Keesokan harinya, Rendi pulang ke Semarang dan pergi untuk memberitahukan kepada
keluarganya jika keluarga Nara akan datang ke rumah mereka untuk membicarakan kehamilan Nara. Hubungan mereka sudah tidak bisa disembunyikan lagi, karena mau bagaimanapun juga mereka tidak bisa terus menerus menyembunyikan hal seperti ini. Karena rumah Rendi dekat dengan universitas, keluarga Nara lah yang pergi untuk membicarakan hal penting ini.
Setibanya di Semarang, keluarga Nara disambut apa adanya oleh keluarga Rendi. Tentu saja dengan rasa malu, sedih, bingung dan campur aduk.
Pembicaraan keluarga pun terjadi di rumah Rendi. Rumah keluarga pria itu memang cukup besar, dan seperti yang ia bilang, ayah dan ibu tirinya juga merupakan orang terpandang di sekitar rumahnya.
“Kami datang kemari untuk membicarakan hal yang tentu saja di luar perkiraan kita semua.” Ayah Nara membuka percakapan di sana. Suasana di rumah itu seketika menjadi semakin serius, namun, mereka semua berusaha untuk menyungging senyum meskipun di dalam hati begitu sedih dan juga kecewa. Ibu tiri Rendi juga nampak menyiapkan minuman dan juga makanan, menjamu tamunya dengan baik.
“Mau bagaimanapun juga, mereka berdua adalah anak-anak kita. Maafkan perilaku anak saya karena sudah menghamili putri anda. Bahkan kami juga baru tahu sekarang, dan usia kandungannya bahkan sudah 7 bulan, Pak Wahyu.” Ayahnya Rendi nampak berkaca dan merasa bersalah sembari menatap Nara.
“Lalu, baiknya bagaimana, Pak Tio?” Pak Wahyu mulai menanyakan apa yang harus dilakukan oleh kedua anak-anak tersebut.
“Kami ikut keputusan bapak sekeluarga saja, kami tetap akan bertanggung jawab.” Dengan sopan Pak Tio tersenyum dan mempersilakan keluarga Nara untuk memutuskan semuanya.
“Jika semua diserahkan kepada kami, kami jelas meminta anak anda untuk menikahi putri kami. Karena kasihan bayinya nanti, dia harus memiliki kedua orang tua.” Pak Wahyu mulai mengutarakan pendapatnya.
“Baiklah kalau begitu. Namun, bolehkah saya meminta satu hal?”
“Silakan.”
“Jangan sampai pernikahan ini ketahuan universitas, karena Rendi masuk dengan menggunakan jalur beasiswa, sayang sekali jika beasiswanya dicabut, lalu, dia juga merupakan Ketua BEM, dan baru besok ini dilantik. Bisakah untuk merahasiakan pernikahan ini sampai mereka berdua lulus?” pinta ayahnya Rendi.
Dalam hati Nara, ia sedikit kesal karena tidak ada yang memikirkan kuliahnya, dirinya, bahkan apa yang akan dihadapinya nanti. Semuanya hanya membahas perihal beasiswa Rendi dan nama baiknya. Bagaimana dengan Nara?
Mendengar negosiasi dari keluarga Rendi, keluarga Nara sebenarnya sedikit keberatan.
“Lalu, bagaimana dengan anak saya?” Pak Wahyu seperti mengetahui apa yang sedang dirasakan oleh putrinya itu. Nara langsung menatap ke arah ayahnya sendiri dan hampir menitihkan air mata. Pertanyaan ayahnya Nara juga cukup lama jawabannya, hingga membuat suasana menjadi semakin panas.
“Kami akan menikahi Nara secepat mungkin, dan membiarkan mereka berdua hidup satu rumah. Akan saya carikan rumah kontrakkan untuk mereka tinggali, agar mereka bisa fokus dengan kehidupan rumah tangga mereka.” Pak Tio hanya bisa memberikan janji seperti itu saja kepada keluarga Nara. Tetap saja semua itu sama sekali bukanlah hal yang adil untuk kehidupan Nara. Namun, yang terpenting saat ini adalah pertanggung jawaban dari kekasihnya lebih dulu.
Ada rasa senang, dan juga kecewa di hati Nara. Untuk saat ini sepertinya itu bukanlah hal yang penting.
Hingga keputusan pun berakhir dengan Rendi yang akan menikahi Nara di hari jum’at minggu depan, yang tepatnya berada di KUA. Masih ada waktu satu minggu untuk mengumpulkan beberapa berkas yang dibutuhkan untuk dikirim ke KUA. Setelah menikah, mereka akan tinggal serumah dan menjalani kehidupan rumah tangga dengan sembunyi-sembuyi. Nara tidak boleh pulang sampai anaknya tumbuh sedikit besar, Rendi juga tidak bisa membeberkan pernikahannya itu, baik ke universitas, maupun ke kampung sekitarnya, karena dia harus menjaga nama baik keluarganya lebih dahulu.
Yang penting, Nara bisa melahirkan dengan selamat dan mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang baik. Meskipun bagi Nara, ia merasa tidak bisa menjalani semuanya sendiri. Saat tengah makan siang dan perbincangan mereka berubah menjadi santai, Nara pergi ke luar rumah Rendi untuk mencairkan suasana di hatinya, karena sepanjang pembicaraan penting ini, ia begitu tegang.
“Semua baik-baik saja?” tanya Rendi yang datang dari dalam dan mendekati kekasihnya itu.
“Hmm? Iya, sepertinya semuanya baik-baik saja. Bukankah aku harusnya bahagia?” Nara tersenyum sembari menatap langit yang cukup cerah. “Bagaimana respon kedua orang tuamu ketika mereka tahu kalau kamu menghamili aku?” Nara tiba-tiba penasaran.
“Yah … baru pertama kali ini aku melihat kedua orang tuaku menangis, awalnya mereka cemas dengan pendidikanku, namun, pada akhirnya mereka setuju.” Rendi juga menatap ke arah langit.
“Aku tidak tahu harus bersyukur atau bersedih dengan apa yang menimpa kita hari ini,” ucap Nara.
“Aku sendiri bersyukur, karena aku bisa menikahi kamu, dan akhirnya nggak pusing dengan bayi yang ada di dalam kandungan kamu itu. Aku juga bisa menemani kamu kapanpun kamu membutuhkan aku.” Rendi mengusap kepala Nara dan tersenyum menatap kekasihnya. Nara pun membalas pria itu dengan senyuman dan merasa bersyukur karena semua berakhir baik-baik saja. Meskipun saat pembicaraan tadi, ayahnya Nara terlihat kurang suka, begitu pula dengan ibunya. Ada beberapa hal yang kurang mereka setujui, namun tak bisa mereka bantah. Alhasil, mereka hanya bisa menerimanya saja.
Setelah pertemuan kedua pihak keluarga selesai, keluarga Nara pun pulang, dan Nara diantarkan ke kontrakannya, karena besok dia harus kuliah.
“Jum’at ibu sama ayah ke sini lagi buat pernikahan kamu, ibu sama ayah bakal siapin yang terbaik buat kamu. Jadi, kamu kuat-kuatin hati di sini ya, Nak.” Sarah nampak menguatkan hati anaknya agar tidak goyah dan bisa bersabar menghadapi keputusan ini.
“Sebenarnya, ayah tidak setuju dengan sikap mereka itu. Namun, ini semua demi kamu, dan dia juga harus tanggung jawab. Maaf ya, ayah belum bisa kasih yang terbaik buat kamu.”
Wahyu juga mengusap punggung anaknya dengan lembut seakan tahu perasaan anaknya yang terluka parah saat itu.
“Tidak apa-apa, Bu, Ayah. Kalian sudah melakukan yang terbaik, aku juga bersyukur karena Rendi mau bertanggung jawab atas kesalahannya. Tidak masalah jika aku belum bisa pulang ke rumah, aku akan berusaha menghidupi diriku sendiri di sini,” ucap Nara yang berusaha menenangkan kedua orang tuanya yang jelas panik dan cemas.
“Terima kasih, Nara. Kamu mau mengerti situasi yang cukup menyusahkan ini,” tutur Wahyu. Nara hanya melemparkan senyuman kepada mereka berdua. Saat sudah selesai berurusan dengan keluarga Rendi, mereka berdua pulang ke Temanggung untuk menyiapkan semuanya. Rendi juga diminta untuk tidak terlalu sering ke kontrakkan Nara, karena mereka tidak ingin ada zina lagi di antara mereka berdua, meskipun sudah telanjur.
Saat melihat mobil kedua orang tuanya menjauh, Nara menghela nafas panjang dan mengusap perutnya dengan lembut sembari berucap, “Kita harus semangat, Nak! Semuanya baik-baik saja sekarang.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments