Hubungan yang selama ini membuat Nara bahagia pun seketika kandas hanya karena sebuah pengkhianatan yang dia sendiri tidak menduganya. Setelah pertengkaran itu, Nara masih berusaha menerima Rendi meskipun hatinya sering sakit. Hari itu adalah hari terakhir mereka bertemu. Sampai akhirnya Nara pergi ke Yogyakarta selama 2 hari, lalu kembali ke Temanggung untuk pulang ke rumahnya. Sepanjang itu, dia hanya berkomunikasi lewat whatsapp saja, itupun hanya bicara seperlunya saja. Nara sudah tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan hubungan mereka berdua. Dia mau selingkuh silakan, mau tetap mencintai Nara juga silakan.
Saat Nara sedang berada di kasurnya, tiba-tiba ibu dan ayahnya masuk ke dalam kamar dengan raut wajah yang sedikit serius, Nara langsung menutupi perutnya dengan bantal dan duduk menyambut mereka berdua.
“A-ada apa, Bu? Ayah?” Jantung Nara sedikit berdegup dengan kencang kala dia harus melihat kedua orang tuanya. Ibunya Nara langsung mengambil bantal yang dipegang oleh Nara dengan raut wajah yang nampak marah dan kesal.
“Kamu hamil, ya?!”
DEG!
Sebuah pertanyaan yang sama sekali tidak ingin didengar oleh Nara, selama ini dia takut sekali jika suatu saat nanti kehamilannya akan ketahuan oleh kedua orang tuanya. Sepertinya inilah saatnya hal itu terjadi.
“Maksudnya apa, Bu?” Nara masih berusaha untuk pura-pura tidak tahu tentang apa yang diucapkan oleh ibunya itu.
“Jawab jujur, Nara. Kamu hamil, kan? Coba sini ibu lihat!”
Wanita itu langsung mendekati Nara dan mencoba menyentuh perut Nara, namun, Nara menolak dan bahkan menepis tangan ibunya sendiri agar tidak bisa menyentuh perutnya. Dari reaksi Nara, orang tua Nara jelas tahu apa yang terjadi kepada putrinya itu.
“Siapa yang melakukan ini ke kamu?!” Sang Ayah juga nampak emosi dengan apa yang sudah disembunyikan oleh Nara. Namun, Nara hanya bisa diam saja dan tidak berani menjawab apapun yang dikatakan oleh ayahnya.
“Kamu pasti mikir kan, gimana ibu bisa tahu? Perut kamu tu makin besar, Nara! Mana mungkin ibu sama ayah nggak tahu kalau kamu itu hamil! Kenapa kamu menyembunyikan semuanya sih? Udah berapa bulan kandungan kamu itu?” Pertanyaan yang mengintimidasi Nara pun terdengar menakutkan di telinga Nara.
“Mungkin 8 bulan sekarang.” Nara menjawab dengan mata yang berkaca-kaca dan berulang kali menggigit bibirnya untuk mengatasi ketakutannya.
“Astaghfirullah, Nara.” Suara kekecewaan kedua orang tua Nara terdengar jelas di telinga Nara hingga membuat bulu kuduk wanita itu berdiri dan ketakutan.
“Kamu tahu nggak sih yang kamu lakuin itu dosa besar! Ini juga udah mau 9 bulan terus kamu mau gimana? Pikiran kamu itu di mana, Nara? Astaghfirullah.” Nada bicara ibunya Nara sudah bergetar, malaikat tanpa sayap itu berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis di hadapan putrinya itu.
“Siapa orangnya?” Ayahnya Nara masih saja menanyakan hal yang sama.
“Teman satu kampusku, dia satu semester denganku.” Nara menjawab sembari menundukkan kepalanya karena takut.
“Ya Allah, Nara.” Ibunya Nara tak henti-hentinya mengucapkan asma Allah.
“Orang mana? Suruh dia ke sini sekarang juga!” pinta sang ayah.
“Dia orang Semarang, Ayah. Mana mungkin dia mau ke sini.” Nara masih saja memikirkan kekasihnya itu, padahal memang seharusnya dia yang bertanggung jawab.
“Kalau dia sayang sama kamu, seharusnya dia mau datang ke sini, apapun yang terjadi, Nara!” Ayahnya Nara sudah mulai mengeluarkan nada tinggi dan tatapan matanya nampak marah. Suasana seketika menjadi hening, dan yang ada hanyalah helaan nafas mereka yang berusaha untuk sabar menerima semua ini. Membuat Nara semakin takut, namun, dia masih berusaha untuk tidak menangis di hadapan mereka berdua. Dia tidak ingin membuat suasana menjadi semakin runyam.
“Pokoknya, ayah sama ibu nggak mau tahu. Dia harus ke sini sekarang juga kalau dia memang mau bertanggung jawab. Tapi kalau nggak mau datang ke sini, ibu sama ayah lepas tangan. Terserah kamu aja mau gimana nanti kedepannya, dia jadi nggak punya bapak, atau gimana, ibu sudah nggak peduli lagi.” Ibunya Nara nampak sudah pasrah dengan apa yang terjadi.
“Aku bakal bilang sama Rendi, Bu.” Jawaban Nara itu membuat mereka berdua langsung pergi dari hadapan Nara sembari berucap, “Semua sekarang terserah sama kamu, Nara. Ibu sama ayah udah nggak bisa bantu apa-apa kalau sampai cowok itu nggak mau datang ke rumah.” Nara yang mendapati tekanan seperti itu pun langsung menangis sejadi-jadinya kala mereka keluar dari kamar. Ia berusaha menahan isak tangisnya agar tidak terlalu kencang. Dengan cepat, Nara langsung memberikan pesan kepada Rendi.
[Sayang, kamu sibuk?] Nara mengirimkan pesan awal kepada Rendi.
[Nggak, kenapa sayang? Kamu kapan ke sini?] Pria itu membalas dengan penuh harap.
[Orang tua aku tahu kalau aku hamil, aku bilang kalau kamu yang melakukannya kepadaku. Lalu, mereka mau kamu datang ke sini sekarang juga kalau memang kamu mau bertanggung jawab.]
Mendapati pesan seperti itu, Rendi langsung menelpon Nara. Ia mengangkat telepon pria itu dengan nada bicara yang nampak bersedih, namun dia masih berusaha kuat.
[“Nara, kamu nggak lagi bercanda kan?”] tanya pria itu dengan nada bicara yang sedikit panik.
“Iya, orang tuaku baru selesai bicara tadi. Dia minta kamu datang ke sini sekarang kalau emang kamu beneran mau serius dan bertanggung jawab.”
[“Astaga.”] Pria itu semakin bingung dan tidak tahu harus melakukan apa. Namun, sisi pria di dalam dirinya itu berkata untuk pergi saja ke sana.
“Rendi, kalau kamu emang nggak mau bertanggung jawab nggakpapa kok, aku nggak pernah maksa kamu buat tanggung jawab, kalau kamu mau bertanggung jawab, datanglah. Tapi kalau nggak mau bertanggung jawab, nggakpapa Rendi. Artinya, hubungan kita besok sudah bukan sepasang kekasih lagi, dan bayi ini bukan anak kamu.” Nara tidak bermaksud mengancam pria itu. Dia hanya membicarakan apa yang sebenarnya terjadi.
Pria itu terdiam sejenak, namun terdengar ia banyak kali menghela nafas panjang.
[“Apa kalau aku menikahi kamu, hidup kita akan berubah, Nara? Aku lebih takut jika aku tidak bisa menjadi suami yang baik buat kamu,”] ucap pria itu di dalam telepon.
“Aku juga belum tentu bisa jadi istri yang baik, Rendi. Namun, aku akan mengusahakannya. Aku tidak akan menyerah dan tetap mengusahakan yang terbaik untuk hidup kita berdua.” Nara seakan sudah memiliki gambaran perihal masa depan yang akan terjadi jika semua yang dia sembunyikan terungkap.
[“Menurutmu, apa orang tuaku akan marah kepadaku?”] Rendi kembali mengutarakan ketakutannya.
“Jika aku boleh jujur, tentu mereka akan kecewa, sedih. Kembali lagi ke keputusan kamu, Rendi.” Nara pun hanya bisa pasrah dengan situasi saat ini, dia hanya bisa berharap kepada Rendi yang entah akan datang atau tidak.
Mereka pun terdiam sejenak dan tak berkata apa-apa lagi.
[“Baiklah, Nara. Aku menuju ke sana sekarang.”]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments