Gibran mendekat ke arah Nara, bahkan jarak antara wajah mereka hanya tersisa beberapa senti saja, Nara pun berusaha menghindar dengan menoleh ke samping agar tidak lagi bertatapan dengan pria itu. Gibran memegang dagu Nara hingga mata mereka kembali saling bertemu.
“Kamu beneran sayang sama Rendi?” Pertanyaan dari pria itu langsung membuat Nara terkejut dan berpikir. “Apa maksudnya?” tanya wanita itu.
Gibran menjauh dari Nara dan menatap ke arah layar, lalu melipat kedua tangannya.
“Raut wajahmu menunjukkan bahwa kamu tertekan dengannya. Apa itu hanya firasatku saja?” tanya Gibran.
Nara yang masih tersudutkan di tembok pun memposisikan dirinya dengan baik dan menghela nafas panjang, karena dia masih terkejut dengan apa yang barusan terjadi. Ia mengira jika Gibran akan menyukai Nara.
“Itu hanya firasat Kak Gibran saja. Aku tidak merasa begitu.”
“Panggil saja Gibran. Aku risih mendengar kamu memanggilku dengan sebutan seperti itu terus,” ucap pria itu.
Nara harus beradaptasi dengan nama sebutan yang baru. Cukup sulit, namun dia tetap berusaha untuk melakukan apa yang dikatakan oleh pria itu.
“Kenapa kamu melakukan ini kepadaku?” tanya Nara.
“Melakukan apa? Kamu tidak nyaman?” Gibran menengok ke arah Nara sembari menaikkan sebelah alisnya.
“Bukan … maksudku, kenapa mengajakku kemari?” Nara mengubah pertanyaanya yang rancu barusan.
Gibran melirihkan musiknya hingga mereka bisa bicara berdua sembari mendengarkan beberapa instrumen musik.
“Aku melihatmu selalu murung dan was-was. Aku penasaran, apa yang membuatmu bisa sampai berakhir seperti itu. Hubunganmu dengan Rendi juga tidak ada orang yang tahu, kan? Kulihat Rendi begitu populer sebelum jadi ketua BEM. Aku yakin kamu pasti tidak baik-baik saja,” urai pria itu seakan tahu segalanya.
“Kamu memata-mataiku?” tunjuk Nara ke arah Gibran.
“Enak saja! Kalian saja yang selalu berlalu lalang di depanku! Dunia sepertinya terasa seperti milik kalian berdua sampai kalian tak pernah menyadari kehadiranku! Dasar bucin!” ketus Gibran yang telah memberikan fakta yang sebenarnya. “Makan gih! Makan yang banyak biar nggak badmood!” tukas pria itu.
Nara melihat ke arah meja yang ada di depannya, dan terlihat ada banyak sekali camilan yang dipesan oleh Gibran dan juga soda. Untungnya Nara memesan minuman yang lain.
“Kak Gibran nggak perlu mikirin aku.” Nara berucap sembari menundukkan kepalanya.
“Sudah kubilang jangan pakai—”
“Tolong jangan pernah menyukaiku! Karena aku ini bukan wanita baik-baik dan sama sekali tidak pantas untuk didekati oleh pria baik seperti kamu!” Wanita itu sedikit berteriak karena emosinya mulai tidak stabil.
Gibran yang diperlakukan seperti itu tidak bergeming sedikitpun, karena ia tahu betul jika Nara pasti memendam semuanya sendiri dan baru bisa diungkapkan sekarang.
“Maaf.” Setelah berucap seperti itu, Nara sendiri justru meminta maaf kepada Gibran.
Melihat wanita itu yang justru terlihat semakin kalut dalam emosinya, Gibran mengusap kepala Nara dengan lembut.
“Tidak apa, Nara. Luapkan saja, aku akan mendengarkannya.” Usapan tangan itu membuat Nara langsung terdiam dan menitihkan air matanya. Selama ini dia banyak sekali memendam perasaan yang ada dan belum pernah bisa ia sampaikan. Apalagi semenjak kehadiran bayi di dalam kandungan Nara membuat dirinya jadi lebih emosional lagi.
Tanpa disadari, Gibran menatap ke arah perut Nara dan menyadari ada sesuatu yang tidak beres, ada rahasia lain yang masih disembunyikan. Namun, Gibran tidak ingin memojokkan terlalu jauh, ia menunggu sampai wanita itu mau bicara.
Waktu satu jam terakhir mereka habiskan untuk menyanyikan lagu favorit mereka, Nara yang tadinya tidak mau bernyanyi, lama kelamaan menikmati sampai kehabisan suara. Gibran nampak senang karena setidaknya beban wanita itu berkurang meski sedikit.
Setelah dua jam berkaraoke, mereka pun keluar dari tempat itu dan menuju ke parkiran, Nara terlihat sudah jauh lebih baik dan terlihat lebih bersemangat dari sebelumnya. Ia nampak senang melihat ke beberapa toko dan banyak tingkah, membuat Gibran tertawa melihat wanita itu bahagia.
Hingga Nara mengajak Gibran masuk ke toko assesoris.
“Aduh, bagus-bagus banget di sini! Aku bisa kalap kalau nggak bisa ngontrol uangku!” pungkas Nara sembari memegang beberapa kalung dan anting.
“Kamu mau beli semua itu?” tanya Gibran.
“Jangan serakah, serakah itu tidak baik, beli saja satu yang penting dan akan digunakan!” Nara bertekad dan memilih anting dengan bentuk lumba-lumba. “Oh! Ini bagus juga buat kamu!” Ia mengambil satu tindik dan memperlihatkannya ke Gibran.
“Eh? Kamu aja yang beli, aku mah punya banyak yang begini!” Wajah Gibran memerah kala Nara menunjukkan assessoris yang menurutnya cocok.
“Iya? Kalau gitu aku beli gelang ini aja ya? Dua deh! Aku satu, kamu satu, aku yang traktir!” ucap Nara dengan penuh semangat.
“Ta-tapi…”
“Aku bayar~” Dengan riang gembira Nara menuju ke kasir.
“Aduh, Nara.” Pria itu sampai kewalahan mengatasi kebahagiaan wanita itu.
Pada akhirnya Nara membeli gelang yang serupa dengan milik Gibran, dengan harapan, Gibran akan menyimpan pemberian Nara.
Saat selesai membayar dan akan keluar dari toko itu, tiba-tiba seseorang menabrak Nara sampai terjatuh. Gibran dengan sigap langsung menangkap wanita itu. Kepala Nara hampir saja menabrak tembok, namun, berhasil dicegah oleh Gibran dengan lengan tangannya yang besar itu.
Wajah mereka kembali bertemu, bola mata Nara yang indah membuat Gibran langsung terpesona. Namun, hal itu hanya berjalan sebentar saja, karena terasa Gibran menyentuh perut Nara.
“Ah! Maaf! Aku nggakpapa kok!” Nara langsung bangkit dan membuat Gibran sedikit terkejut. Mereka pun kembali ke parkiran dan pulang ke kontrakkan Nara. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, dan di jam 10.30 mereka sampai di kontrakan Nara.
“Terima kasih untuk hari ini, Gibran.” Nara nampak bahagia saat ia turun dari motor pria itu untuk berpamitan pulang.
“Lain kali kita pergi ke tempat lain, ya. Kalau kamu lagi badmood, call aku aja. Tadi udah aku kasih nomorku, kan?”
“Iya. Terima kasih banyak.” Saat Nara akan pergi, ia teringat dengan sesuatu. “Oh iya! Hampir lupa!” Nara merogoh tas putihnya itu dan mengambil gelang yang tadi dia beli di mall, ia memberikannya kepada Gibran.
“Simpen baik-baik buat kenang-kenangan ya. Kali aja aku bakal susah ditemuin, hehe.” Nara menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal itu.
“Kamu mau pergi?”
“Nggak kok, biar kamu jaga dengan baik pemberian dariku aja,” ucap Nara dengan senyuman yang manis.
“Makasih ya. Masuk gih! Udah malem, angin malam nggak baik buat kamu.” Gibran tersenyum dan mengusap kepala Nara dengan lembut.
Kebiasaan itu membuat Nara menjadi ketagihan dan suka, ia pun pergi dari hadapan Gibran dan masuk ke dalam kontrakan. Gibran pun baru pergi saat Nara sudah masuk ke dalam kontrakan. Memastikan bahwa Nara baik-baik saja.
Nara mengintip pria itu dari balik jendela, dan saat ia sudah pergi, Nara bergumam, “Pria yang baik. Semoga gelang itu bisa menjadi pengingat bahwa aku pernah ada di dalam hidupnya.”
Penasaran sama gelangnya?
Lucu kaan >_<
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments