Salah seorang anggota Red-White Knight adalah Mage pengendali angin. Ia menciptakan aliran udara dan melayangkan tubuh Anto, Malih beserta anggota lainnya hingga turun ke bawah lembah. Anto melangkah mendekat ke tempatku dan Denis sambil membusungkan dadanya dengan angkuh.
“Kalian ceria sekali, pasti tumbuhan itu sudah kalian temukan, bukan?” katanya, sekonyong-konyong menyodorkan tangan ke depan muka Denis. “Berikan Dragon’s Breath itu.”
Denis bergeming. Sorot matanya jelas menunjukkan keberatan. Aku pun sudah lelah melihat sikap Anto. Kali ini aku tidak akan berdiam diri di belakang. Kakiku melangkah ke hadapan pria berambut panjang sepundak tersebut, netraku menatapnya tajam tanpa rasa takut.
“Mau apa kamu?” tanya Anto, merasa ditantang. “Aku sedang bicara dengan Denis, pecundang sepertimu mending mundur ke belakang!” bentaknya.
Bibirku menyugingkan senyum tipis. “Jika kamu ingin bunganya, kenapa tidak mencari sendiri di sana?” Aku mengarahkan jempolku ke kumpulan bunga-bunga di atas jaringan daging Cadaver Centipede.
“Itu bunganya?” tanya Anto pada Denis.
Aku melirik ke tempat Denis. Ia membuang mukanya seraya mengangguk. Di luar dugaanku, ternyata Denis bisa juga berbohong. Baguslah, ternyata dia tidak senaif yang kukira.
Anto memberi kode kepada anggota kelompoknya untuk memanen bunga-bunga tersebut. Aku dan Denis mengambil kesempatan untuk melipir dari hadapan Anto.
“Bagaimana cara kita naik ke atas?” tanya Denis di hadapan tebing tinggi yang menjulang.
“Naik ke punggungku,” perintahku. Kalau Denis yang lompat jelas tidak akan sampai ke mulut terowongan yang berada 20 meter di atas sana, tapi kalau aku bisa.
“Bang Anto! Bunganya hancur!”
Kami berdua mendengar teriakan panik anggota Red-White Knight yang ditugaskan mencabut bunga-bunga itu. Anto seketika menyadari kalau dirinya ditipu. Sebelum aku dan Denis melarikan diri, Anto memerintah anggotanya yang Marksman untuk menembaki kami dengan peluru es.
Aku dengan sigap menangkis peluru-peluru es itu dengan Grasscutter. Dibandingkan dengan serangan Cediver Centipede, kecepatan peluru es ini tidak ada apa-apanya.
Marksman itu melihat serangannya ditepis dengan mudah, ia melongo sampai mulutnya terbuka lebar. Berbeda dengan Anto, pria itu justru semakin marah.
“Kalian menantang, hah?” serunya. “Jumlah kalian hanya berdua, lantas mengira bisa mengalahkan kami?”
“Bahkan jika salah satu di antara kalian adalah Hunter Peringkat A, tapi jumlah kami lebih banyak!” sahut Malih sambil mengeluarkan pedang lengkungnya.
“Padahal tadi aku berniat membiarkan kalian hidup, tapi sepertinya kalian lebih cocok mati.” kata Anto sambil menurunkan perisai peraknya yang berkilau dari punggung.
Selain Marksman dan seorang anggota Mage pengendali angin, anggota lain tampak bersiap ikut bertarung. Marksman tadi masih syok karena melihat kecepatanku saat menangkis peluru-pelurunya. Sementara Mage pengendali angin, wajahnya sudah pucat sejak tadi.
Ia mengamati tulang-tulang besar dan sebagian daging Cadever Centipede yang tidak terurai. Ia menelan ludah dan mencoba memberitahu Malih.
“Bang, itu kayaknya mayat Boss Dungeon,” katanya.
“Sudah gila kamu? Mana ada Boss Dungeon!” sentak Malih, kesal.
Namun, Mage itu bersikeras. “Daging dan tulang-tulang itu tadi tidak ada! Selain itu, ada banyak mayat monster kelabang di sekitar area ini.”
