Bab 5.

"Ini sangat aneh," gumam Alana saat keduanya berjalan meninggalkan gedung.

"Aneh kenapa?" tanya Azzam berpura-pura tidak tau.

"Kemarin perusahaan ini menolak lamaran ku mentah-mentah, katanya tidak ada lowongan sama sekali. Tapi kenapa hari ini tiba-tiba berubah, aku diterima menjadi sekretaris pimpinan. Aneh bukan?" terang Alana kebingungan.

"Sedikit aneh memang, tapi mungkin ini merupakan rejeki untukmu." jawab Azzam enteng.

"Iya sih, aku berpikirnya juga begitu, tapi-"

"Tapi apa?" selang Azzam memutar leher ke arah Alana.

"Aku takut tidak bisa melakukannya, ini sangat berat. Selain tidak punya pengalaman, aku juga tidak tau apa yang harus aku lakukan." ungkap Alana yang masih tegang memikirkan kejadian di ruang HRD tadi.

"Tidak usah memikirkan itu, intinya harus percaya diri dan banyak belajar." ucap Azzam memberi semangat kemudian mengambil mogenya yang terparkir di basement.

"Ayo, naiklah!" ajak Azzam sesaat setelah duduk di atas moge dan menyalakan mesin.

"Kita mau kemana?" tanya Alana menyipitkan mata.

"Ya pulanglah, kemana lagi?" Azzam balik bertanya.

"Aku tidak mau, aku tidak ingin-"

"Ingat Alana, aku ini suamimu. Tolong pahami statusmu sekarang!" kesal Azzam menggeram kuat.

"Pernikahan ini bukan keinginan kita berdua, untuk apa memaksakan diri tetap bersama?" tanya Alana mengernyit.

Azzam menegakkan standar mogenya dan kembali turun dengan tatapan menyala. "Pernikahan ini memang bukan keinginan kita berdua. Kenapa tidak kita coba menjalaninya terlebih dahulu? Ingat Alana, bagiku pernikahan bukanlah sekedar permainan, aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup."

Alana terkesiap dan menatap lekat mata Azzam. "Apa kau yakin?"

Azzam meraih kedua tangan Alana dan menggenggamnya erat. "Apa kau sudah siap jadi janda?"

Alana langsung terdiam dan menggeleng lemah tanpa bersuara.

"Aku tau hidupmu sangat sulit. Apa kau mampu menghadapinya seorang diri? Jika belum siap, setidaknya anggap aku sebagai seorang teman. Kau bisa membagi rasa sakit mu denganku." ucap Azzam dengan nada melemah.

Alana masih saja diam sembari menundukkan kepala, dia merasa takut bersentuhan dengan Azzam. Sekujur tubuhnya bergetar seperti berada di tengah lautan.

"Aku tau tidak mudah menjadi dirimu, aku pun demikian. Perjalanan hidup kita tidak jauh berbeda, kurangi egomu dan belajarlah menerimaku. Aku janji tidak akan pernah menyakitimu, aku tau bagaimana rasanya dikhianati, itu sangat menyedihkan."

Azzam membuang muka dan mengusap wajah dengan kasar, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang selama ini dia pendam.

"Baiklah, kita coba untuk satu bulan ke depan. Jika tidak ada perubahan, maka-"

"Terserah kau saja, aku tidak berhak memaksamu." Azzam berbalik dan kembali menaiki moge. Sesaat setelah menyalakan mesin motor, Alana tiba-tiba berpegang di pundaknya dan duduk di belakangnya.

Azzam menoleh ke belakang dan berkata. "Pilihan ada di tanganmu. Kalau masih ragu, maka pergilah sebelum terlambat!"

"Kau mengusirku?" kesal Alana beringsut ke belakang.

"Tidak, aku hanya memberimu pilihan." jawab Azzam.

"Ya sudah, ayo jalan! Lagian aku tidak tau harus pergi kemana? Aku tidak punya tempat tinggal lagi." kembali Alana memajukan bokongnya dan memberanikan diri memegang jaket Azzam.

"Yakin?" Azzam mencoba memastikan.

"Sudah, jangan banyak tanya. Jalan atau aku turun sekarang juga!" ancam Alana.

"Iya iya, ini mau jalan." Azzam mengukir senyum sembari memutar gas, moge itu mulai melaju dengan kecepatan sedang.

Sepanjang perjalanan, Alana hanya diam tanpa suara, begitu juga dengan Azzam yang hanya fokus menatap jalanan.

Azzam merasa nyaman saat Alana ada di dekatnya, entah kenapa dia merasa seperti menemukan kembali sesuatu yang pernah hilang darinya.

