Nara yang baru saja terjatuh karena menabrak orang tersebut langsung terkejut bukan main.
Dia berusaha untuk merasakan sesuatu di perutnya, namun, tak terjadi apa-apa. Karena bisa
saja terjadi keguguran jika terjatuh, atau terbentur sesuatu yang cukup keras. Hingga
seseorang mengulurkan tangannya untuk Nara.
Ia menatap pria itu dan langsung berdiri sendiri, dia tidak ingin dibantu sedikitpun karena dia
juga tidak mengenal siapa pria itu.
“Maaf, Kak! Saya nggak lihat!”
Nara langsung pergi meninggalkan pria itu dan sedikit merasa malu. Kenapa dia bisa sampai
terjatuh seperti itu. Namun, hal yang paling dia sesali, karena dia tidak keguguran setelah jatuh
cukup keras, mungkin karena semakin tua usia kandungan, maka janin juga akan semakin kuat
dan akan susah digugurkan.
Hal itu membuat Nara menghela nafas panjang dan hanya bisa pasrah saja. Nara juga sudah
jarang sekali pulang ke rumah karena dia takut jika sampai ketahuan jika dia tengah hamil.
Karena jika di rumah dia agak susah menutupi perutnya itu.
Setelah kuliah yang cukup panjang, dia selalu pulang ke kosnya dengan tidak semangat. Nara
juga berulang kali memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena dia tidak mau menjadi beban
keluarga jika sampai ketahuan hamil. Dia juga tidak mau membuat nama baik keluarga Rendi
menjadi jelek hanya karena harus bertanggung jawab kepada Nara.
Seharian penuh, dia menjalani kuliah, dia juga hanya bisa makan mie instan karena uang
sakunya menipis. Dia lebih sering menggunakan uangnya untuk pergi bersama dengan Rendi
dan makan berdua. Meski dari keluarga terpandang, namun orang tua pria itu sebenarnya
sudah hancur dan Rendi merupakan korban keluarga broken home.
Sampai di kontrakkan, Nara sendirian di dalam kontrakkan karena teman-teman kontrakannya
sedang mengurus kegiatan di kampus. Mereka masih bersemangat karena belum masuk ke
mahasiswa semester akhir.
Nara menghubungi kekasihnya itu, dan ternyata tidak ada jawaban sama sekali. Alhasil
membuat Nara hanya bisa diam saja di dalam kamarnya sembari mengerjakan beberapa tugas
yang menumpuk. Jika dikata dia kuat atau tidak menjalani semua ini, dia akan langsung
menjawab tidak kuat dan ingin menyerah secepat mungkin. Namun, rasa bersalah kepada anak
yang tidak bersalah dalam kandungannya itu tidak bisa dia hilangkan dengan mudah.
Di sela-sela dia mengerjakan tugas, dia mendapatkan tamu yang datang dan mengetuk pintu
kontrakkan. Nara langsung keluar dan menemui orang tersebut.
“Iya?” Nara membuka pintu kontrakannya dan melihat seorang pria berdiri di depan kontrakkan.
“Loh, kamu ngontrak di sini?” tanya pria itu seakan mengenal Nara, sedangkan Nara sama
sekali tidak ingat pria itu.
“Maaf, siapa ya?” Nara sedikit takut karena dia di kontrakkan sendirian.
“Tadi kita ketemu waktu kamu jatuh.” Pria itu menjelaskan apa yang tadi terjadi dan siapa
dirinya.
“Oh, yang tadi mau nolongin saya tapi nggak jadi ya?” Nara mulai mengingat pria itu.
“Iya, kamu baik-baik aja, kan?” Pria itu justru malah basa-basi dengan Nara.
“Baik, Kak. Ada apa datang ke sini?”
“Ini, aku disuruh kasih ini ke rumah yang ini. Kebetulan pak kos sedang mengadakan syukuran,
sepertinya kontrakkan kita dikelola oleh orang yang sama,” pungkas pria itu sembari
memberikan bingkisan roti kepada Nara.
“Oh, makasih ya, Kak.”
“Kenalin, namaku Gibran. Kamu siapa?” Pria itu justru dengan mudahnya mengajak Nara kenalan.
“Nara, Kak. Salam kenal.”
Setelah menjabat tangan Nara, Gibran justru melihat ke arah perut Nara yang sudah membesar.
Hal itu membuat Gibran mengernyitkan keningnya dan sedikit aneh. Namun, dia hanya bisa
menerka-nerka saja tanpa berani bertanya. Nara justru semakin risih jika dilihat seperti itu. Dia
langsung melepaskan jabatan tangan Gibran dan berpamitan.
“Kalau gitu, saya permisi dulu.” Nara langsung menutup pintu kontrakan karena takut. Meskipun
kelihatannya tidak sopan, tapi dia tidak peduli dan tetap menutup pintu kontrakkan.
Ia meletakkan bingkisan di meja ruang tengah dan kembali ke kamarnya. Nara lebih suka
menghabiskan waktu untuk mengurung dirinya sendiri. Dia juga memiliki sedikit trauma dengan
pria lain. Jadi, dia sama sekali tidak berani bertingkah dengan pria lain. Nara masih mencoba
untuk menghubungi kekasihnya, namun sama sekali tak ada jawaban.
Hal itu membuat Nara sedikit kesal dan memutuskan untuk tidur saja.
Malam harinya, Nara baru terbangun dari tidurnya tepat pukul 7, dan Rendi sudah membalas
pesan Nara. Ia berkata jika dia sudah berada di depan kontrakkan.
Nara langsung keluar menemui kekasihnya itu.
“Kamu dari tadi nunggunya? Kenapa nggak langsung masuk aja?” tanya Nara.
“Aku malu, lagian aku juga baru aja sampe kok. Jadi makan bareng?” Rendi langsung
menanyakan perihal makan malam.
“Ya udah aku siap-siap dulu ya, sebentar.”
Nara yang tadinya kesal karena pesannya tidak dibalas seharian pun berubah menjadi senang
karena tiba-tiba kekasihnya datang. Nara memang sering sekali mentraktir makanan karena dia
tahu, di rumah Rendi bukan seperti rumah bagi dirinya sendiri. Rendi berasa seperti tamu dan
merasa tidak enak hati dengan ibu tirinya.
Setelah Nindy siap, mereka pun pergi untuk makan malam. Namun, sedari tadi dia mencium
bau yang cukup aneh di jaket Rendi. Dia familiar dengan baunya tapi tidak tahu apa itu. Sampai
makan malam berakhir pun dia masih berusaha mencari tahu bau apa itu.
Saat di motor, Rendi justru membahas perihal kehamilan Nara.
“Perut kamu makin gede loh, Sayang,” celetuk pria itu.
“Iya, ya beginilah. Aku juga nggak tahu harus bagaimana lagi. Aku cuma bisa pasrah aja,” ucap
Nara.
“Aku nggak mau beasiswa aku hilang gara-gara nikah duluan,” ucap Rendi yang sudah
ketakutan jika kehilangan pendidikannya. Hal itu sedikit membuat Nara sedih, namun, sebagai
wanita yang kuat dan lebih tua dari Rendi, dia berusaha sekuat mungkin menenangkan Rendi.
“Nggak bakal sayang. Aku nggak bakal setega itu sama kamu loh.” Nara masih mementingkan
kekasihnya sendiri.
“Tapi kalau orang tua kamu tahu gimana? Bukannya aku harus nikahin kamu?”
Hal itu terdengar seperti Nara memaksa Rendi untuk menikahi wanita itu, padahal itu memang
hal yang harus dilakukan oleh Rendi sebagai bentuk tanggung jawab pria.
“Pikir besok, Sayang. Belum tentu terjadi juga kok, aku bakal berusaha biar kamu nggak
terlibat.” Hanya sebatas itu saja Nara bisa menenangkan kekasihnya.
“Kamu mau lakuin apa?” Rendi sedikit penasaran.
“Udah, pokoknya kamu percaya aja sama aku. Aku janji bakal nyelesain sendiri kok,” ucap
Rendi.
“Kamu jangan aneh-aneh ya, aku nggak mau kamu kenapa-kenapa.” Perkataan itu saja sudah
membuat Nara sangat bahagia dan memeluk Rendi dengan erat di motornya.
Nara pun diantrakan sampai ke kontrakkan dan Rendi segera pergi karena dia mau pergi ke
warnet. Kala itu dia suka bermain game online yang ada di pc dan cukup ketagihan. Rendi
berpamitan kepada Nara dan meninggalkan Nara.
Namun, saat ia akan masuk ke dalam rumah, Nara justru baru mengingat bau yang ada di
pakaian Rendi.
“Eh? Kayaknya ini bau parfum cewek bukan sih?” gumam Nara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments
ℳ𝒾𝒸𝒽ℯ𝓁𝓁 𝒮 𝒴ℴ𝓃𝒶𝓉𝒽𝒶𝓃🦢
lho nara ganti nama jadi nindy
2023-09-17
1
Ⓤ︎Ⓝ︎Ⓨ︎Ⓘ︎Ⓛ︎
toxic banget Nara hubungan lo ama sirendi
2023-09-16
1