Setelah merasakan hari pertama menikah yang tidak sesuai dengan ekspektasi Nara, keesokan harinya dia langsung mnegubah dan berusaha untuk membiasakan diri dengan kehidupannya yang baru. Kejadian kemarin dianggap sebuah masukan untuk Nara untuk bisa menjadi istri
yang jauh lebih baik lagi.
Di pagi hari, Nara memasak untuk suaminya sebelum dia berangkat kuliah, sebenarnya dia bisa
saja mencontoh resep makanan dari internet, namun, ternyata Nara tidak tahu dengan selera suaminya sendiri, alhasil, dia hanya masak tempe goreng dan juga sayur kangkung, itu pun
sudah dari arahan ibunya Nara yang sempat video call dengan putrinya itu. Setelah selesai
masak, Nara l pun membangunkan suaminya sampai pria itu benar-benar bangun.
Mulai dari menggoyangkan tubuhnya perlahan, mencium dengan lembut, bahkan mengusap pipinya perlahan, masih saja pria itu susah untuk membuka matanya.
“Sayang, bangun yuk. Kamu kuliah jam 9 kan? Ini udah jam 8 loh,” ucap Nara.
“Iya.” Pria itu hanya menjawab singkat dengan mata yang terpejam.
“Lah? Dia ngomong gitu sadar nggak ya?” gumam Nara.
Nara pun meninggalkan Rendi untuk pergi mandi, selama Nara berlalu lalang ke kamar, dia
selalu berusaha untuk membangunkan suaminya meskipun sedikit susah. Bahkan sampai Nara makan di sebelah pria itu sembari menyantap masakan yang sudah dia buat.
“Sayang, kamu yakin nggak mau bangun? Aku udah masakin buat kamu loh.” Nara masih berusaha untuk membangunkan pria itu.
“Iya, ini bangun.” Rendi pun berusaha untuk membuka matanya, lalu bersandar di tembok.
Nara
pun tersenyum dan lansung pergi ke belakang untuk cuci piring, lalu bersiap untuk pergi.
“Aku pergi ke kampus dulu ya? Kamu masuk jam 9 kan? Aku juga udah masak, sarapan dulu
ya,” ucap Nara sembari dandan dan bersiap untuk pergi dengan membawa tasnya yang
berwarna putih.
“Nanti pulang mau mampir ke mana?” tanya Rendi dengan muka bantalnya itu.
“Kayaknya mau pergi sama Tia. Kemarin pasti dia minta penjelasan kenapa aku pergi tiba-tiba
dari dia. Jam 3 udah di rumah kok.” Nara berusaha untuk meyakinkan suaminya itu.
“Ya udah, hati-hati ya. Kabari kalau mau pulang.” Rendi pun beranjak dari kasur dan mencium kedua pipi Nara. Ternyata hari ini tidak seburuk kemarin, sepertinya akan jauh lebih baik lagi
dari sebelumnya.
Nara pun pergi dengan berjalan kaki, sampai di kampus, ternyata masih sama seperti hari kemarin, Gibran ada di tangga yang sama dan jam yang sama, ia bahkan celingukan seperti
mencari seseorang. Memang beberapa hari ini Gibran selalu memberi pesan kepada Nara.
Namun, pesan Gibran diarsipkan dan diabaikan oleh Nara.
“Seriusan dia nunggu aku? Atau dia cuma kebetulan ada di situ sih? Bikin penasaran deh.” Nara masih sedikit penasaran dengan sikap pria itu.
Hingga Nara memilih mencari jalan lain dan pergi begitu saja. Namun, saat selesai kuliah, Nara melihat pria itu masih ada di sana, meskipun sepertinya baru sampai. Dia memperhatikan adik kelas yang baru turun dari tangga, seakan mencari seseorang. Karena penasaran, Nara pun terdiam sejenak dan membiarkan semua orang lewat lebih dulu, hingga sudah pergi semua, terlihat Gibran masih mencari seseorang, dan saat itu lah mata mereka saling bertemu karena Gibran menghadap ke atas untuk mencari orang yang sedari tadi ia tunggu. Nara langsung
pergi dan berlari memutari gedung untuk lewat tangga yang lainnya dengan nafas yang
terengah-engah dan jantung yang masih berdegup kencang karena kaget.
Namun, tiba-tiba seseorang menarik lengan Nara.
“Nara! Kamu sengaja menghindar ya?” Gibran memegang lengan wanita itu dan membuat Nara langsung terdiam mematung. Ia tak mendengar langkah kaki sedikit pun, namun pria itu sudah berada di belakangnya? “Kamu marah sama aku?” lanjut pria itu.
Karena sudah ketahuan, mau bagaimana lagi, dia pun melihat ke arah Gibran dengan penuh
rasa bersalah dan menundukkan kepalanya.
“Maaf, belakangan ini aku sibuk banget,” ucap Nara dengan penuh rasa bersalah dan ia berbohong.
“Kenapa nggak bales WA aku?” Gibran masih menanyakan hal yang janggal.
“A–aku jarang buka hp.” Nara masih terus mencari alasan.
“Tapi status WA jalan terus ya? Sebegitunya kamu pingin menghindar dari aku?” Gibran
memegang kedua tangan Nara. Perasaan wanita itu justru malah jadi semakin campur aduk, karena sebenarnya dia tidak berniat seperti itu.
“Maaf.” Nara hanya bisa berucap maaf.
Gibran melihat perut Nara yang semakin membesar dan terus membesar, hal itu membuat pria
itu menghela nafas panjang.
“Kalau ada masalah, cerita, Nara. Aku danger dari Tia kamu udah nggak ngontrak di tempat
yang kemarin lagi? Kenapa?” Gibran ternyata juga masih memiliki banyak pertanyaan yang menurutnya sangat janggal. “Ada masalah sama Rendi ya?”
“GIBRAN!” bentak Nara dengan tiba-tiba.
Bentakan itu membuat Gibran terkejut dan terbelalak, baru kali ini Nara terlihat berbeda dari sebelumnya. Nara memalingkan wajahnya ke samping karena ada sedikit rasa bersalah.
“Tolong jangan ganggu aku lagi. Aku nggak mau sampai Rendi lihat kita berdua. Dia pasti bisa salah sangka dan aku pasti bisa dapet masalah sama dia.” Nara berusaha menenangkan
dirinya lebih dulu.
Gibran melepaskan kedua genggaman tangannya dari tangan Nara, hal itu membuat Nara
menjadi semakin merasa sepi dan sedih.
“Okey, maaf karena aku terlalu khawatir sama kamu. Kamu pasti nggak nyaman. Aku cuma pingin tau kabar kamu aja, kenapa sampai kamu pindah, kamu nggak pernah cerita ke
siapapun, pasti sakit rasanya.” Gibran berusaha memberikan pengertian kepada Nara
“Itu bukan urusan kamu.”
Gibran terlihat kesal dan menaikkan satu alisnya. Ia pun lalu menghela nafas panjang.
“Jangan siksa diri kamu, Nara. Semua bakal baik-baik aja—”
Mendengar hal itu, dada Nara terasa sesak dan sakit, ia mengepalkan kedua tangannya dan merasa marah dengan situasi yang sama sekali tidak dia inginkan ini.
“Apa yang baik-baik aja! Kamu kira aku kuat ngejalanin semuanya? Sampai saat ini aku ngerasa kalau aku berjuang sendiri buat hidupku, aku ngerasa semua nggak adil buat aku!
Kenapa sih harus aku yang ngalah dan ngejalanin semua ini sendiri! Aku salah apa? Aku berusaha mati-matian
buat nyembunyiin biar nggak ada orang yang tau kalau aku hamil anaknya Rendi!”
Emosinya tidak stabil, hingga membuat Nara mengeluarkan semua yang dia tahan selama ini.
Untung lorong saat itu begitu sepi, karena lantai 3 merupakan tempat yang jarang dikunjungi
juga.
Melihat respon Nara seperti itu, Gibran langsung ikut merasa emosi. Sebenarnya dia sudah
tahu dari awal, namun, melihat Nara menderita seperti itu jelas membuatnya tidak terima.
Nara menitihkan air mata kala melihat Gibran hanya terdiam saja mendengar ucapan Nara.
“Nara, jangan seperti—”
“Aku baik-baik saja. Maaf karena sikapku barusan. Semoga kamu bisa mengerti."
Nara pun pergi dari hadapan pria itu sembari menangis sesenggukkan, ia sedikit lega karena
bisa mengutarakan semuanya kepada orang lain, karena selama ini dia memendam semuanya sendiri.
Namun, sialnya dia harus memberitahukan rahasia besar itu kepada GIbran. Artinya, dia harus
melakukan sesuatu agar Gibran tidak melakukan hal yang bisa membuat masa depan Rendi
hancur.
Nara pun terus berlari hingga sampai ke belakang gedung kampus dengan nafas
terengah-engah. Ia duduk di sebuah bangku yang ada di bawah pohon dan mengusap air
matanya.
“Bodoh, Nara. Kenapa kamu jadi emosian gini sih?” gumam Nara dengan sangat menyesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments