Di kampus, Rendi yang terlambat langsung pergi ke gazebo, tempat di mana semua orang berkumpul dan menunggu Rendi.
“Maaf ya aku telat!” sapa Rendi kepada semua orang yang ada di sana.
“Tumben banget telat! Biasanya juga paling pertama berangkatnya!” ucap salah satu teman Rendi.
“Berak dulu lah.” Rendi sengaja bercanda dengan mereka semua agar bisa jadi lebih dekat. Semua orang dekat sekali dengan Rendi, karena memang Rendi berusaha sekuat tenaga untuk disukai dan bisa mengayomi semua orang yang ada di sekitarnya. Mungkin ada puluhan teman Rendi saat menjadi ketua BEM, dan hal itu membuat Rendi sangat senang karena merasa circlenya semakin banyak dan keren.
“Hari ini sampai malem lagi yak? Sore nanti pasti udah kelar ni rapat, nongki lah kita!” ajak teman Rendi.
Namun, Rendi ingat betul jika dia akan pulang maghrib ini, hal itu membuat Rendi tidak bisa menuruti apa yang diinginkan oleh kawan-kawannya.
“Aku kayaknya nggak bisa deh, Gas” tukas Rendi sedikit bersedih.
“Loh kenapa? Sibuk lu? Kaya kemarin kita, bisa karaoke terus hunting foto sana sini! Eksplore Semarang, kamu kan orang semarang, pemandu kita semua,” ucap Bagas yang terlihat memprovokasi Rendi agar ikut pergi dengan mereka semua.
“Duh, serius nggak bisa nih. Gue mau istirahat, capek banget dari kemarin,” ucap Rendi mencari alasan agar bisa pergi dari lingkup mereka.
Namun, saat mereka tengah membicarakan hal itu, mereka melihat Gibran sedang berjalan di koridor kampus dan salah satu dari mereka memanggil Gibran.
“Kak Gibran!” panggil Adel.
Mendengar suara Adel yang memanggil Gibran, Rendi langsung melihat ke arah wanita itu, lalu berpaling menatap wajah Gibran yang sedang mendekati mereka dengan raut wajah yang sedikit sinis, namun cool bagi para wanita.
“Ugh! Ganteng banget serius!” ucap para wanita di sana.
“Hei, pada ngapain di sini? Rajin amat dah,” ucap Gibran yang berusaha tersenyum.
“Kak Gibran nggak mau join? Kita mau rapat sebentar terus ngobrol-ngobrol nih!” Adel menjawab pertanyaan pria itu dengan sok manis.
“Oh, maaf ya. Aku ada acara nih. Aku nggak mau jadi orang yang munafik, cuma karena bangga bisa banyak temen.” Gibran seperti menyindir seseorang.
Rendi yang mendengar hal itu langsung melihat ke arah Gibran dengan tatapan yang sinis. Semua orang juga bingung dengan apa yang dikatakan oleh Gibran.
“Bukan bermaksud apa-apa kok. Maaf ya mulutku emang suka nyeplos seenak jidat, masih kebiasaan soalnya!” Gibran justru terlihat semakin tampan di mata para wanita.
“Nggakpapa kak! Aduh santai aja sih!”
“Maksud aku, aku nggak mau aja ngelewatin moment bareng keluargaku. Meskipun keluargaku cuma sedikit dan kelihatannya nggak asyik, tapi mereka adalah harta terhebat yang pernah aku miliki. Jadi, aku nggak mau melewatkan moment sedikitpun saat mereka masih ada. Punya keluarga jangan di sia-sia ya!” Pada kalimat terakhirnya, Gibran jelas sekali melirik ke arah Rendi. Hal itu membuat Rendi langsung kesal, namun masih berusaha untuk memasang senyuman manis di hadapan semua orang.
“Ah, iya bener sih apa kata Kak Gibran. Keren banget kata-katanya!” puji Bagas.
Semua orang justru menjadi menaruh perhatian kepada Gibran, sedangkan Rendi hanya bisa diam saja dan kesal sekali dengan ucapan pria itu.
Setelah menyapa mereka semua, Gibran pun pergi dari hadapan mereka, lalu tersenyum puas saat berhasil menyindir Rendi.
“Makan tuh! Minggu bukannya di rumah ngurus anak istri, malah ngurusin beginian!” batin Gibran.
Sedangkan Nara di rumah, hanya bisa scroll sosmednya, menonton tv, mengerjakan pekerjaan rumah dengan tubuh yang rasanya mau hancur. Namun, Nara tidak memikirkan itu dan menganggap hal itu hanyalah capek biasa. Saat sedang ketiduran, Nara mendengar suara Syakila yang menangis karena pakaiannya basah.
“Oh, kamu minumnya banyak juga ya? Anak pintar emang,” puji Nara sembari menyiapkan peralatan bayi dan mengganti kain yang digunakan oleh Syakila. Saat baru lahir, sebenarnya Nara ingin sekali memakaikan pampers kepada Syakila, namun, mertuanya melarang Syakila melakukan hal itu karena bisa membuat bayi iritasi. Karena tidak mau kenapa-kenapa, alhasil Nara yang harus berkorban untuk sering bangun dan sering mengganti, bahkan mencuci popok Syakila.
Ia menjalani hal seperti itu dengan penuh kebahagiaan dan berusaha untuk bersikap baik-baik saja.
Setelah sudah diganti, Nara langsung memangku Syakila dan memberikannya asi, karena memang sudah jamnya. Saat Syakila mulai menyusui, lama kelamaan Nara merasakan perih di dadanya dan langsung menurunkan Syakila.
“Aduh! Sakit!” keluh Nara.
Perihnya sampai membuat air mata Nara keluar, ternyata dadanya lecet, tepat di bagian Syakila minum.
“Mama kan dah bilang pelan-pelan, Sayang. Jangan kenceng-kenceng nyedotnya, sakit!” keluh Nara kepada bayinya yang menangis dengan keras karena lapar dan belum selesai disusui.
Mendengar suara tangisan bayi itu, Nara langsung merasa sangat sedih dan dadanya terasa sesak. Ia menjauhi Syakila perlahan dan meringkuk di pojokkan.
“Bisa nggak sih kamu jangan nangis terus? Mama itu capek ngurusin kamu, ngurusin rumah, nyuci semua ompol kamu, nggak ada yang bantuin mama!” Isak tangis Syakila dan juga Nara seakan beradu dalam rumah kecil itu. “Papa kamu pergi terus, nggak pernah bantu mama, mertua juga nggak bantuin, orang tuaku jauh di sana. Aku capek, Syakila!” lanjut Nara dengan tangisan dan juga amarah yang sama sekali tidak bisa ia lampiaskan. Alhasil hanya ada suara
isak tangis saja di dalam ruangan itu.
“Kenapa papa kamu malah nggak mau ngertiin mama sih? Dia lebih sayang temen-temennya dari pada kamu. Seandainya kamu nggak ada di dunia ini, pasti nggak bakal jadi kaya gini!”
Nara merutuki anaknya sendiri, dan tangisan anak itu pun semakin kencang. Beberapa saat kemudian, Nara justru merasa bersalah atas ucapannya sendiri, ia langsung mendekati Syakila dan menggendong putrinya itu.
“Nggak, Sayang. Maafin mama ya? Mama jahat sama kamu, nggak seharusnya mama bilang gitu ke kamu. Mama yang salah, harusnya mama bisa lebih mikir lagi buat kedepannya. Maafin mama ya, Sayang ya?” ucap Nara sembari menggendong Syakila dan menitihkan air matanya.
Nara langsung membuka lagi kancing bajunya dan membiarkan Syakila minum, meskipun dadanya Nara rasanya perih, namun sepertinya itu adalah konsekuensi karena sudah jadi ibu.
“Minum yang banyak. Maafin mama ya, Sayang ya?” ucap Nara sembari mengusap lembut pipi Syakila yang sedang menerima asi dari ibunya.
Bayi mungil itu langsung kembali terdiam, dan Nara juga merasa bersalah atas perkataannya itu. Entah mengapa ia bisa berkata seperti itu kepada sang anak. Ia merasa tidak bisa mengendalikan emosinya dengan baik.
Tidak punya teman cerita, dan memendam semuanya sendirian membuat Nara menjadi semakin frustasi. Apalagi Rendi, satu-satunya orang yang bisa dia ajak bicara, justru sering sekali meninggalkan dirinya.
Hal itu membuat Nara semakin merasa jika kehadiran putrinya adalah sebuah kesalahan terbesar dalam hidup Nara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments