Sebelum menikah minggu depan, Nara masih menjalani kehidupannya seperti biasa, menyembunyikan kehamilannya dan tetapbmengikuti berbagai aktivitas yang membuat dirinya terkadang bisa sampai lelah, meskipun sedang hamil, dia tidak ingin membatasi kegiatannya dan ingin melakukan semua kegiatan seperti biasa. Awalnya, dia mengira jika dia semakin lelah, maka akan semakin mudah juga untuk kandungannya melemah, namun, hingga sampai saat ini pun kandungannya terus menerus berkembang, bahkan semakin kuat.
Hari ini ada kegiatan di universitas yang membuat semua mahasiswa pergi ke gedung utama untuk menghadiri seminar dan juga pelantikan Ketua BEM yang baru.
“Hari ini si Rendi dilantik kan?” tanya Tia yang memang satu kontrakkan dengan Nara.
“Iya, aku mau ke gedung rektor setelah ini, kamu mau ikut?” Nara menawarkan temannya untuk ikut.
“Boleh deh. Tapi beneran ya, bisa-bisanya satu universitas nggak ada yang tahu kalau Rendi punya pacar. Cuma anak kontrakkan kita yang tahu,” ucap Tia sembari berjalan beriringan bersama Nara.
“Ya udah sih biarin aja, lagian ini juga demi nama baiknya. Kalau sampai ketahuan juga pasti banyak nanti yang nggak suka sama aku, aku males cari musuh.” Nara sudah memperkirakan apa yang akan terjadi jika sampai semua orang tahu perihal hubungannya dengan Rendi.
“Begitulah kamu, sabar, dan selalu menerima pria brengsek itu apa adanya.” Tia menatap lurus ke depan sembari terus berjalan.
“Rese ih!” Nara menyenggol tubuh temannya itu.
“Emang ya! Kamu nggak lihat dia populer banget di kalangan cewek? Kamu nggak tahu kalau banyak yang deketin dia? Apalagi semua pada milih Rendi karena ganteng, tahu! Aku jadi kamu mah kugampar tu cowok.” Tia semakin kesal jika harus membahas soal Rendi.
Ia memang seperti itu jika memberikan pendapat soal Rendi. Di mata Tia, Rendi sama sekali nggak ada baik-baiknya. Cuma modal ganteng dan populer aja. Bahkan, Tia tidak tahu jika Nara saat ini tengah mengandung anak Rendi. Bagaimana reaksi Tia jika tahu bahwa Nara hamil anak pria kurang ajar itu?
Mereka pun sampai di gedung rektorat dan sampai sana, suasana begitu ramai, banyak mahasiswa baru yang menghadiri acara ini, terutama wanita yang menaruh hati kepada Rendi.
Semuanya datang ke gedung itu melihat pelantikan tersebut. Nara duduk di barisan paling atas, meskipun jauh, yang penting dia bisa melihat Rendi dari situ saja sudah cukup. Hanya ada beberapa dosen, dan juga kakak tingkat di atas podium.
Pelantikan pun dimulai, dan terlihat Rendi dengan almamater berwarna birunya itu berdiri di atas panggung sembari menerima sebuah penghargaan dan juga sebuah identitas bahwa dia merupakan Ketua BEM dan merupakan perwakilan mahasiswa seluruh universitas.
“Liat tuh, cewek-cewek semua yang nyorakkin,” bisik Tia di tengah acara.
“Iya, Tia, biarin aja sih. Lagian Rendi juga nggak ngapa-ngapain kok.”
Tia nampak kesal dengan respon dari temannya itu, namun, mau bagaimana lagi karena emang begitulah sikap Nara yang terlalu baik.
Setelah selesai acara, mereka berdua pun keluar sebelum banyak orang yang keluar dan berdesak-desakkan.
“Terus? Kamu mau nungguin dia selesai?” tanya Tia.
“Iya, aku mau kasih bucket bunga ini buat dia, meskipun aku bisa kasih ini di kontrakkan sih, tapi kayaknya aku mau ngasih sekarang deh.” Nara sudah tidak sabar ingin memberikan bucket bunga itu kepada Rendi.
Setelah beberapa saat menunggu, Rendi keluar bersama dengan jajaran BEM mahasiswa, ia banyak disambut oleh kawan, dan juga beberapa wanita yang mengaku pengagum rahasianya. Nara mendekati Rendi dan terlihat semua orang menatap ke arah Nara saat ia mendekat ke arah Rendi. Hingga wanita itu sampai di depan Rendi dan menyodorkan bucket bunga ke hadapan Rendi sembari berucap, “Selamat, ya!”
Raut wajah Rendi sedikit berbeda, ia seakan memaksakan senyumannya, namun, raut wajahnya juga seakan berkata jika Nara tak seharusnya berada di sana.
“Oh?! Kalian pacaran kah?” celetuk salah satu pria yang satu angkatan dengan mereka.
“Nggak lah! Terima kasih bunganya, ya. Kamu nggak perlu repot-repot begini.” Rendi menerima bunga itu dengan cepat dan masih berusaha untuk tersenyum.
Nara yang mendengar hal itu pun langsung berkaca-kaca dan langsung pergi dari hadapan Rendi, Tia tahu betul sikap Rendi membuat Nara terluka. Ia pun menatap Rendi sembari berucap, “Cowok nggak tahu diri!”
Orang-orang yang mendengar hal itu langsung menatap ke arah Tia, dan menganggap Tia juga Nara hanya sirik dan pengganggu saja. Namun, Rendi memiliki rasa bersalah sedikit kepada Nara. Ia ingin mengejar kekasihnya itu, tapi tidak saat ini.
Nara pergi ke sebuah taman yang ada di universitas, ia duduk di taman itu dan menghela nafas panjang. Ia berusaha untuk menahan kesedihan yang ada di dalam dirinya.
“Kenapa, Nara? Kenapa kamu malah cemburu sih? Bukannya harusnya kamu bisa terima hal seperti ini?” gumam Nara.
Ia melihat ke arah taman dan menghela nafas panjang. Sudah cukup lama dia tidak bersantai seperti ini, meskipun hatinya sedang gelisah. Saat ia sedang bersantai, tiba-tiba seseorang mendekati Nara dan duduk di sebelahnya.
“Astaga!” kejut Nara.
“Kamu ngapain di sini sendirian?” Gibran datang dan langsung duduk di sebelah Nara tanpa rasa bersalah, takut, atau apapun itu. Nara melihat ke sekitar, justru dia yang takut jika sampai Rendi melihat Gibran duduk di sebelahnya.
“Kak Gibran ngapain duduk di sini?!” tanya Nara. Gibran menoleh ke arah Nara dan menatap kedua mata sembab wanita itu.
“Aku lihat seorang wanita berlari dari gedung rektor ke arah sini sambil menangis, ternyata itu kamu ya?” Gibran menaikkan satu alisnya sembari menatap Nara dengan serius.
“Ugh!” Nara mengalihkan pandangannya dari pria itu dan menatap lurus ke depan. Dia ingin sekali pergi dari situasi ini, namun, dia terlalu lelah dan perutnya keram. Nara berusaha menutup perutnya itu dengan tas.
“Kalau sakit hati, bilang. Jangan dipendem sendiri, nggak baik buat kamu. Nggak suka, tinggal bilang, nggak mau, nggak cocok, semua bisa dibicarakan, kenapa harus disembunyikan?” Ocehan pria itu membuat Nara tersadar akan satu hal, bahwa dia tidak bisa melakukan itu semua. “Kalau kamu terus menerus memendam perasaan kamu itu, yang ada kamu yang bakal hancur. Kamu nggak sayang sama diri kamu sendiri, dan musuh terbesar di hidup kamu ya dirimu sendiri,” lanjut Gibran.
“Memangnya Kak Gibran tahu apa? Kakak sama sekali nggak tahu apa-apa soal aku. Jadi, jangan bersikap seolah mengenalku dengan baik,” ketus Nara yang tidak ingin orang lain ikut campur urusan pribadinya.
“Aku tahu, kamu pacarnya Rendi, kan? Ketua BEM yang barusan dilantik.”
DEG!
visual tokoh mereka bertiga nih^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments
Adi Soraya
Nara terlalu lemah...
2023-05-07
1