Hari berlalu begitu cepat, di mana Nara dan Rendi mulai terbiasa dengan kehidupan mereka sebagai suami istri. Rendi sudah terbiasa dengan kehidupannya, awalnya dia nampak canggung, namun, lama kelamaan dia semakin terbiasa dan terbuka dengan Nara. Rendi melakukan aktivitas sama seperti yang ia lakukan di rumah sendiri. Di akhir Desember, Nara sudah mulai libur kuliah, sedangkan Rendi masih banyak kegiatan yang harus diurus sebagai ketua BEM. Nara melakukan pekerjaan rumahnya, seperti mencuci pakaian mereka, belajar masak, hal apa yang bisa dilakukan untuk membuat bayi tumbuh menjadi sehat, dan pekerjaan rumah lainnya. Hari perkiraan lahirnya tepat di tanggal 28 desember 2018, dan sekarang sudah tanggal 27 Desember, hal itu membuat Nara semakin was-was jika sewaktu-waktu ia lahiran.
“Sayang, besok hari perkiraan lahirnya. Kamu nggak kemana-mana kan?” tanya Nara sembari menyetrika pakaian yang akan dikenakan oleh Rendi.
“Besok hari sabtu kan? Kayaknya sih aku ada acara sebentar, setelah itu aku langsung pulang kok,” ucap Rendi.
“Ya udah, hati-hati ya. Boleh aku telpon kamu kalau nanti atau besok urgent?” Nara memastikan suaminya siap siaga apapun yang terjadi.
“Iya, telpon aja.” Rendi mengenakan almamater yang baru saja disetrika oleh Nara. “Baik-baik di rumah, ya?”
“Iya sayang.”
Sebelum berangkat, Rendi mencium kening wanita itu dan Nara juga mencium punggung tangan Rendi. Mereka sudah seperti suami istri yang menjalin hubungan selama bertahun-tahun.
Hari ini, Rendi harus mendatangi rapat, di mana mahasiswa akan melakukan demo di universitas, mulai dari apa yang harus dibicarakan, dan bagaimana agar tidak menimbulkan kerusuhan, mereka harus berpikir dan bekerja sama.
Saat sedang beristirahat di kampus, tiba-tiba seorang wanita mendekati Rendi dan duduk di sebelah Rendi yang sedang merokok di luar.
“Gimana rasanya jadi ketua BEM?” tanya wanita dengan rambut curly berwarna cokelat itu.
“Oh, Adel ya? Sebenernya cukup susah juga sih, ini pertama kalinya buat aku. Tapi, mengingat perjuanganku selama ini dan aku bisa sampai di sini, tentu masalah seperti ini bukan hal yang besar untukku,” ucap Rendi sembari menatap pepohonan yang ada di kampus.
“Syukur deh kalau gitu. Aku sempet nggak yakin sama kamu loh.” Adel memulai pembicaraan di antara mereka berdua.
“Oh ya? Kenapa gitu?” tanya Rendi yang penasaran dengan ucapan Adel barusan.
“Kukira kamu cuma bisa tebar pesona aja. Aku mengakui kalo kamu tuh cakep, baik, kukira kamu nyalon ketua BEM dengan modal tampang doang. Ternyata kamu ahli juga dalam urusan organisasi.” ucap Adel kepada pria itu.
“Ha ha ha, bisa saja. Aku memang sudah lama ingin menjadi ketua BEM. Kulihat keren aja bisa bawa nama baik universitas dan turun ke jalan.” Rendi mulai nyaman bicara dengan wanita yang ada di sebelahnya itu.
“Yah … aku juga sebenernya nggak begitu pingin banget jadi aktivis di kampus sih. Tapi, banyak banget senior yang merekomendasikan aku buat jadi sekretaris. Jadi, yaudah deh, lumayan bisa sering bolos kuliah.” Adel pun ikut duduk di sebelah Rendi dan menikmati pemandangan kampus bersama-sama.
“By the way, kamu udah punya pacar belum?”
DEG!
Mendengar pertanyaan seperti itu, jelas membuat Rendi bingung harus menjawab apa. Dia harus menjaga citranya sebagai ketua BEM. Jika ketahuan siapa kekasih Rendi, maka akan banyak rumor tersebar dan mulai mencari tahu soal Nara. Hal itu pasti akan cukup sulit untuk Rendi nantinya. Tentunya bisa membuat beasiswa Rendi tercabut karena hal itu.
“Emang kenapa?” Rendi berusaha untuk membahas hal lain.
“Penasaran aja. Cowok seganteng kamu, punya pacar nggak sih? Atau bahkan yang ganteng pun juga tetep jomlo?” goda Adel.
“Emang cowok cakep harus punya pacar?” Rendi semakin terpancing dengan ucapan Adel dan memulai memutuskan untuk berbohong demi kebaikannya sendiri.
“Baiknya ada yang nemenin, biar kamu ada yang ngerawat dan selalu tampil ganteng setiap harinya.” Adel seperti sedang memberikan kode kepada pria itu. Perasaan Rendi mulai tidak enak, pembahasan seperti ini tidak seharusnya dia bicarakan saat ini. Secara tidak langsung, Adel sedang menggoda Rendi dan memintanya menjadi kekasih.
“Kalau kamu punya pacar?” tanya Rendi. Adel terdiam sejenak dan tersenyum kecil.
“Belum, aku lagi males banget punya cowok. Tapi kalau sama kamu nggak papa kok,” goda Adel.
“Tuh kan! Dia sengaja goda!” batin Rendi.
“Apaan sih, basi. Jangan suka godain deh, banyak kok cowok yang mau sama kamu. Kalau kamu jadian sama aku nih ya, kamu nggak bakal bisa sering pergi sama aku. Aku banyak habisin waktu di kampus, bahkan langsung pulang ke rumah kalau kuliah udah selesai. Udah gitu, pasti nggak ada waktu buat jalan deh,” ucap Rendi yang sengaja mengucapkan kejelekannya agar wanita itu menjauh.
“Kan tiap hari bisa ketemu, aku lihat kamu dari jauh juga udah cukup kok.” Adel seakan masih terus menggoda Rendi.
Rendi pun menghela nafas panjang dan tersenyum kecil, jujur saja ini adalah kali pertama ia bicara dengan Adel, karena sebelumnya ia tidak pernah bicara dengan Adel kecuali saat rapat sedang berlangsung. Namun, Rendi sadar jika Adel selalu menatap Rendi dan nampak tertarik kepada Rendi. Namun, Rendi berusaha mengabaikan karena masih ada hati yang harus dia jaga.
Rendi membuang puntung rokok dan menginjaknya, sebelum ada yang mengetahui hal tersebut. Tiba-tiba, ponselnya berdering dan terlihat Nara menelponnya. Rendi langsung membelalakkan matanya. Jika Nara sampai menelpon, pasti ada hal yang sangat penting, sedangkan ia mau mengangkat telepon tapi masih ada Adel di sebelahnya.
“Siapa tuh?” Adel penasaran dan melirik ponsel Rendi. Dengan cepat, Rendi langsung menyingkirkan ponselnya dari sisi Adel. “Ayo balik, biar bisa cepet pulang.” Rendi beranjak dari tempat ia duduk, namun ditahan oleh Adel.
“Kamu nolak aku?” tanya wanita itu dengan tiba-tiba.
“Maaf, Adel. Saat ini aku masih belum mau pacaran atau punya cewek dulu, soalnya masih banyak yang harus kukerjakan dan aku nggak mau fokusku terpecah,” ucap Rendi yang berusaha untuk bicara baik-baik dengan wanita itu.
“Yah … sedih banget. Belum nembak udah ditolak.” Wanita itu nampak murung saat ia berucap seperti itu.
Merasa bersalah kepada Adel, Rendi pun menjadi iba dan mengusap kepala Adel dengan lembut.
“Jangan sekarang, ya. Syukur-syukur kamu bisa langsung move on, buat apa nungguin cowok nggak jelas kaya aku sih? Jangan patah semangat ya! Kamu harus terus maju dan fokus terhadap apa yang kamu cita-citakan.” Rendi menyemangati wanita itu.
“Kalau gitu, aku bisa coba lagi dong?” Mendengar hal itu, Rendi hanya tersenyum kecil dan mengacak-acak rambut wanita itu, lalu pergi dari hadapan Adel tanpa menjawab pertanyaan Adel. Adel yang merasa ada lampu hijau untuknya, langsung merasa senang dan bahagia karena dirasa memiliki kesempatan langka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments