es artinya berakhir dengan kematian. Mereka sangat menderita, tapi aku juga sengsara setelah mereka pergi.

Setiap aku melihat surat-surat tagihan dari bank, kepalaku pusing. Belum lagi kalau ada teror-teror dari penagih pinjol yang tidak beradab. Tidak terbayangkan mereka berdua dulu menghabiskan setiap hari menerima panggilan telpon penuh nada ancaman seperti itu.

Setelah kejadian tadi, aku langsung beranjak ke kamar, mandi dan berganti pakaian. Aku harus mencari pekerjaan lagi. Namun, karena aku belum membeli ponsel baru, mau tidak mau aku harus mencari pekerjaan secara manual, yaitu pergi ke bagian Information Center di gedung Asosiasi Hunter.

Terpopuler

Comments

♨️ C A H 💧 A N G O N ♨️

♨️ C A H 💧 A N G O N ♨️

oooo....korban pinjol....apakabar OJK ya zaman itu?

2023-06-27

1

DEWA KEGELAPAN

DEWA KEGELAPAN

yahh aabisss

2023-06-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!