Malih diam tak membalas. Ia menoleh ke sekitarnya, memang benar ada banyak mayat kelabang berukuran orang dewasa di area itu. Ia beralih menatapku, lalu ke Denis. Aku rasa dia sedang menebak-nebak siapa di antara kami yang membunuh monster-monster itu.
Tring!
[Quest: Bunuh semua musuh (0/9)
Reward: ???
Pinalty: Kematian]
Mataku membulat saat membaca pesan tersebut. Sistem ini memerintahku untuk membunuh manusia. Kupikir sistem ini hanya bertugas membuatku jadi lebih kuat, tapi apakah membunuh manusia juga termasuk salah satunya.
Kedua tanganku gemetar, hatiku ragu. Bisakah aku mengerjakan misi ini. Aku sadar posisiku terancam, tapi niatku awalnya hanya melukai mereka untuk memberikan efek jera, lalu kabur bersama dengan Denis. Kenapa harus sampai membunuh? Apa itu benar-benar diperlukan?
Saat hatiku bimbang, aku mendengar Anto berteriak memberi komando untuk menyerang.
Malih dan semua Fighter di kelompok itu merengsak maju ke tempatku. Aku menatap ke arah Anto, lalu beralih ke Malih. Bayangan masa lalu di ruang harta kembali menyusup ke kepalaku.
Aku mengingat perasaan putus asa saat ditinggalkan oleh mereka di dalam ruang harta sendirian. Tanganku bergerak ke dada, mengingat rasa sakit akibat tusukan pedang besar ksatria wanita yang membunuhku. Namun, tidak ada yang bisa mengalahkan marah dan dendam yang berkobar di dalam diriku saat itu.
“Benar, seharusnya mereka juga merasakan penderitaan yang sama denganku,” aku bergumam.
Berbeda dengan dulu, sekarang aku sudah menjadi lebih kuat. Aku bisa bertarung dan membela diriku sendiri. Tidak akan kubiarkan seorang pun mengancam atau menginjakku lagi.
Genggamanku pada Grasscutter mengencang seiring dengan menghilangnya keraguan di dalam diri. Saat ini, aku harus bertahan hidup. Aku tidak boleh membiarkan orang-orang ini membunuhku untuk yang kedua kali. Khusus Anto dan Malih, mereka harus membayar perbuatan yang sudah mereka lakukan padaku.
Aku mengaktifkan skill Shadow Move, tubuhku melesat dengan cepat bagai bayangan dan menyusup di antara para Fighter tersebut. Mereka tidak bisa melihatku gerakanku. Sementara, aku dengan leluasa melayangkan sabit Grasscutter kepada orang-orang tersebut.
Ujung pisau senjataku merobek tenggorokan keempat Fighter yang bertarung bersama Malih. Tidak terdengar suara teriakan, mereka seketika muntah darah dengan kedua mata membelalak seperti dijemput oleh maut. Tubuh keempat orang itu seketika terjatuh dengan leher nyaris putus. Mereka menggelepar di tanah lalu mati. Malih seketika berhenti menyerang, ia menatap horor ke sekelilingnya.
Ia melihat diriku muncul dari dalam bayangan hitam. Sekujur tubuh Malih merinding seketika, seperti diterkam oleh hawa dingin yang menusuk tulang. Ia merasakan nyawanya berada di ujung tanduk saat ini.
“Kamu yang membunuh mereka semua?” tanya Malih, suaranya terdengar gemetar. Namun, pria tidak tahu malu ini masih mencoba tersenyum dengan pongah di hadapanku.
“Haha, kamu tidak akan bisa membunuhku! Anto dan aku adalah Hunter Peringkat C. Kami tidak akan kalah dari Hunter Tanpa Peringkat—-akh!”
Aku melukai tenggorokan Malih dan memutus pita suaranya. Ia belum mati, seranganku sengaja tidak mengincar urat nadinya. Malih memegang tenggorokannya, ia tergagap karena kehilangan suaranya. Matanya nyalang dipenuhi amarah. Namun, aku justru senang melihat ekspresinya yang seperti itu.
Kali ini aku melukai bagian belakang pergelangan kakinya dan menghancurkan tendon achilles. Malih menjerit kesakitan dan tubuhnya ambruk seketika ke tanah. Kedua kakinya tidak akan bisa digunakan untuk berdiri atau berlari lagi. Malih berusaha merangkak kembali ke tempat Anto, air matanya meleleh karena rasa perih tiada tara yang menyerangnya.
Anto di kejauhan melotot melihat perbuatan yang baru kulakukan. Ekspresi wajahnya bercampur antara kebingunagan dan takut. Namun, pria itu tampaknya masih ingin melawan. Ia memerintah tiga anggotanya yang masih tersisa untuk menyerangku. Mage pengendali angin di belakangnya ragu, begitu pun dengan Marksman di sebelahnya.
“Kenapa diam saja? Cepat serang dia!”
“Ta-tapi dia bahkan bisa mengalahkan lima Fighter dalam sekejap,” balas Mage pengendali angin itu, terbata.
“Itu karena mereka payah! Cepat, serang dia dengan kekuatan penuh! Aku akan melindungi kalian dengan perisaiku!” seru Anto, tidak peduli.
Mereka tidak punya pilihan selain menurut. Mage pengendali angin dan api mengucapkan mantra dan menciptakan lingkaran besar di depan mereka. Lingkaran itu melepaskan tembakan bola api dan bola angin besar. Kedua elemen itu bertubrukan di tempatku berdiri dan menghasilkan ledakan besar.
Sayangnya, itu tidak cukup untuk melukaiku. Aku berhasil menghindari kedua serangan itu dan kini berlari ke arah mereka dengan niat membunuh yang besar. Senyumku merekah, sorot mataku seperti hewan kelaparan yang tidak sabar membantai buruannya.
Marksman yang berdiri di samping Anto segera melancarkan tembakan peluru-peluru es. Serangan yang tidak berguna sebab aku bisa menangkis semuanya dengan punggung sabit. Aku mengaktifkan Shadow Move dan sekali lagi menghilang dalam bayangan. Mereka kelimpungan mencari keberadaanku. Sebelum Anto sadar, aku sudah menebas kepala Marksman dan kedua Mage di belakangnya sampai putus.
Anto mendengar suara seperti benda terjatuh. Ia berbalik dan menemukan ketiga anggotanya sudah tewas dengan kepala terpenggal. Pria itu berteriak karena kaget. Diliputi oleh rasa takut, ia berlindung di belakang perisainya sambil melihat ke sekeliling, berusaha mencari keberadaanku.
“Keluar kamu! Pengecut! Beraninya bersembunyi di dalam bayangan!”
Aku menampakkan diri sambil melemparkan seringai mengejek. Anto melihat ke arahku dan berteriak sambil maju menyerang. Aku tahu ia memiliki pedang cadangan di pinggangnya. Ia jarang menggunakan senjata itu karena biasanya di dalam party, ia fokus melakukan pertahanan.
Aku bergerak ke samping, menghindari ayunan pedangnya yang lambat. Sambil tersenyum mengejek, aku mengayunkan Grasscutter dan memotong lengan kirinya. Tangan besar berotot itu seketika putus dan terjatuh ke tanah. Darah muncrat dari lukanya. Anto terbelalak melihat tangannya sudah buntung, ia pun menjerit.
“Sialan! Apa yang kau lakukan! Tanganku!”
Ia jatuh terduduk sambil berusaha menutup lukanya dengan kain jubah.
“Tidakkah kamu familiar dengan situasimu saat ini, Anto?” tanyaku.
Ia menengadah dan menatapku dengan ekspresi bingung. “Familiar apanya?”
“Jangan berkata seperti itu, aku jadi sedih karena kamu sudah lupa.”
Aku membuka hoodie mantel dan menatap Anto tepat di matanya. “Apa perlu kupotong tangan satunya agar kamu ingat perbuatanmu di masa lalu?”
Anto melotot kaget. Ia menunjuk wajahku, tubuhnya gemetaran. “Jangan bilang kalau dirimu adalah….,”
“Lama tidak bertemu Anto,” kataku. “Kamu sudah ingat? Aku Arka—atau yang biasa sering kamu panggil dengan sebutan babi.”
“Tidak mungkin! Penampilanmu berbeda jauh dengannya! Arka sudah mati! Kamu pasti bohong! Hahaha! Pasti ada salah satu dari party BotHunter yang membocorkan soal ruang harta, lalu kamu pura-pura menjadi hantu Arka untuk menipuku! Hahaha!”
Aku menghela napas. “Bicaramu berantakan, aku tidak suka.”
Tanganku bergerak dengan cepat, mata pisau sabit memotong pergelangan lengan Anto yang tersisa. Potongan daging itu jatuh ke pahanya, bahkan sebelum Anto menyadarinya. Ketika ia melihat ke bawah, pria itu berteriak lagi.
“Sakit! Arrggh!” Ia berguling-guling di atas genangan air merah.
Aku tersenyum kecil menyaksikan itu.
“Sakit? Kamu harusnya tahu apa yang dilakukan patung ksatria wanita itu padaku.” Aku mendekat ke tempat Anto, lalu kaki kiriku menginjak dadanya. Kutekan inajakanku sehingga tubuh Anto tidak dapat bergerak ke sana kemari. Maniknya yang berwarna coklat menatapku penuh ketakutan.
“Arka, kumohon, ampuni aku,” pintanya. “Aku memiliki istri dan dua orang anak, mereka masih kecil. Aku tidak punya pilihan lain, aku butuh peti harta itu untuk menghidupi keluarga kecilku!.”
“Alasan bodoh,” balasku, dingin. “Di ruangan itu ada banyak benda berharga, tapi kalian sengaja memilih peti dan mengorbankanku. Bilang saja, kamu memang menikmati momen saat menyiksaku, bukan?”
“Tidak! Itu tidak benar! Semua itu ide Rozak!”
“Aku tidak peduli itu ide siapa,” tukasku. “Yang aku tahu, kalian bersengkokol untuk membunuhku.”
“Arka, jangan…,” Anto mengiba. Namun, tidak sedikit pun aku merasa kasihan padanya. Aku meletakkan mata pisau sabit yang dingin di leher Anto lalu mulai mengirisnya secara perlahan.
Anto menggelepar dan berusaha membebaskan diri, tapi tenagaku jauh di atasnya. Ia tidak bisa bergerak atau pun melarikan diri. Irisan sabitku semakin dalam, mata Anto membelalak seperti akan keluar dari rongganya. Ia tidak lagi berteriak, hanya sesekali mulutnya memuntahkan darah.
Kepala Anto menggantung dengan posisi tidak wajar. Aku menekan mata pisau sabit lalu menariknya dengan kuat, seketika kepala Anto putus dan menggelinding ke samping.
Aku menghela napas, rasanya begitu memuaskan.
Jadi seperti ini rasanya balas dendam, benar-benar menyenangkan.
Aku mengecek layar sistem yang memuat quest.
[Quest: Bunuh semua musuh (8/9)
Reward: ???
Pinalty: Kematian]
“Astaga, aku sampai lupa.” Sambil tersenyum, aku melangkah kembali ke tempat Malih. Ia masih hidup. Tubuhnya dalam posisi telungkup dan kedua tangan memegangi leher. Ia tampak panik saat melihatku datang.
“Jangan khawatir Malih. Aku tidak akan berbuat seperti itu padamu,” ucapku, merujuk pada Anto.
Aku berlutut di sampingnya lalu berbisik. “Kamu memang menyebalkan, tapi berkat dirimu yang menemukan ruang harta, aku bisa menjadi seperti sekarang ini.”
Malih menoleh ke arahku, ekspresinya terlihat bingung.
Aku tersenyum padanya. “Terima kasih, ya. Kupastikan kematianmu cepat dan tidak menyakitkan.”
Tangan kiriku menjambak rambut Malih, menarik kepalanya ke atas. Sementara tanganku yang membawa Grasscutter menggorok lehernya dengan cepat. Darah keluar dari luka lebar yang menganga, kepala Malih terkulai lemas ke bawah. Ia mati seketika.
[Quest: Bunuh semua musuh (9/9)
Reward: Hunter Kit Chest, Crimson Edge, Status Point +9
Pinalty: Kematian]
[Anda telah naik level!]
[Anda telah naik level!]
[Anda memperoleh Skill Aktif Grim Domination]
Aku tidak menyangka membunuh manusia bisa meningkatkan levelku. Sepertinya sistem ini menganggap manusia yang menjadi musuhku sebagai monster.
[Anda memperoleh Achievement “Vengeance Will be Mine”]
[Reward: Mjölnirsgaard’s Key]
“Mjölnirsgaard’s Key!” ucapku, girang. Itu adalah item persyaratan yang kubutuhkan untuk mengakses dungeon tingkat S.
Aku terlalu fokus memperhatikan pesan-pesan sistem yang bermunculan sampai lupa dengan keberadaan Denis. Ia mematung dengan kedua kaki gemetaran. Saat aku berbalik dan menghampirinya ia tampak ketakutan, kedua tangannya menggenggam tongkat dengan erat.
“Apa kamu tidak keberatan aku membunuh mereka?” tanyaku. Mengingat Denis memiliki prinsip moral yang tinggi terhadap kemanusiaan, aku merasa ia akan menentang perbuatanku.
Denis menggeleng. “Aku tidak mempermasalahkannya. Lagipula kalau kamu tidak membunuh mereka, kita pasti sudah mati. Iya kan?”
Aku terkejut dengan jawabannya, tapi justru lega. “Syukurlah karena kamu paham dengan situasinya.”
Aku berjalan melewati Denis sambil mendaratkan tepukan di pundaknya. “Terima kasih,” ucapku.
Denis memandangku heran. “Kenapa?”
“Karena kamu sudah membela Porter sepertiku.”
Ekspresi Denis melunak, ketegangan di wajahnya berangsur menghilang dan ia tersenyum kecil sambil mengangguk. Ketakutan di matanya sirna dan ia kembali mengobrol seperti biasa denganku.
“Apa yang akan kita lakukan dengan jasad mereka?” tanya Denis sambil memandang tubuh-tubuh yang sudah tidak bernyawa itu.
“Tinggalkan saja,” usulku.
Bagi para Hunter, saling membunuh di dalam dungeon bukanlah kejadian baru. Secara hukum, tindakan tersebut dilarang. Bahkan, Asosiasi Hunter memiliki hukum tersendiri soal pembunuhan antar Hunter. Namun, pembunuhan yang dilakukan di dalam dungeon sangat sulit diselidiki. Hunter bisa berargumen kalau orang itu mati ditikam oleh monster atau jasadnya hilang dimakan monster.
Andaikan aku dan Denis mati di dalam dungeon ini, Anto dan Malih bisa saja mengarang cerita kalau aku mati dibunuh oleh monster kelabang dan Denis berkorban untuk mengalahkan boss dungeon. Apalagi jika dungeon itu sudah ditutup, Asosiasi Hunter tidak akan bisa berbuat apa pun.
“Baiklah,” putus Denis, setuju dengan usulanku. “Ayo pulang,” ajaknya.
Denis naik ke atas punggungku, lalu aku melompat sampai ke atas tebing. Kami melalui satu-satunya terowongan di sana dan akhirnya sampai di stasiun dungeon.
“Denis,” panggilku dari belakang. “Soal kemampuan bertarungku, jangan ceritakan ke siapa pun.”
“Aku tidak tahu kenapa kamu merahasiakan kemampuanmu yang hebat,” ucap pemuda itu. “Tapi karena kamu memintanya, maka aku tidak akan bicara kepada siapa pun.”
“Itu sudah cukup, terima kasih,” kataku.
Tidak lama, kami dihampiri oleh petugas Asosiasi Hunter. Ia tampak khawatir karena kami yang paling terakhir kembali ke kereta. Ia menanyakan keberadaan party Red-White Knight yang tadi masuk ke terowongan yang sama dengan kami.
Denis bercerita kalau mereka tewas karena dibunuh Boss Dungeon. Untungnya, petugas itu percaya karena Denis adalah Hunter Peringkat A. Tidak mengherankan kalau hanya ia dan aku yang selamat. Petugas itu berasumsi kalau Denis yang membunuh Boss Dungeon.
Setelah interogasi selesai, kami naik ke kereta dan kembali ke Stasiun Blok M.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments