Di rumah sakit terlihat Pak Wijaya telah mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk membawa jenazah putrinya. Ibu Anjani yang tak sadarkan diri kembali hanya terbaring lemah di atas branker dengan ditemani suster yang jaga.
Keadaan Henderson juga tak jauh berbeda, dia menangisi kepergian istrinya yang secara mendadak. Henderson masih belum terima kepergian sang istri. Padahal Ia baru mengarungi rumah tangga Bersama sang istri kurang lebih satu tahun.
Berbeda dengan ibu Anjani dengan Henderson, pria paruh baya itu mengambil tugas banyak untuk mempersiapkan segalanya.
Pak Wijaya juga menyuruh anak sulung dan menantunya untuk mempersiapkan rumah duka dan menghubungi kerabat mereka. semua tugas sudah terbagi. Hingga Pak Wijaya mengganggu Ibu Anjani yang masih tak kuasa kehilangan anak perempuannya.
Pak Wijaya merogoh ponselnya yang ada di saku dan akan menghubungi Devano. Pria paruh baya itu menekan tombol hijau dan terdengar nada sambung di sana.
"Halo Pa." sapa Devano dari seberang sana.
"Vano, bagaimana sudah siap semua di sana. Apa kau sudah mengabarkan beberapa kerabat?" tanya Pak Wijaya.
"Sudah Pa, di rumah juga banyak tetangga dan juga beberapa kerabat." jawab Devano dari ujung telepon.
"Ya udah kalau gitu Ini jenazah adikmu masih dimandikan,"ucap Pak Wijaya.
"Mama gimana Pa?"tanya Devano.
"Mama kamu masih bolak-balik pingsan Nak, dia terus-terus histeris sampai tadi mamamu tak ingin Mauren dipindahkan ke ruang untuk memandikan jenazah jelas Pak Wijaya pada putranya.
Kasihan Mama
"Ya sudah, kau sambut dulu tamu di sana yang di sini biar Papa yang urus." Ucap pak Wijaya.
"Iya Pa, balas Henderson lalu mematikan sambungan telepon selulernya.
****
Setelah kurang lebih lima menit kemudian semua sudah siap dan jenazah Mauren sudah dimasukkan ke dalam ambulans milik rumah sakit. Ibu Anjani dan Henderson ikut masuk dalam mobil itu sedangkan Pak Wijaya membawa mobilnya sendiri.
Walaupun hatinya patah sepatah-patahnya namun tak percaya berusaha untuk tetap tegar karena anda dia ikut rapuh lalu yang akan menguatkan istrinya siapa. Dia sangat paham bahwa Anjani sangat dekat dengan anak perempuannya itu
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua puluh menit, mobil jenazah segera memasuki halaman rumah milik keluarga Pak Wijaya. Semua yang ada di teras rumah segera berdiri menjamu jenazah Mauren yang akan diturunkan.
****
Proses pemakaman pun dilakukan, Henderson tidak tahan rasa tangis. Henderson enggan untuk beranjak dari samping pusara istrinya. Lalu Nyonya Carlota mendekati Hendarson.
"Sayang ayo pulang,"ajak Nyonya Carlota sambil mengusap bahu Henderson.
"Mama pulang dulu saja, aku masih mau di sini."balas Henderson yang matanya tak melepas pandangan dari batu nisan yang tertulis rapi nama Mauren Wijaya di sana.
"Ma, sudah tidak apa-apa biarkan Henderson di sini dulu. Biarkan dia menuntaskan semuanya di sini terlebih dahulu.
Dia butuh waktu untuk bersama dengan istrinya. Dan untuk kamu Henderson, ikhlaskan Mauren dan kau harus tabah dengan semuanya.
Ikhlaskan menantu Papa yang paling cantik itu agar tidak berat di sana karena yang di dunia masih belum merelakannya."ucap Tuan Samera menatap istri dan anaknya bergantian.
Henderson, Kau harus kuat nak. Kau harus melanjutkan hidup untuk buah hati kalian. Kau masih punya tanggung jawab itu. Dulu kau selalu takut andai Mauren merajuk.
Jadi sekarang jangan buat dia merajuk dengan mengabaikan anak yang dia lahirkan."ucap Nyonya Carlota mengingatkan agar anaknya tak terlalu larut dalam kesedihan dan meratapi kepergian menantunya.
Henderson hanya menganggukkan kepala, lalu Mama dan Papanya segera berjalan menjauhi area pemakaman. Keluarga dari Mauren pun sudah pergi lebih dulu karena Ibu Anjani kembali terkulai pingsan.
Henderson menyatakan sudut matanya dan menarik nafas panjang. Lalu menghembuskannya secara perlahan. Pemuda itu mengusap batu nisan istrinya.
"Sayang selamat jalan sayang. semoga kau tenang di sana, semoga kau mendapatkan tempat terbaik di sisi Tuhan. Aku akan menjaga Putri kita dengan baik. Tapi aku tak janji untuk kuat. Aku pasti merindukanmu sayang."ucap Henderson dengan lirih.
Hendarson mengusap air mata yang kembali jatuh di pipi. Lalu tangannya merogoh amplop surat yang dititipkan pada dokter Gibran. Dia menggenggam, lalu menaruh di dadanya lalu memejamkan mata.
"Sayang,"tiba-tiba Henderson terdengar suara bisikan Mauren.
"Mauren,"ucap Henderson yang langsung membuka mata dan melihat sekelilingnya.
Namun, Henderson tak melihat siapapun di sana. Hanya dia sendiri yang masih ada di makam istrinya. Dia pun tertunduk kembali, karena mungkin memang hanya halusinasi saja.
"Sayang, aku pulang dulu ya."pamit Henderson seolah berbicara pada pusaran mendiang istrinya.
Henderson berjalan menjauhi area makam dan memasuki mobil. Nyonya Carlota dan Tuan Samera memang sengaja menunggu anaknya untuk pulang. Mereka tak ingin beban pikiran yang sedang dirasakan anaknya nanti akan berimbas tidak Fokus dalam berkendara.
Maka dari itu, Tuan Samera berinisiatif untuk membawa mobil satu saja, sedangkan keluarga dari besarnya sudah lebih dulu berpamitan pulang. Mereka mengantarkan Henderson kembali ke rumah Ibu Anjani.
Karena sebelumnya Putra mereka tinggal di sana sejak menikah. Sesuai dengan permintaan sang istri. Walaupun Henderson memiliki harta kekayaan yang begitu tak ternilai,tapi karena rasa cinta dan kasih sayangnya kepada istrinya, sehingga dirinya mengikuti keinginan istrinya untuk tinggal di rumah kedua mertuanya untuk sementara waktu saat Mauren sedang hamil.
Ternyata Maureen melakukan itu semua, karena ia mengetahui penyakit yang ia derita suatu saat nanti dapat berakibat fatal untuknya. Sehingga memohon-mohon kepada suaminya untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya saja, daripada tinggal di rumah mewah milik Henderson.
Sesampai di rumah Henderson, langsung menuju kamarnya dan memberikan diri di peraduan. Anak Henderson yang masih bayi masih berada di rumah sakit dan akan diambil keesokan harinya.
Ibu Anjani sendiri sedang ada di kamarnya karena baru sadar dari pingsan. Sementara Tuan Samera dan Nyonya carlota mampir sebentar ditemani oleh Devano dan juga Pak Wijaya.
Tak Berapa lama, nyonya Carlota dan Tuan Samera pun berpamitan.
"Kami pamit dulu."ucap Tuan samera menjabat tangan besannya dan juga Devano. Lalu mereka meninggalkan rumah duka untuk kembali ke rumah utama keluarga Samera.
"Hati-hati."balas Pak Wijaya dan Devano berbarengan, lalu mengantarkan nyonya Carlota dan Tuan samera sampai ke teras. Setelah mobil Besannya tak terlihat, mereka segera berjalan menuju kamar Ibu Anjani, untuk mengetahui keadaan wanita paruh baya itu.
Bersambung.....
hai hai redears dukung terus karya author agar outhor lebih semangat untuk berkarya trimakasih 🙏💓🙏
JANGAN LUPA TEKAN, FAVORIT, LIKE, COMMENT, VOTE, DAN HADIAHNYA YA TRIMAKASIH 🙏💓
JANGAN LUPA MAMPIR KE KARYA EMAK YANG LAIN
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments