Di rumah, Nara merasa perutnya sedikit kram setelah dia beres bersih-bersih dan juga mencuci baju. Nara langsung mengambil ponselnya dan menelpon Rendi. Namun, sudah 2x ditelpon tetap tidak diangkat, hal ini membuat Nara sedikit panik. Dia harus bagaimana? Nara juga tidak mungkin menelpon kedua orang tuanya, karena mereka pasti panik dan akan menyalahkan Rendi nantinya. Keringat dingin pun keluar dari wajah Nara.
Ia membuka ponselnya dan mencari beberapa kontak yang bisa dia hubungi, lalu melihat nama Gibran. Tanpa pikir panjang, ia langsung menelpon Gibran.
Setelah lama berdering, ternyata Gibran mengangkat teleponnya.
[“Halo, Nara?”] tanya Gibran dengan nada yang sedikit penasaran.
“Gi–Gibran! Kamu sibuk? Aku boleh minta tolong?” ucap Nara yang berusaha untuk bersikap tenang seolah baik-baik saja.
[“Heh, kamu kenapa? Baik-baik aja kan?!”] Mendengar nafas Nara yang tersengal membuat Gibran langsung panik.
“Perut aku kram banget, aku khawatir hari ini lahirnya. Rendi juga lagi di kampus—” Belum selesai bicara, Gibran memotong pembicaraan mereka.
[“Aku ke sana sekarang, aku tahu Rendi lagi di kampus. Share lokasi kamu ya!”] pinta Gibran dengan nada bicara yang panik.
Nara mematikan teleponnya dan memberikan
lokasi kontrakannya kepada Gibran, sebenarnya ini tidak boleh dia lakukan, namun, kondisinya sedang gawat. Karena ia masih bisa menahan
sakit yang datang tidak menentu, Nara pun packing barangnya lebih dulu, sudah sejak lama sekali dia mengepak baju bayi yang sudah dibelikan oleh keluarganya Nara untuk persiapan lahiran. Hanya tinggal memasukkan barang-barang Nara saja ke dalam tas.
“Kalem, Nara. Sakitnya masih satu jam sekali kok. Mungkin emang udah pembukaan tapi belum sampai bukaan ke 9,” ucap Nara yang berusaha untuk menenangkan dirinya.
Lama kelamaan sakitnya yang tadinya satu jam sekali, tiba-tiba jaraknya semakin dekat, 40 menit sekali, 30 menit sekali, semakin dekat jarak sakitnya membuat Nara cukup khawatir.
Hingga beberapa menit kemudian, suara motor pun terdengar berhenti di depan rumah Nara.
Saat membuka pintu, ternyata Rendi sudah sampai rumah. Ia melihat Nara dengan perasaan panik.
“Kenapa?! Udah mau keluar?” tanya Rendi.
“Sakitnya udah semakin deket jaraknya,” ujar Nara yang berkeringat menahan sakitnya dan memegang perutnya terus.
“Aku ambil barang bayi dulu, sabar sebentar ya,” pinta Rendi yang juga ikut panik karena melihat istrinya merasa sakit dan terus menerus memegang juga mengusap perutnya. Nara membawa barang pribadinya sendiri, sedangkan Rendi membawa tas besar yang berisikan baju bayi dan peralatan bayi lainnya.
Setelah sudah siap, Rendi pun langsung megantar Nara ke bidan dengan menggunakan motor, tanpa Nara tahu jika Gibran sudah berada di depan pintu masuk perumahan, Gibran yang melihat Nara sudah dijemput pun merasa lega dan membiarkan Nara pergi bersama Rendi.
Namun, Gibran yang merasa tidak tenang pun mengikuti ke mana mereka pergi dan sampailah di bidan, di mana Nara sering melakukan USG. Ia turun dan langsung bertemu dokter di sana, untungnya langsung ditangani, membuat Gibran cukup lega melihatnya.
Nara dibawa masuk ke dalam ruang pemeriksaan dan diperiksa.
“Udah bukaan ketiga, kalau bisa di rawat inap sini aja, soalnya perkiraan keluar bisa malam, bajunya sudah disiapkan, kan?” tanya dokter.
“Baik, Dok.” Rendi menganggukkan kepalanya. Mendengar Nara harus dirawat, Rendi pun langsung menelpon keluarganya yang ada di rumah.
Ia tentu tidak memiliki biaya untuk mengurus kelahiran Nara.
“Pak, Nara udah di rumah sakit. Mungkin nanti malam lahiran,” ucap Rendi di telpon.
[“Oh ya? Sudah disiapkan belum? Bapak masih jualan, nanti malam baru bisa kesitu,”] jawab ayahnya Rendi.
