"Ada apa? Kenapa menyuruhku kemari?" tanya Azzam sesaat setelah membuka pintu ruangan presdir. Dia melangkah masuk dan tersenyum sumbang kala menangkap penampakan seorang wanita yang tengah duduk di sofa.
"Azzam... Duduk dulu, Nak!" ucap Erni, ibu sambung yang sangat Azzam benci.
"Tidak perlu berbasa-basi, katakan saja apa yang kalian inginkan dariku!" sergah Azzam menatap malas pada sang ibu.
"Azzam, tolong sopan sedikit! Bagaimana pun dia adalah Ibumu." berang Kurniawan yang tidak suka melihat tatapan Azzam yang penuh kebencian.
"Ibuku sudah mati, dia hanya benalu, sampai kapanpun aku tidak akan pernah menerimanya sebagai Ibuku." tekan Azzam dengan sorot mata elangnya yang tajam.
"Tidak apa-apa Mas, biarkan saja! Kenyataannya aku memang bukan siapa-siapa untuk Azzam." Erni memperingatkan suaminya agar tidak memarahi Azzam meski hati kecilnya menangis melihat Azzam yang sangat membencinya.
Kurniawan menghela nafas berat, dia bingung memikirkan cara agar bisa meyakinkan Azzam bahwa Erni tidak seperti yang dia pikirkan.
Ada sesuatu yang tidak Azzam ketahui, tapi Kurniawan tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk menjelaskannya. Azzam selalu saja menatap Erni seperti musuh.
"Sesuai kesepakatan kita kemarin, Ayah dan Ibumu ingin bertemu dengan gadis itu." ucap Kurniawan, itulah alasan yang membuatnya menyuruh Azzam datang.
"Untuk apa?" tanya Azzam sembari menarik kursi yang ada di seberang meja Kurniawan, dia tidak ingin duduk di sofa apalagi berdekatan dengan Erni.
"Untuk apa bagaimana? Tentu saja Ayah dan Ibu ingin berkenalan dengan calon menantu kami. Kamu itu pewaris Ayah, Ayah tidak ingin kamu keliru dalam memilih pasangan hidup." ujar Kurniawan sedikit kesal.
"Bukan calon, tapi menantu." tegas Azzam meluruskan.
"Haaaah..." spontan Kurniawan dan Erni terkesiap saking tak menyangka.
"Aku dan gadis itu sudah menikah, dia istriku dan kalian harus menerimanya tanpa embel-embel. Istriku memang berasal dari keluarga miskin, tapi hatinya sangat luas. Hanya dia yang mau menerimaku apa adanya, dia tidak melihat statusku yang hanya tinggal di sebuah kontrakan kecil." jelas Azzam dengan penuh penekanan.
"Azzam, jangan bercanda!" sela Kurniawan.
"Untuk apa aku bercanda? Aku mengatakan yang sebenarnya." tukas Azzam enteng sembari mengetuk-ngetuk permukaan meja.
"Ya sudah, tidak apa-apa. Kami tidak akan menolaknya asalkan dia gadis yang baik." timpal Erni.
"Aku tidak mungkin menikahi gadis sembarangan, aku tau mana yang baik dan mana yang tidak untukku. Kau tidak perlu sok peduli padaku!" ketus Azzam menatap sinis pada Erni.
"Azzam..." bentak Kurniawan yang tidak suka mendengar cara bicara Azzam pada istrinya.
"Cukup Mas, biarkan saja!" sela Erni mengedipkan mata, wanita itu tidak keberatan sama sekali.
Kurniawan mengusap wajah kasar dan menghela nafas berat. Dia rasanya sudah tidak tahan melihat perlakuan Azzam pada istrinya. Entah kapan Azzam akan mengerti dan mau mendengarnya.
"Apa ada hal lain yang ingin kalian katakan? Jika tidak, aku pergi sekarang." Azzam bangkit dari duduknya dan melangkah menuju pintu.
"Sampaikan salam kami pada istrimu. Jika kamu sudah siap, bawalah menantu kami ke rumah! Pintu rumah akan selalu terbuka untuk kalian berdua." seru Erni saat Azzam tengah menarik gagang pintu.
Azzam memutar leher ke arah wanita itu, dia tidak menjawab dan hanya tersenyum getir lalu melanjutkan langkahnya meninggalkan ruangan.
Ya, sejak Erni menginjakkan kaki di rumahnya, sejak itu pula Azzam menyimpan kebencian dan dendam yang tidak ada habisnya.
Baginya Erni adalah hama, perusak rumah tangga ibunya yang kini sudah tiada.
Banyak kata yang tak bisa diungkapkan, banyak rasa yang harus disembunyikan.
Azzam kehilangan banyak momen berharga dalam hidup, langkahnya terkunci, keinginannya terpatri. Azzam bahkan tidak tau apa yang iya butuhkan saat ini.
"Tolong jangan dengarkan apa yang dia katakan tadi!" ucap Kurniawan pada Erni.
"Tidak akan, aku tau hati putraku sedang terluka. Aku bisa merasakannya." jawab Erni dengan tatapan sendu.
"Bersabarlah! Suatu hari nanti, dia pasti akan mengerti." Kurniawan duduk di samping Erni dan mendekap lengannya erat.
"Semoga saja dia tidak melakukan hal buruk pada istrinya, aku takut gadis itu yang akan menjadi tumbal karena kebencian yang sudah mendarah daging di dirinya." lirih Erni.
"Tidak mungkin, kamu dengar sendiri 'kan apa yang dia katakan tadi. Dia tidak akan menyakiti istrinya." ujar Kurniawan yang juga ragu pada putranya.
Di bawah, Azzam memasuki mobil dengan marah. Andai dia tau ada Erni di ruangan itu, dia tidak akan sudi menginjakkan kakinya di sana.
"Kita kemana lagi, Tuan?" tanya Amin sesaat setelah Azzam duduk di bangku belakang.
"Jalan saja dulu!" jawab Azzam dingin.
Amin mengangguk lemah dan melajukan mobil itu dengan kecepatan sedang. Dari raut wajah Azzam, dia sudah bisa menebak bahwa majikannya itu sedang tidak baik-baik saja.
Sepanjang perjalanan, Azzam hanya diam sembari menatap ke sisi jendela. Hatinya menangis mengingat sang ibu yang sangat dia rindukan.
"Ke jalan mangga saja, gang marmut!" titah Azzam yang tiba-tiba kehilangan semangat. Dia hanya ingin pulang dan tidur untuk menghilangkan rasa gundah di hatinya.
Beberapa menit berselang, mobil yang dikendarai Amin berhenti tepat di halaman kontrakan. Azzam turun dengan lesu dan meminta Amin kembali ke perusahaan.
Setelah mobil itu menghilang dari pandangannya, Azzam membuka pintu dan berjalan tergopoh-gopoh tanpa kekuatan lalu membanting tubuhnya di kasur.
"Kenapa hidup ini begitu kejam padaku? Apa aku tidak pantas untuk bahagia?" lirih Azzam dengan pandangan berkabut. Dia rasanya sangat lelah dan ingin sekali menyusul sang ibu ke surga.
Lama termangu dalam pemikirannya, Azzam akhirnya tertidur dalam ketidakberdayaan.
"Al, ayo, sudah waktunya pulang!" ajak Ira sembari membereskan meja kerjanya.
"Iya, Mbak." sahut Alana, lalu merapikan meja dan mengambil makanan yang tadi dia beli.
Alana tidak memakan makanan itu karena perutnya masih kenyang. Dia pikir makanan itu bisa dibawa pulang untuk bekalnya nanti malam.
Lalu Alana dan Ira meninggalkan meja kerja mereka masing-masing, menyusul staf lain yang sudah menghilang satu persatu.
"Sampai ketemu besok ya, Mbak." Alana melambaikan tangan saat Ira menaiki sebuah sepeda motor, ternyata Ira sudah menikah dan baru saja dijemput oleh suaminya.
"Dah... Kamu hati-hati ya!" seru Ira membalas lambaian tangan Alana.
Setelah Ira menjauh, Alana kemudian berdiri di trotoar seorang diri, lalu menyetop taksi yang tengah berlalu lalang di jalanan.
"Jalan mangga ya, Pak!" ucap Alana saat sebuah taksi menepi di depannya lalu membuka pintu dan duduk di bangku belakang.
Alana menyandarkan punggungnya sembari fokus menatap jalanan. Hari pertama kerja menurutnya cukup menyenangkan, hanya saja dia masih penasaran akan keanehan yang terjadi pada pimpinan perusahaan.
Apa sebenarnya yang terjadi pada direktur baru itu? Kenapa wujudnya hanya disembunyikan dari Alana seorang?
Semakin Alana memikirkannya, semakin penasaran pula dia dibuatnya.
"Ah, sudahlah, untuk apa aku memikirkan itu? Tugasku hanya kerja, kerja dan kerja. Persetan dengan bos aneh itu, lagian semua itu tidak ada urusannya denganku." batin Alana menghilangkan pikiran itu dari benaknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Yuli Yuli
g usa pusing Alana bikin skt kpla aja
2024-03-03
0
Neus Assalma
katanya orang miskin tapi naik taksi melulu, biasanya angkot kalo org biasa tuh. maaf thor cuma saran
2023-12-06
0