Melihat Rendi yang menelpon Nara dan menanyakan keberadaan wanita itu langsung pergi meninggalkan kampus dan kedua temannya untuk menemui Rendi. Ia tidak meminta Nara untuk pulang, melainkan bertemu di satu tempat yang dekat dari kontrakan.
Saat sampai di gang, Nara melihat Rendi berada di motornya.
“Kenapa sayang?” tanya Nara yang terlihat berkeringat karena menghampiri Rendi.
“Udah jam 4, Sayang. Jangan kelamaan perginya, kamu nggak boleh capek-capek,” ucap Rendi.
“Iya ini mau pulang kok.” Nara tersenyum kala melihat pria itu berusaha untuk mengingatkan dirinya untuk tidak pulang terlalu lama.
“Ikut aku dulu ya? Mbah putri mau ketemu kamu,” ucap pria itu.
Nara yang mendengar hal itu langsung terkejut dan ada rasa sedikit takut, kira-kira apa yang mau dibicarakan sampai mereka harus bertemu secara mendadak.
“Kenapa?” Nara penasaran dan sudah takut lebih dulu.
“Ikut aja,” pinta pria itu.
Nara pun mengikuti keinginan pria itu dan naik ke motornya, perasaannya sedikit tidak karuan karena selama ini dia tidak pernah bertemu dengan keluarga besar Rendi apalagi sampai berbicara secara intens, ia sama sekali belum pernah melakukan itu.
Hingga sampailah mereka berdua di sebuah rumah yang berada di dalam gang dan terdapat rumah sederhana yang berada di sana, dengan cat berwarna hijau dan terdapat beberapa tanaman di samping rumahnya.
Nara dan Rendi masuk ke dalam rumah neneknya dan duduk di ruang keluarga, di mana terdapat tv di sana, Rendi tidak ingin Nara menjadi sorotan tetangga sekitar situ jika dia duduk di ruang tamu, maka Nara di bawa ke ruang keluarga.
Beberapa menit kemudian, seorang wanita tua keluar dari kamar dan duduk di sebelah Nara, Rendi pun menemani Nara.
“Selamat ya, kalian sudah menjadi pasangan suami istri, kemarin kita belum sempat bicara banyak, karena mbah pingin tahu Nara seperti apa, mbah meminta Rendi untuk membawamu kemari,” pinta wanita tua itu.
“Iya, Mbah. Kebetulan aku juga baru selesai kuliah,” ucap Nara dengan senyuman.
“Syukurlah kalau begitu. Gimana keadaan janin kamu? Sehat kan?” tanya wanita tua itu kepada Nara.
“Alhamdulilah sehat kok mbah.”
“Dijaga ya, jangan sampai capek, makan juga yang teratur dan jangan makan sembarangan, itu berpengaruh buat perkembangan anak loh.” Neneknya Rendi mengusap perut Nara dengan lembut dan tersenyum kala memegang perut wanita itu.
“Iya, Mbah. Terima kasih.” Nara begitu bahagia kala mendengar neneknya Rendi mendukung mereka berdua.
“Tapi itu beneran anaknya Rendi, kan?” Tiba-tiba seorang wanita muncul dari kamar lain dengan raut wajah yang cukup garang dan beliau mengernyitkan keningnya.
“Bulik! Apaan sih!” ketus Rendi kala mendengar buliknya berucap seperti itu.
“Ya kali aja, Rendi. Yang namanya hubungan itu bisa aja ada hal yang disembunyikan loh. Kamu udah yakin kalau anak ini anak kamu? Di dunia ini hamil sama siapa, nikah sama siapa juga ada loh,” ucap buliknya dengan raut wajah yang nampak judes dan ketus.
“Astaghfirullah, Irma!” Neneknya Rendi membela Nara, namun hati Nara sudah telanjur sakit dikata seperti itu.
“Aku bilang apa adanya, sebagai keluarga kita harus terbuka kan? Inget lho, jadi istri jangan malas, harus banyak belajar, yang penting jangan boros! Rendi tadi datang ke sini terus bilang kalo masakan kamu nggak enak tuh. Belajar coba.” Buliknya Rendi hanya melipat kedua tangannya saja di pintu dan menunjukkan raut wajah yang tidak suka.
“Bulik kenapa sih? Aku sama Nara baru aja belajar buat membangun rumah tangga, dan berusaha menjadi pasangan yang baik. Bulik nggak usah ikut campur deh!” ketus Rendi.
“Kamu jadi sering menentang omongan keluarga sejak sama cewek itu loh.” Masih ada saja hal yang membuat wanita tua itu kesal.
“Sudah! Tidak perlu dilanjutkan! Keterlaluan kamu, Irma! Jaga ucapan kamu ya!” ucap neneknya Rendi.
Melihat suasana di sana yang sudah tidak kondusif, Nara semakin down dan perasaannya juga semakin tidak karuan.
“Kita pulang, Nara!”
Rendi membantu istrinya berdiri dan membawa Nara pergi dari hadapan mereka berdua.
“Iya, bawa pulang aja. Hati-hati ya,” ucap neneknya Rendi dengan raut wajah yang kesal terhadap sikap anaknya.
“Kalo belum bisa jadi istri yang baik jangan nikah dulu! Udah hamil di luar nikah, malu-maluin keluarga, kalo sampe denger kabar itu bukan anak Rendi, awas aja!” Terdengar suara buliknya Rendi terus menerus berucap hal yang membuat Nara tertekan dan sakit hati.
Mereka berdua pulang kembali ke kontrakan dengan raut wajah yang nampak bersedih, terutama Nara yang terlihat sangat tertekan. Ia ingin sekali menangis dan menahan rasa sakitnya, menahan air matanya agar tidak dikata cengeng. Sepanjang jalan dia hanya diam saja dan tidak bicara sama sekali, hingga mereka pun sampai di kontrakan dan Nara langsung masuk ke kamar. Rendi melihat Nara bersikap seperti itu langsung paham, pasti istrinya terluka.
“Nara, kamu baik-baik saja?” tanya Rendi sembari memeluk istrinya dari belakang saat sedang ganti baju.
Ditanya seperti itu, tentu Nara langsung sakit hati dan menangis. Rendi membalik tubuh Nara hingga Rendi bisa memeluk Nara yang tengah terisak.
"Kamu bilang kalo aku nggak bisa masak?" Nara memulai pembicaraan dan berusaha menghentikan tangisannya.
"Nggak gitu maksud aku, Nara—"
“Kenapa sih bulik kamu itu bicaranya gitu? Aku tuh nggak pernah selingkuh dari kamu loh. Aku selalu menjaga hubungan kita dengan baik sampai bisa seperti ini,” ucap Nara yang menangis dalam pelukan Rendi.
“Sebenarnya, semua orang di keluargaku juga sering sekali bertanya seperti itu, Nara.” Nara langsung melepas pelukan pria itu dan melihat ke arah Rendi dengan geram.
“Kenapa kamu malah nggak percaya sama aku sih? Kamu lebih percaya ucapan mereka?!” tanya Nara.
“Bukan gitu, Sayang. Mereka jauh lebih tahu dan berpengalaman, aku juga takut kalau yang mereka ucapkan itu benar adanya,” ucap Rendi.
“Aku ini hamil anak kamu, Rendi!”
“Aku cuma takut apa yang mereka katakan itu benar adanya, Nara. Tapi aku ini percaya sama kamu kok,” ucap Rendi berusaha menenangkan wanita itu.
“Mereka yang nggak tahu apa-apa soal hubungan kita, nggak pantas berucap seperti itu. Apa mereka bantu kita? Nggak kan? Mereka bahkan nggak mikirin perasaan aku.” Isak tangis memenuhi rumah kecil itu dan nampak Rendi sudah kelelahan. Ia tak ingin bertengkar dengan Nara.
“Iya, Nara. Aku percaya kok. Maaf ya, maafin aku, maafin keluargaku,” ucap Rendi dengan penuh rasa bersalah.
“Kenapa sih orang-orang berpikir begitu sama aku? Apa aku seburuk itu di mata mereka? Aku bahkan berusaha buat ngertiin kamu, nyembunyiin identitas kita biar beasiswa kamu nggak dicabut!” keluh Nara dengan tangisan.
Rendi langsung memeluk Nara dengan erat dan terus menerus meminta maaf kepada Nara karena wanita itu sudah menanggung beban yang sangat berat saat mendengar ucapan keluarga Rendi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments