Hari ini adalah hari terakhir Shiren bekerja karena dia harus melepaskan pekerjaan ini karena akan menjadi istri Arthur.
Wajahnya tampak lesu karena dirinya tidak akan bertemu dengan teman-temannya lagi.
"Hei, Shiren, benarkah kau akan keluar dari pekerjaan ini?" tanya salah seorang apoteker laki-laki bernama Bima.
"Iya, Bim, aku akan berhenti mulai besok dan hari ini adalah pekerjaan terakhirku." Shiren mengangguk lemah sambil berusaha menyembunyikan rasa sedihnya.
"Kenapa? Kau tidak menyertakan alasan yang jelas. Mana mungkin kami percaya bahwa orang tuamu membiarkanmu tidak bekerja? Kau saja tinggal dan makan di sana dengan membayar setiap bulan. Entahlah, kau benar-benar seperti anak kost di rumahmu sendiri." Bima tak habis pikir dengan pola pikir keluarga Shiren yang membuat keluarga sendiri seperti orang asing. Memang Shiren harus membayar biaya makan dan tinggalnya setiap bulan. Untuk bagian mencuci baju atau membersihkan kamar adalah tanggung jawabnya sendiri. Hanya Dara lah anak yang berhak untuk dilayani di rumah itu.
"Sudahlah, Bim, aku benar-benar tidak memiliki jawaban yang tepat untukmu. Baik-baiklah di sini. Dan ingat, jangan pernah memberikan alat kontrasepsi kepada remaja sebelum dia menunjukkan buku nikahnya," ucap Shiren mengingatkan rekannya agar lebih berhati-hati lagi.
Karena, beberapa waktu sebelumnya, apoteknya sempat didatangi pihak kepolisian karena tersangka kasus pembunuhan kekasihnya sendiri membeli alat tes kehamilan di apotek mereka. Tapi untung saja mereka tidak ikut terseret lebih jauh lagi.
"Iya, iya, aku janji. Tapi, bisakah kita terus berteman? Balaslah pesanku ketika aku mengirimkan pesan," ucap Bima dengan tatapan mata berkaca-kaca.
"Iya, Bim, aku mengerti." Shiren hanya mengulas senyuman tipisnya. Dia juga tak memiliki jawaban untuk hal itu.
Malam pun semakin larut, tepat pukul sepuluh malam, Shiren selesai bekerja dan berpamitan kepada semua rekannya.
Dia pun melintasi jalanan gelap yang lumayan sepi seorang diri. Namun, dia tetap santai dan seolah tak pernah menghadapi malah mencekam seperti itu.
Bahkan suara burung hantu dan lolongan anjing di malam itu tak kunjung membuatnya takut. Dengan santainya dia mengajukan sepeda motornya tanpa berpikir negatif mungkin saja ada makhluk lain yang menumpang di belakang.
Sesampainya di rumah, Shiren melihat ayahnya sedang menunggunya di ruang tamu. Sedangkan kakaknya tak terlihat, mungkin sudah tidur atau bekerja di kamarnya.
"Papa, kenapa belum tidur?" tanyanya heran.
"Papa sedang menunggumu," ucap Robby sambil menghampiri Shiren dengan senyuman hangat.
"Kenapa, Pa?" tanya Shiren heran.
"Hutang Papa sudah lunas, terima kasih, Sayang. Maafkan Papa karena harus mengorbankanmu dalam hal ini. Jika nyawa Papa bisa Papa jadikan penebus, pasti Papa akan melakukannya."
"Pa, jangan berpikir seperti itu. Bisa membuat Papa senang saja aku sudah bahagia. Jika Mamaku tidak bisa membuat keluarga papa bahagia, maka biarlah aku yang menggantikannya. Setidaknya untuk menebus kesalahan mamaku yang dulu pernah menghancurkan keluarga papa," ucap Shiren dengan tatapan mata berkaca-kaca.
Setiap hari dia memang selalu mendengar hinaan dan cacian tentang ibunya yang dulu telah merebut kebahagiaan mereka.
"Shiren, ada satu hal yang ingin Papa ceritakan padamu."
"Apa, Pa?"
"Sebenarnya, Mamamu adalah…"
"Hey, sudah pulang? Hari ini kau sudah keluar dari tempat kerjamu dan mendapatkan uang, bukan? Berikan padaku, karena kau harus membayar untuk bulan ini." Diana menadahkan tangannya meminta uang Shiren.
"Ma, tidak bisakah Mama memberikan kelonggaran padanya karena dia akan menikah? Kalau bukan karena jasanya, pasti saat ini kita sudah menggelandang di jalanan." Robby mencoba mengingatkan istrinya tentang jasa Shiren yang telah menyelamatkan perusahaan mereka.
"Aku tidak peduli! Memang itulah yang harus dilakukannya karena jika tidak, maka dia akan menjadi anak pelakor yang paling tidak tahu diri dan tidak tahu terima kasih karena sudah dibesarkan!" Diana menatap Shiren dengan sinis.
Shiren langsung mengambil amplop yang ada di dalam tasnya dan memberikan semua uang itu pada sang mama tiri.
"Ini, Ma, ambil saja semuanya."
"Tahu diri itu penting!"
"Ya, Ma, aku tahu. Terima kasih karena telah membesarkan ku selama ini hingga aku tumbuh menjadi wanita yang bisa menghasilkan uang untuk Mama walaupun tidak seberapa."
"Aku tidak butuh ucapan terima kasihmu. Lagipula yang merawatmu dari dulu adalah pembantu, bukan aku!"
Diana pun pergi meninggalkan mereka. Namun, baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba Shiren datang dan mengambil kembali amplop yang masih ada di dalam genggamannya.
"Hei, kenapa di ambil?"
"Ini untuk wanita yang membesarkan aku, Ma, bukan untuk Mama." Shiren tersenyum jahil.
"Kembalikan!" Diana mencoba merebut kembali uang itu dari Shiren.
Namun, Shiren malah menghindar dan tersembunyi di belakang papanya.
"Dasar anak tidak tahu diri!"
"Maaf, Ma, aku sudah tidak takut lagi padamu karena aku akan keluar dari rumah ini. Aku sejenak berpikir mengapa aku harus menurut pada orang yang selalu menghinaku sejak kecil. Jadi, mungkin inilah saatnya aku membalasmu." Shiren tersenyum kecil pada sang mama tiri.
"Heh, sudah berani kurang ajar kau, ya!" Mata Diana seakan ingin melompat keluar melihat kelakuan anak tirinya.
"Shiren, kenapa kau tiba-tiba berubah seperti ini?" Robby heran melihat tingkah Shiren yang sedikit aneh.
"Entahlah, Pa, tadi sewaktu di jalan, aku mencium aroma bunga kenanga. Setelah itu, aku merasa tubuhku dirasuki oleh sesuatu. Makanya aku mengambil uang ini kembali. Tapi kalau Mama mau ambil saja. Tapi jangan terkejut jika tengah malam nanti aku berubah menjadi sosok yang melayang-layang di atas ranjang Mama dan…"
"Sudahlah, ambil saja! Uang kami lebih banyak darimu!"
Tak disangka Diana malah takut dengan cerita karangan Shiren. Dia sebenarnya hanya mengarang saja dan tidak benar-benar mengalaminya. Namun, mamanya yang masih saja percaya tentang mitos itu akhirnya merelakan uang itu.
Shiren pun memberikan uang itu kepada pembantu rumah itu yang sejak kecil telah merawatnya. Meski awalnya ditolak, namun Shiren terus memaksa agar uang itu diterima. Karena menurutnya, tidak salah jika dia memberikan uang hasil kerjanya kepada orang yang telah merawatnya sejak kecil.
Mereka saling memeluk dan bertangis-tangisan. Tak terasa Shiren akan pergi meninggalkan rumah ini karena harus menjadi istri pengusaha cac*t itu. Shiren sudah membayangkan apa saja tugas setelah menjadi istri seorang pria cac*t.
Memandikannya, memakaikan baju, menemaninya ke kamar mandi dan buang air, serta masih banyak lagi. Dia tahu dirinya akan menjadi seorang istri rasa pelayan. Yang bertugas melayani kebutuhan pria itu, namun dengan status yang sah.
Sebelum tidur, Shiren menatap layar ponsel yang sedang menunjukkan sebuah foto. Yaitu foto Arthur. Pengusaha cac*t itu mengalami kecelakaan beberapa tahun yang lalu hingga membuatnya harus bekerja dengan kursi roda. Wajahnya sangat tampan, namun sangat terlihat bahwa dia adalah orang yang galak. Shiren berharap hidupnya tidak akan tertekan di sana. Mungkinkah dia bisa sedikit melonggarkan nafas dari tekanan yang biasanya diterimanya di sini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Yusria Mumba
semoga saja shiren mendapatkan. kebahagian,
2023-08-02
0
Ayas Waty
semoga kamu bahagia Shiren
2023-05-26
0
Yuli maelany
semoga kamu mendapatkan kebahagiaan d tempat yang baru....
2023-05-22
0