“Iya nggakpapa, Bapak ada dana? Uangku cuma sedikit doang,” ucap Rendi.
[“Waduh, coba nanti ya. Kayaknya nggak banyak deh. 500 ribu cukup?”]
Rendi pun hanya mengiyakan saja apa yang dikatakan oleh bapaknya itu. Melihat tidak ada keberhasilan sama sekali, Rendi langsung menelpon orang tua Nara dan menjelaskan situasinya.
[“Sudah mau lahiran?! Ibu nanti ke sana setelah pulang kerja ya? Ibu transfer 2 juta buat biaya lahiran cukup?”] Ibunya Nara cukup khawatir dengan apa yang terjadi. Ia paham betul kondisi keuangan mereka yang masih dibantu oleh pihak keluarga.
“Terima kasih banyak, Bu. Sepertinya cukup kok,” ucap Rendi dengan penuh rasa bersyukur.
[“Ya sudah, nanti ibu sama ayah ke sana setelah pulang kerja. Jam 5 udah pulang kok.”]
“Iya, Bu.”
Ibunya Nara pun mematikan telpon, Rendi menghela nafas panjang dan merasa lega dengan apa yang diucapkan oleh ibunya Nara. Ternyata ibunya Nara sebaik itu dan sekhawatir itu terhadap Nara.
Rendi pun masuk lagi ke dalam ruang rawat inap. Nara terus menerus dipantau selama tiga jam sekali. Hingga jam menunjukkan pukul 8 malam, Rendi melihat Nara sudah kesakitan.
“Sakit banget, Sayang,” keluh Nara sembari memegang punggungnya yang luar biasa sakitnya.
“Sabar ya, Sayang. Maafin aku karena belum bisa jadi suami yang baik. Kamu harus terus semangat ya,” ucap Rendi dengan menggenggam erat tangan Nara.
Tubuh Nara terasa dingin sekali, terasa seperti sesuatu akan keluar di dalam ***********, membuat Nara hampir menangis karena rasa sakitnya.
"Nghh, sakit." Nara merintih kesakitan dan ia tidak bisa mengutarakan bagaimana rasa sakitnya itu. Alhasil dia hanya bisa diam saja, bahkan suara sakitnya itu semakin tidak bisa dia tahan lagi.
Rendi langsung membuka selimut yang menutup perut sampai kaki Nara, dan melihat bercak darah yang keluar. Rendi langsung panik dan lari keluar kamar untuk memanggil suster, lalu kembali lagi bersama dengan beberapa perawat dan bersiap untuk mengeluarkan bayi di dalam kandungan Nara.
Rendi langsung sigap berada di sebelah Nara, dan di dalam benak Nara, melahirkan sangatlah sakit, jadi ia merasakan sakit terus menerus. Saat bayinya akan keluar, rasa sakit itu datangnya justru setiap satu menit sekali, dan Nara diminta mengejan agar bayinya keluar, namun, hal itu cukup sulit ia lakukan karena menurut Nara sakit, dan nafasnya tersengal bahkan untuk relaks dan mengejan pun susah.
"Ayo, Nara, kamu pasti bisa melakukannya!" Rendi memberikan semangat kepada Nara dan mengusap rambut wanita itu.
Hingga Nara mengejan sekuat tenaga dan merasakan benda besar keluar dari tubuhnya, Nara pun merasa lega dan dipeluk oleh Rendi.
Namun, tak ada suara tangisan bayi yang terdengar sedikitpun, dan Rendi juga melihat ke arah bayinya yang tidak menangis.
"Pakai alat!" ucap suster lain.
"Alatnya mati, manual aja!" Terdengar suster yang menggendong anaknya Nara berucap seperti itu.
Hingga suster tersebut mengurut punggung bayi itu dan akhirnya menangis dengan sangat kencang. Suara tangisan itu memecah ketegangan di dalam ruang bersalin. Rendi merasa lega sekali, dan Nara juga masih sangat lemas, bayinya pun dibiarkan berada di dalam pelukan Nara dengan dada yang sudah terbuka, sedangkan Nara masih harus melewati proses jahit. Bayi itu menangis dengan sangat kencang dan Nara bahkan sampai terharu melihatnya. Rendi pun mengadzani anak perempuannya itu dengan suara yang membuat bulu kuduk Nara berdiri.
Setelah selesai diadzani, anak itu langsung kembali diambil suster dan dimandikan lebih dulu, dibalut dengan kain yang hangat lalu diletakkan di wadah box bayi.
"Kerja bagus, Sayang. Selamat ya," ucap Rendi sembari mencium pipi Nara.
"Udah pikirin Nama buat anak kita?" tanya Nara.
"Udah, Sayang."
"Oh ya? Siapa sayang?"
"Syakila Rizki Abdillah."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments