Aku menuju ke Gedung Pengrajin. Gedung itu memiliki 25 lantai dan selalu ramai dikunjungi oleh Hunter. Begitu masuk, aku disambut oleh nuansa abad pertengahan yang kental. Siapa pun yang mendesain interior hall gedung ini patut diacungi jempol karena berhasil menciptakan suasana seperti di dunia fantasi.
Sebagian Hunter terlihat sedang mengantri di depan loket Money Exchange. Money Exchange disini untuk menukarkan uang dungeon dengan uang rupiah. Para Hunter mengenal tiga jenis mata uang, yaitu copper, silver dan gold.
Satu copper setara dengan 75.000 rupiah, sementara satu silver setara dengan 350.000 rupiah dan 1 gold sama dengan 750.000 rupiah. Tidak mengherankan para Hunter peringkat atas bisa cepat kaya, mengingat mereka dibayar minimal dengan koin silver.
Di sebelah kiri hall terdapat restoran dan kafe-kafe, banyak Hunter yang sedang istirahat sambil menikmati cemilan atau makan besar di sana.
Menaiki lift, aku menuju ke lantai tiga. Lantai tiga sampai lima dikhususkan untuk menjual material mentah. Disini, para Hunter bisa menukarkan material yang mereka dapat dengan mata uang dungeon.
Aku melewati toko-toko kecil yang etalsenya memajang aneka tumbuhan, hewan, sampai rentetan tulang-tulang monster. Beberapa Hunter terlihat sedang bernegoisasi dengan pemilik toko, ada yang sedang memilah material mentah juga.
“Ah, ketemu tokonya,” ucapku.
Toko Fae Ferns seperti toko khusus menjual material mentah pada umumnya. Terdapat hiasan dan ornamen-ornamen tanaman rambat di sekitar toko—menampilkan spesilisasi toko tersebut. Tulisan Fae Farns tercetak di atas pintu dengan dekorasi kayu unik. Kaca etalsenya menampilkan botol-botol dengan aneka tumbuhan yang sudah dikeringkan.
Aku masuk ke dalam, terlihat seorang pemuda berjubah putih yang berdiri membelakangiku. Ia sedang bernegoisasi dengan pemilik toko.
“Selamat datang!” sapa si pemilik toko saat melihat kehadiranku. Pemuda berjubah itu ikut menoleh. Namun, ia tampak tak acuh.
Aku mengerutkan kening. Kupikir pemuda itu adalah Ketua Guild Moon Orchid, tapi kenapa reaksinya seperti itu. Menebak-nebak tidak akan ada ujungnya, lebih baik kutanyakan langsung.
Pemilik toko pergi ke dalam untuk mengambil uang pembayaran, melihat kesempatan aku langsung menghampiri pemuda itu.
“Apa Anda Ketua Guild Moon Orchid?” tanyaku.
Pemuda berkacamata itu tampak terkejut. Ia menoleh lagi padaku dan mengerjap beberapa kali.
“Kamu Arkana Ganendra?” tanyanya, seperti tidak percaya.
Ah, sudah kuduga. Dia tidak mengenaliku karena wajahku berbeda dengan foto di ID.
“Benar, itu aku.”
Ia buru-buru membuka ponselnya. Pasti sedang mengecek ulang foto di ID dengan wajah asliku saat ini.
“Berbeda jauh ya, aku sampai pangling, haha,” ucapnya disertai tawa getir.
“Tidak apa-apa, anda bukan orang pertama yang bereaksi seperti itu,” kataku sambil ikut tertawa karena mengingat kejadian tadi pagi di rumah.
“Salam kenal, aku Denis Wardana, Ketua Guild Moon Orchid,” sambutnya sambil menyodorkan tangan.
Aku menyalaminya balik. “Salam kenal, Ketua.”
“Cukup panggil Denis.”
Ia tidak tampak seperti Ketua Guild yang biasanya kutemui. Wajahnya tampak bersahaja dan sedikit melankolis. Aku tidak merasakan nada yang meninggi di ucapannya dan ia memandangku setara dengannya. Namun, tidak mengherankan kalau orang sepertinya menjadi Ketua dari Guild yang kurang populer. Aku bahkan baru kali ini mendengar nama Guild Moon Orchid.
“Aku sangat senang karena ada Porter yang akhirnya mau mengambil komisi kami,” kata Denis. “Apa kamu siap jika kita berangkat siang ini?”
“Tidak masalah,” balasku.
“Baguslah. Aku akan memberimu informasi singkat, Dungeon yang kita masuki ini adalah Dungeon Tingkat 3, aku lihat di ID kamu adalah Hunter Tanpa Peringkat, ya? Jangan khawatir, kamu cukup berada di belakangku. Aku akan melindungimu dan tugasmu hanya membantuku membawa barang.”
“Aku mengerti,” tanggapku. “Berapa orang yang akan berangkat dari Guild?”
“Hanya aku.”
“Apa?” Aku melongo.
Denis menggaruk kepalanya. “Ah itu, soalnya guild kami anggotanya sedikit, tapi banyak permintaan klien, jadi yang bertugas di setiap dungeon biasanya tidak lebih dari tiga orang. Hehe.”
Aku hanya bisa membalasnya dengan tatapan prihatin.
Selesai mengurus pembayaran, Denis pamit mau ke Money Exchange terlebih dulu. Kami pun sepakat untuk langsung bertemu di Stasiun Blok M.
Masih ada waktu, aku memutuskan untuk menukarkan material monster dulu.
Tanganku mendorong pintu kaca sebuah toko yang didominasi warna bata merah. Di dalam penuh dengan dekorasi dari kulit monster dan tulang-tulang yang dipajang. Di atas meja kasirnya terdapat tulisan besar “Toko Abah”.
“Selamat datang, Hunter!” sambut seorang pria tua berotot dengan rambut gondrong kelabu. “Mau jual material? Atau mau beli? Ada diskon 10% untuk kulit Cowbishop!”
“Tidak, aku hanya ingin menjual material.”
“Oh, boleh-boleh. Sebentar, aku ambil katalognya dulu,” Pria berusia pertengahan 50 itu meluncur ke ruangan di balik meja kasirnya.
Sementara, aku mengoperasikan menu sistem dan membuka Inventory. Muncul lingkaran hitam di udara, tanganku masuk ke dalam dan menarik satu per satu material dari sana.
Pemilik toko itu—Abah, datang membawa katalog tebal. Matanya seketika melotot saat melihat tumpukan material mentah di atas meja kasir. Sebagian bahkan ada yang kutumpuk di lantai.
“Banyak sekali! Ini perwakilan dari Guild mana?”
“Tidak, aku memburunya sendiri.”
Mata Abah menyipit, menatapku dengan ragu. Aku hanya memasang senyum tak berdosa. Aku berkata jujur, sisanya terserah dia.
Abah keluar dari meja kasirnya dan mengecek satu per satu material yang kubawa dengan isi katalog.
“Kualitas barang-barang ini bagus,” gumamnya. “Potongannya rapi dan tidak merusak bagian-bagian pentingnya.”
Aku diam menyimak. Entah apa reaksinya kalau kubilang material itu dikumpulkan otomatis oleh sistem.
Ia lalu kembali ke meja kasirnya dan mulai menghitung pendapatanku.
“Hei, Nak, kemari!” panggilnya tiga puluh menit kemudian. Dengan langkah semangat aku mendekati mejanya. “Biar kubacakan untukmu.”
“Gnawtail’s Hair 134 potong, Gnawtail’s Claw 142 potong, Gnawtail’s Meat 124 potong, Corn Bandit’s Meat 120 potong, Corn Bandit’s Blood 116 botol, Golden Straw 112 potong, dan Raw Fiber 120 potong, total semuanya 4.163 copper dan 2.000 silver.”
Rahangku hampir jatuh saat mendengar total pembayaran dari Abah. Pria tua itu meletakkan dua kantong coklat berisi koin copper dan silver di atas meja.
“Ini bayarannya,” kata Abah sambil menggeser kantong itu ke arahku. “Mau diambil tidak?” tanyanya karena melihatku hanya diam melongo.
“Ah, i–iya,” jawabku, grogi. Tanganku gemetaran saat membawa dua kantong tersebut keluar dari toko Abah. Rasanya masih seperti mimpi. Jumlah koin itu kalau dirupiahkan bisa mencapai 1 miliar.
“Ini bukan mimpikan?” tanyaku sembari mencubit tangan. Sakit. Ternyata memang sungguhan.
Aku akan menukarkan koin-koin ini nanti setelah menyelesaikan misi bersama Denis. Sementara, uangnya kusimpan dulu di dalam Inventory, lalu aku berangkat menuju Stasiun Blok M.
...***...
Aku menaiki eskalator lantai dua Stasiun Blok M. Tampak para Hunter sudah membentuk barisan panjang di depan pintu pagar pembatas, menanti kedatangan DRT. Denis melambaikan tangannya dari kejauhan, ia tampak mencolok dengan jubah dan pakaian panjang putihnya.
“Material apa yang akan kita cari?” tanyaku saat sampai di tempatnya.
“Tumbuhan bernama Dragon’s Breath, pernah dengar?”
Aku menggeleng.
“Itu tumbuhan yang langka dan sangat berharga, klien Guild kami adalah keluarga konglomerat, salah satu anggota keluarga mereka sakit keras dan butuh obat super mujarab untuk menyembuhkan penyakitnya,” terang Denis.
“Dragon’s Breath bisa menyembuhkan apa pun?”
Denis mengangguk. “Penelitian obat tumor, kanker dan HIV/Aids semakin maju sejak ditemukannya tumbuhan ini, tapi karena jumlahnya terbatas Dragons’ Breath menjadi langka dan mahal.”
“Tahu darimana kalau di dalam dungeon ini ada Dragon’s Breath?”
“Di Guild kami ada beberapa peneliti ekologi dungeon, berdasarkan vlog Hunter Influencer di internet, mereka menganalisis kondisi ekologi di video lalu dibandingkan dengan catatan literatur habitat Dragon’s Breath.”
“Lalu tulisan anggotamu itu sampai ke klien?”
“Klien justru tahu duluan karena mereka punya orang dalam di Asosiasi Hunter, mereka langsung menghubungi kami dan mengkonfirmasi keberadaan Dragon’s Breath itu.”
Aku mengangguk-angguk. Ternyata seperti itu cara kerja Serikat yang memiliki spesialisasi pencari material. Pasti butuh waktu yang lama untuk membangun koneksi dan kepercayaan klien sampai mereka bisa mendapat tugas seperti ini.
“Keretanya datang,” ucap Denis. Dia menoleh padaku. “Maaf, tolong bawakan alat ini ya, punggungku pegal karena daritadi memanggulnya.”
“Tidak masalah,” kataku sambil menyampirkan tas coklat besar itu di punggung.
Pintu pagar pembatas terbuka dan para Hunter berduyun-duyun memasuki gerbong.
Aku melihat kaca jendela DRT melewati terowongan berwarna biru lalu keluar di dalam sebuah gua besar. Langit-langit gua dihiasi tumbuhan berbentuk seperti anemon yang mengeluarkan cahaya biru.
Sementara di pinggir rel kereta aku dapat melihat tanah coklat yang dihiasi lendir-lendir merah. Samar, hidungku mencium aroma busuk. Begitu pintu kereta terbuka, bau busuk itu semakin kuat dan menusuk hidung. Beberapa Hunter yang tidak kuat langsung muntah di tempat.
Perwakilan Asosiasi Hunter yang mengawal kegiatan ini bicara dengan pengeras suara.
“Perhatian, Hunter! Ini adalah hari ketiga sejak Dungeon muncul, lokasi bos dungeon belum ditemukan, jadi kuminta semua memprioritaskan memburu bos dungeon agar portal ini bisa segera ditutup!”
“Sudah tiga hari?” aku bertanya pada Denis. “Kenapa lama sekali?”
“Dungeon ini memiliki banyak terowongan yang bercabang, jadi sulit menemukan lokasi bos,” jawab Denis.
Permukaan tanah gua itu lengket dan menimbulkan sensasi tidak nyaman. Terdengar suara “plak-plak” ketika sepatu kami melangkah di atasnya. Terdapat bunga-bunga aneh yang menyemburkan serbuk merah beraroma busuk. Kadang-kadang, ada cairan hijau yang menetes dari ujung staglatit gua. Aku langsung memakai hoodie karena tidak mau rambutku terkena tetesan cairan itu.
Para Hunter mulai bergerak dalam kelompok-kelompok kecil, memasuki satu per satu pintu terowongan yang yang ada di sana. Saat aku mau mengejar langkah Denis, pundakku disenggol kasar oleh seseorang.
Aku menoleh ke arah orang tersebut, kedua mataku seketika melotot. Kebencian, marah dan dendam menyeruak seketika, menguasai pikiran dan hatiku.
Anto!
Kenangan buruk di dalam Ruang Harta seperti diputar kembli. Tanganku refleks mencengkram kedua lenganku. Pria itu pernah memutilasiku di Ruang Harta. Dia adalah salah satu orang yang meninggalkan dan membiarkanku mati di dalam dungeon. Dia pembunuh.
Telingaku mendengar suara gelak tawa yang khas, sangat familiar. Pria berambut keriting yang berjalan menyusul Anto adalah Malih. Muncul satu lagi orang yang menyebabkanku terbunuh. Mereka berdua tampak mengenakan armor lengkap berwarna merah dan putih.
Seragam Guild Red-White Knight. Ternyata mereka sudah bergabung dengan sebuah Guild dan sepertinya mendapatkan jabatan yang lumayan. Tampak beberapa anggota lain Red-White Knight berjalan mengekor di belakang mereka.
Ada sembilan orang termasuk Anto dan Malih, mereka semua berjalan menuju ke terowongan yang sama denganku dan Denis.
“Denis,” panggilku, setengah berbisik.
Denis menghentikan langkahnya dan berbalik. “Kenapa?”
“Apa kita harus masuk ke terowongan yang ini? Tidak adakah jalan lain?”
Denis menggeleng. “Dari catatan analisis guild, terowongan ini memiliki habitat yang paling sesuai dengan Dragon’s Breath.”
Tidak ada pilihan lain. Mau tidak mau aku harus berjalan di jalur yang sama dengan Anto dan Malih.
“Denis, berhati-hatilah,” ucapku, memperingatkan.
“Terima kasih, tapi, khawatirkanlah keselamatanmu dulu, Arka.”
Ia berkata begitu karena tidak tahu kemampuanku yang sebenarnya. Dia juga tidak tahu ada dua Hunter busuk yang akan berjalan di terowongan yang sama dengannya.
“Hei, kalian berdua!” Anto tiba-tiba berseru. Ia melihat ke arahku dan Denis. “Kalian dari Guild mana?”
“Namaku Denis, dari Guild Moon Orchid dan dia Porter yang ku sewa.”
Sepertinya Anto tidak mengenaliku. Mungkin karena fisikku sudah berubah total. Ia juga pasti mengira aku sudah mati.
“Oh, Porter!” Malih menyahut. “Aku juga kenal seorang Poter, dia dulu selalu menjadi beban di Party kami.”
“Ya, tapi dia sudah mati,” timpal Anto. “Biasalah, Hunter peringkat rendah suka banyak gaya dan akhirnya mati karena kecerobohannya sendiri.”
Ceroboh? Aku mati gara-gara kalian, brengsek!
Emosiku hampir meledak saat itu juga, tapi kalimat yang meluncur dari mulut Denis seketika meredam amarahku.
“Porter memang kebanyakan Hunter berperingkat rendah, tapi sudah kewajiban kita yang berperingkat tinggi melindungi mereka. Itu sudah ada di dalam kontrak perjanjian.”
Air muka Anto berubah, ia seketika tidak menyukai Denis. Sikap Denis yang lurus dan pikirannya yang naif adalah sesuatu yang amat dibenci oleh Anto. Pria itu mendecih lalu berbalik.
“Terserah kamu saja, kami sudah mengingatkan ya. Porter itu akan segera membebanimu!”
Malih menimpali. “Anto berkata seperti itu hanya untuk mengingakan, soalnya kalian mengambil jalur yang sama dengan kami. Ingat, jangan jadi beban buat kami.”
Aku dan Denis membiarkan sembilan orang itu memasuki terowongan duluan. Sepeninggal mereka, kulihat Denis melipat tangannya di dada dan mendengkus.
“Malang sekali porter yang harus bekerja dengan mereka,” katanya.
Aku tidak menjawab, tapi mengiyakan dalam hati. Aku memang sangat menderita saat bekerja dengan Party BotHunter.
Setelah itu aku dan Denis masuk ke terowongan. Udara di dalam lembab, aroma amis merebak dan banyak genangan setinggi mata kaki. Hawa tidak enak merambat dari kedalaman terowongan tersebut, membuatku yakin kalau ada monster kuat yang bersemayam di tempat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Upih
mantap, jangan lupa mampir ya ka..
2023-06-10
1