"Bagaimana rasanya bekerja di hari pertama?" tanya Ira membuka percakapan saat keduanya tengah menikmati makan siang di kantin perusahaan.
"Cukup menyenangkan. Untungnya ada Mbak yang mau membantu aku, aku benar-benar berterima kasih karena Mbak sudah baik banget sama aku." jawab Alana mengukir senyum.
"Loh, untuk apa berterima kasih terus?" Ira terkekeh sembari terus menyantap makanan yang ada di piringnya.
"Hehehe... Habisnya aku tidak tau harus berkata apa lagi." Alana ikut terkekeh seraya menggaruk kepala yang tidak gatal. Dia terlalu senang sehingga ucapan terima kasih saja belum cukup menurutnya.
"Bisa saja kamu." Ira yang memiliki umur lebih tua dari Alana tanpa sungkan mengacak rambut gadis itu. Dia merasa seperti menemukan sosok adik yang lucu dan polos.
"Lalu bagaimana pendapatmu tentang si bos?" tanya Ira penasaran, dia sendiri belum tau bagaimana karakter direktur perusahaan yang baru itu.
"Tidak bisa ditebak, sedikit aneh sih menurutku." Alana mengangkat bahu dengan bibir mengerucut.
"Aneh bagaimana?" Ira mengerutkan kening bingung.
"Bos itu tidak mau menampakkan wujudnya di depanku. Saat aku masuk ke ruangannya, dia selalu saja membelakangi ku. Apa wajahnya rusak, jelek atau-"
"Hust... Apaan sih? Hati-hati kalau bicara, di sini banyak CCTV loh." sela Ira, dia tidak mau ucapan Alana barusan menimbulkan masalah untuk mereka berdua.
"Tapi yang aku katakan ini benar loh, Mbak. Kalau bukan karena malu, kenapa wajahnya disembunyikan begitu?" jelas Alana memperkecil volume suaranya.
"Kok bisa gitu ya? Padahal tadi pagi dia terlihat biasa saja saat memasuki kantor. Tidak ada yang salah dengan penampilannya, lagian bos baru itu masih sangat muda dan tampan, dia merupakan pewaris tunggal Global Grup." terang Ira kebingungan.
"Masa' sih? Lalu apa yang membuatnya menyembunyikan wajah dariku?" tanya Alana tak kalah bingung.
"Entahlah, lagi sensi saja kali." jawab Ira menerka-nerka.
"Hmm... Bisa jadi," kata Alana manggut-manggut.
"Ya sudah, cepat habiskan makanannya! Kita harus kembali tepat waktu, jangan sampai kena sembur gara-gara telat."
Alana mengangguk pelan dan dengan cepat menghabiskan makanan yang masih menumpuk di piringnya.
"Kok aku jadi seperti maling begini ya?" batin Azzam yang masih saja duduk di ruangannya. Dia seperti mati langkah karena harus menghindari Alana agar tidak mengetahui siapa dirinya.
Sebenarnya Azzam tidak bermaksud membodohi istrinya, dia hanya ingin menyesuaikan diri sebelum menceritakan semuanya pada Alana.
Azzam sangsi Alana akan syok jika tau bahwa suami yang baru saja menikahinya tidak seperti yang dia lihat, apalagi Azzam juga ingin memanfaatkan kesempatan itu untuk menguji Alana. Seberapa sanggup Alana bertahan dengan statusnya yang hanya orang biasa.
Sekitar pukul satu siang, Alana dan Ira sudah tiba di lantai enam. Keduanya kembali duduk di meja masing-masing untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda.
Alana merapikan berkas yang tadi sudah dia copy lalu memasukkannya ke dalam map dan membawanya ke ruangan Azzam.
Tok Tok Tok...
"Siapa?" seru Azzam dari dalam sana.
"Saya Pak, Alana."
"Ya, masuklah!" Azzam lagi-lagi memutar kursinya membelakangi pintu, tidak ada yang tampak kecuali kepalanya, itu pun hanya separuh saja.
Setelah mendapatkan izin, Alana mendorong pintu perlahan dan berjalan menghampiri meja. "Permisi Pak, jadwal Anda yang baru sudah selesai saya ketik dan copy."
"Ya, letakkan saja salinannya di meja! Dan ingat, kau juga harus mempelajarinya." ucap Azzam mengingatkan tugas Alana.
"Baik Pak, saya mengerti. Apa ada lagi yang bisa saya kerjakan?" Alana mengeluarkan selembar kertas dari dalam map lalu menaruh map itu di meja.
"Untuk sementara itu saja." Azzam diam sejenak mematut wajah istrinya melalui layar hp yang menyala. "Oh ya, tolong belikan makan siang untukku, aku sedang tidak ingin kemana-mana." imbuh Azzam.
"Memangnya Bapak mau makan apa?" tanya Alana dengan polos, bahkan sampai detik ini dia sama sekali tidak bisa mengenali suara suaminya.
"Terserah kau saja, asal jangan makanan pedas." jawab Azzam yang memang tidak suka memakan makanan pedas.
"Baiklah, akan saya belikan." Alana mengangguk pelan dan berbalik badan.
"Tunggu sebentar!" seru Azzam yang membuat Alana urung melangkahkan kakinya.
"Iya Pak, apa ada yang kelupaan?" tanya Alana sembari berbalik.
"Apa kau punya uang? Kenapa main pergi begitu saja?" cerca Azzam.
"Ti-tidak Pak, maaf." cicit Alana dengan wajah merah padam, bisa-bisanya dia lupa kalau uangnya hanya tinggal selembar saja, itupun untuk membayar taksi saat pulang nanti.
"Sudah ku duga," Azzam mengangkat sudut bibir membentuk senyuman tipis lalu merogoh kantong celana dan menyodorkan uang seratus ribu ke belakang. "Ambillah!"
Alana melangkah maju dan mengambil uang itu dengan cepat. Karena penasaran, dia pun mencoba memanjangkan leher, berharap bisa melihat wajah bos misteriusnya itu.
"Kenapa masih di sini? Cepat pergi, perutku sudah sangat lapar!" sergah Azzam, dia tau Alana sedang berusaha membongkar jati dirinya.
Alana terkesiap dan termundur ke belakang saking kerasnya suara Azzam, darahnya berdesir dengan muka memucat ketakutan. "I-iya Pak, permisi."
Dengan cepat Alana berbalik badan dan berlari kecil meninggalkan ruangan itu.
Setelah Alana menghilang, Azzam tertawa terbahak-bahak sembari memutar kursinya. Wajah Alana barusan membuat Azzam sangat gemas.
"Hahaha... Alana Alana, kau itu sangat menggemaskan." kekeh Azzam geleng-geleng kepala.
Di bawah, Alana berjalan menuju kantin. Dia ingat kantin itu memiliki menu yang cukup beragam, barangkali di sana ada makanan yang sesuai dengan selera sang bos.
Alana mengamati sebuah etalase makanan, manik matanya bergulir liar mencari menu yang tidak pedas sesuai permintaan bosnya.
Setelah menemukan makanan yang cocok, Alana langsung memesannya.
Di Lantai Enam
"Katakan pada sekretaris baru itu bahwa aku ada urusan di luar. Suruh saja dia memakan makanan yang saya minta tadi!" titah Azzam pada Ira.
"Baik Tuan, nanti saya sampaikan." angguk Ira.
Azzam kemudian meninggalkan lantai itu terburu-buru. Dia takut akan berpapasan dengan Alana.
Benar saja, saat Azzam tengah berada di dalam lift, Alana sedang menunggu lift terbuka di bawah sana.
Pintu lift satu dan dua terbuka bersamaan, Alana masuk ke dalam lift satu sedangkan Azzam keluar dari lift dua, nyaris saja keduanya berpapasan.
"Ya, aku akan ke sana sekarang." ucap Azzam dengan ponsel yang menempel di telinga.
Azzam meninggalkan lobby dan masuk ke dalam sebuah mobil. Di dalamnya sudah ada seorang sopir yang siap mengantarnya kemanapun.
"Kita mau kemana, Tuan?" tanya Amin, sopir itu.
"Ke kantor pusat," jawab Azzam sembari mengotak-atik ponsel di tangannya.
Saat mobil itu mulai melaju, Azzam mematikan ponselnya dan menyimpannya di saku celana.
Sebenarnya dia sangat malas mengunjungi kantor pusat tapi tidak ada pilihan lain kecuali menurut. Dia harus berjaya mengambil hati Kurniawan sang ayah, dia tidak ingin kehilangan kesempatan emas ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Yuli Yuli
knpa g pke topeng aja Azzam biar g ktahuan Alana😅😅😅
2024-03-03
0
shadowone
🤣🤣🤣🤣 lucu kali si alana
2023-09-24
0
shadowone
🤣🤣🤣🤣
2023-09-24
0