"Sudah makan?" tanya Azzam membuka suara.

"Belum," geleng Alana. Boro-boro mau makan, duit saja dia tidak punya.

Azzam kembali diam, tidak lama dia pun memutar stang mogenya ke sebuah cafe yang dia lewati.

"Turunlah, kita makan dulu!"

Setelah Alana turun, Azzam ikut turun usai memarkirkan mogenya lalu mengajak Alana masuk ke dalam cafe. "Ayo!"

Bukannya melangkah, Alana justru mematung di tempatnya berdiri.

"Loh, kenapa malah diam?" imbuh Azzam mengerutkan kening.

"Makannya di tempat lain saja ya, ini terlalu mewah, harga makanan di sini pasti mahal." desis Alana.

"Aku yang akan membayarnya bukan kau." ketus Azzam.

"Tapi tetap saja tempat ini tidak cocok buat kita. Tidak boleh buang-buang uang, kebutuhan kita masih banyak." terang Alana.

Azzam sontak terkekeh mendengar ucapan Alana, dia nyaris lupa kalau dirinya tengah menjelma menjadi pria miskin yang hanya sanggup membayar kontrakan kecil.

"Tidak apa-apa, sekali ini saja kok. Lagian aku baru dapat bonus, lumayan buat biaya satu bulan." Azzam menggenggam tangan Alana dan membawanya memasuki cafe.

Meski berat, Alana tetap melangkah mengikuti kemana Azzam membawanya.

Setibanya di dalam, Alana semakin gelisah saat Azzam memesan ruangan khusus, hanya ada mereka berdua di dalam sana.

"Sebenarnya kau ini kerja apa, sih? Aku tau ruangan ini sangat mahal, dari mana kau bisa mendapatkan uang?" cerca Alana dengan tatapan mengintimidasi, dia curiga Azzam mendapatkan uang dengan cara yang tidak halal.

"Tenang saja, aku jamin uangku bersih. Aku tidak mungkin memberimu makan dengan uang haram, nantinya anak-anakku akan berkembang di perutmu."

"Yeay, siapa juga yang mau mengandung anakmu?" Alana menaikkan sebelah bibir mengejek Azzam.

"Jangan bicara begitu, kita tidak pernah tau apa yang akan terjadi ke depannya. Jangan sampai kau termakan omonganmu sendiri!"

"Tidak akan," Alana menjaga jarak agar Azzam tidak mendekatinya.

Setelah pesanan mereka datang, keduanya mulai makan tanpa bersuara. Azzam memang fokus dengan makanannya tapi matanya tak lepas menatap Alana.

Azzam sadar ada yang berbeda dengan gadis itu, Alana tidak matre, tidak melihat rupa dan juga tidak murahan. Dia bisa menjaga diri meski di hadapan suaminya sendiri, sepertinya Azzam harus bekerja keras untuk menaklukkan hati sang istri.

"Apa yang kau lihat?" tukas Alana menyadari tatapan Azzam yang tak biasa.

"Lihat istriku, memangnya salah?" jawab Azzam enteng sembari mengunyah makanannya.

"Berhenti memanggilku istri, aku tidak suka." ketus Alana menajamkan tatapan.

"Maunya dipanggil apa? Sayang?" seloroh Azzam mengedipkan mata genit.

"Huweek... Jangan mimpi!" Alana memutar tubuhnya karena kesal dipandangi terus oleh suaminya itu.

"Hehehe... Jual mahal saja terus, akan ada saatnya dimana kau akan bertekuk lutut di depanku. Dan pada saat itu tiba, aku akan membuatmu menyesal telah menghinaku berkali-kali."

"Bodo amat," Alana melanjutkan makannya sembari menonton film yang diputar di layar televisi.

Ya, ruangan itu memiliki fasilitas yang cukup lengkap, mereka juga bisa berkaraoke jika ingin. Akan tetapi, Alana merasa suasana hatinya tidak baik, berada di samping Azzam seperti berada di dalam jurang baginya.

Bagaimana tidak, mimpi menikah dengan pria yang dia cintai pupus begitu saja setelah bertemu dengan pria itu. Terkadang Alana merasa seperti hidupnya sudah ditakdirkan untuk menderita.

"Aku sudah kenyang. Ayo, kita pulang saja!" Alana bangkit dari duduknya dan meninggalkan ruangan lebih dulu. Perutnya sudah kenyang setelah menghabiskan beberapa jenis makanan, kini matanya mulai mengantuk karena semalam tidak bisa tidur tepat waktu.

Terpopuler

Comments

mama naura

mama naura

tenang aj Alana🤭ada babang Azzam 😊😊

2023-05-18

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!