Freya menatap punggung Pramudya yang menjauh dengan ekspresi serba salah. Pria itu semakin tidak bisa ditebak. Ia tidak mengerti apa tujuan Pramudya Antasena bersikap seperti ini terhadapnya.
Apakah pria itu sengaja ingin ia dijauhi semua wanita dalam kantor? Lihatlah berpasang mata yang menatap ke arahnya dengan penuh kebencian, juga wajah-wajah penuh penghinaan itu.
Embusan napas pelan lolos dari bibir Freya. Bagaimana nasibnya bisa begini sial? Baru tiga hari bekerja dan sudah dimusuhi semua orang.
Freya menundukkan kepala dan berjalan menuju kantor CEO. Ia mengedarkan pandangan. Tidak ada siapa-siapa di ruangan itu, tapi ada satu set meja dan kursi baru di sisi kanan meja Pak Pram. Apakah kursi dan meja itu untuk dirinya?
Freya melangkah dengan ragu-ragu menghampiri meja itu. Ada kotak peralatan tulis, sebuah buku catatan, setumpuk dokumen entah apa, juga satu set komputer keluaran terbaru.
Ia menyentuh permukaan meja dengan hati-hati. Semuanya terlihat sangat bersih dan mahal. Ia bertanya-tanya dalam hati, kapan meja kerjanya disiapkan.
Gadis itu mendesah lagi. Apakah ini disebut kesialan atau keberuntungan? Ia tidak dapat memutuskannya.
Ia duduk di atas kursi bulat berwarna merah tua itu, meletakkan tas selempang dan map berisi dokumen-dokumen pentingnya di dalam laci meja, kemudian menekan tombol power untuk menyalakan komputer.
Sambil menunggu komputer itu menyala, Freya mengambil tumpukan dokumen di atas meja dan membacanya. Rupanya itu adalah faktur penjualan dan pembelian dari salah satu anak perusahaan Antasena Group yang beroperasi di bidang tekstil.
Freya mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan telunjuknya. Sepertinya ia diminta untuk membuatkan laporan untuk faktur-faktur itu.
Baiklah ... hanya laporan penjualan saja, bukan masalah besar.
Tak lama kemudian, gadis itu mulai menunduk dan memeriksa setiap lembar faktur dengan teliti, mencocokkannya dengan kuitansi pembelian dan penjualan, kemudian menginput data ke dalam komputer.
Ia mengerjakan semuanya dengan sangat serius sehingga tidak menyadari ketika Pramudya Antasena masuk ke ruangan itu bersama Wakil CEO Bayu.
Pramudya berhenti melangkah dan menatap ekspresi serius istri kecilnya.
Gadis itu ternyata telihat cukup imut saat sedang serius. Sepasang matanya bersinar dan tampak sangat fokus. Sesekali bibir mungilnya bergerak-gerak pelan, membaca faktur di tangannya tanpa suara, lalu dengan gesit jemari rampingnya mengetik di atas papan keyboard.
Bayu menatap sahabatnya yang terdiam itu dan mengulum senyum. Seumur hidupnya, ia belum pernah melihat Pramudya Antasena terpana seperti itu. Bahkan ketika berhadapan dengan seorang supermodel top dunia yang tergila-gila kepadanya sekali pun, dia hanya akan menoleh sekilas dan kembali acuh tak acuh. Oleh sebab itu, kejadian ini adalah sesuatu yang sangat langka. Ia tidak akan mendiamkannya begitu saja.
“Sepertinya Nyonya sedang sangat sibuk,” goda Bayu. Ia menghampiri meja Freya dan mengintip layar komputer.
Freya sangat terkejut sehingga hampir melompat dari tempat duduknya. Ia mengaduh karena sikunya terantuk meja.
“Wakil CEO, Pak Pram,” sapanya sambil mengusap-usap sikunya. Sial, sakit sekali.
Pramudya melirik Bayu dengan kesal, berusaha menahan diri untuk tidak menendang bokongnya dengan keras.
Bayu yang menyadari kesalahannya segera berkata, “Maafkan aku sudah mengejutkanmu. Aku tidak sengaja ....”
“Tidak ... tidak apa-apa. Saya yang salah karena tidak menyadari kedatangan Bapak,” balas Freya.
“Kamu serius sekali, sedang mengerjakan apa?”
“Ini ... cuma iseng saja.” Freya bergumam pelan.
Bayu hanya manggut-manggut, tidak berani menggoda Freya lagi karena wajah Pramudya sudah terlihat seperti awan mendung. Ia bisa merasakan ancaman serius yang datang dari tatapan mematikan itu.
“Ya, sudah, lanjutkan saja.” Bayu melangkah pergi sebelum Pramudya benar-benar menendangnya.
Pramudya hanya mendengkus dan pergi ke meja kerjanya. Tadi Bayu bersikeras ikut ke kantornya, ia tahu berandalan itu hanya ingin menggodanya, tapi sekarang justru membuat istrinya terluka. Benar-benar minta dihajar.
Setelah situasi tenang, Freya kembali duduk dan meneruskan pekerjaannya. Ia tidak menoleh ke arah Pramudya sama sekali, membuat kening pria itu secara bertahap berkerut semakin dalam.
Baru kali ini ada seorang wanita yang duduk begitu dekat dengan dirinya tapi tidak memberikan reaksi apa pun. Seolah-olah lembaran faktur dan layar komputer itu terlihat lebih menarik ketimbang dirinya.
Tangan Pram melonggarkan ikatan dasi dan menariknya dengan asal. Ia kesal karena bisa-bisanya merasa terganggu hanya karena diabaikan oleh gadis tengil itu.
Selain itu, kenapa gadis tengil itu menjadi sangat pendiam? Kemarin malam dia masih sangat bersemangat membantah dan memarahinya tanpa kenal takut. Kenapa sekarang dia begitu tenang dan terlihat sangat penurut. Pramudya merasa hatinya sedikit tidak senang.
“Kamu, ke sini,” panggil Pramudya tanpa menoleh.
Panggilan yang tiba-tiba itu membuat Freya terkejut sekali lagi. Ia kira Pak Pram tidak akan berbicara dengannya. Meski begitu, ia tetap bangkit dari kursi dan menghampiri bosnya itu ... um, tunggu, bos atau suami?
Bos suami?
Suami bos?
Haish ....
Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan bertanya, “Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
“Pergi buatkan kopi.”
“Baik ....”
Freya keluar dan berjalan menuju pantri. Ia berdoa dalam hati, semoga tidak ada orang lain di dalam tempat itu sehingga tidak perlu menghadapi tatapan penghakiman dan penghinaan dari mereka.
Sialnya, suara Amaya yang keras dan penuh amarah langsung terdengar begitu ia memasuki pantri.
“Gadis kampungan itu pasti menjebak CEO Pram sehingga dinikahi. Dasar wanita murahan. Menjijikkan!”
Freya terpaku di depan pintu, tidak tahu apakah harus tetap masuk atau berbalik dan pergi. Namun, sebelum ia sempat membuat keputusan, suara Amaya kembali terdengar.
“Bagus sekali, perempuan jal*ng. Kebetulan kamu ada di sini. Aku akan memberikan pelajaran kepadamu!”
Sepasang mata Freya membola ketika melihat Amaya menerjang ke arahnya. Dengan sigap ia bergeser ke kanan, mengayunkan daun pintu ke depan. Gerakan itu terlihat seperti tidak bertenaga dan asal-asalan, padahal tidak begitu ....
Brak!
“Aaah!” Amaya menjerit kencang. Kepalan tangannya menimpa daun pintu dengan sangat keras.
Ia berteriak semakin kencang ketika jari tengahnya terkulai dengan aneh, hampir menyentuh telapak tangannya, padahal empat jarinya yang lain tetap berdiri tegak.
Amaya meraung dan menangis histeris ketika menyadari jari tengahnya patah. Rasa sakit yang menyengat membuatnya ingin berguling-guling di atas lantai.
“Kamu! Dasar pelac*r! Aku akan menghancurkanmu! Aku akan membunuhmu! Dasar jal*ng!” teriakan kemarahan Amaya bergema dalam ruangan itu.
Ia hendak menerjang ke arah Freya lagi, tapi dua orang rekan kerjanya segera menahannya dan menyeretnya pergi dari ruangan itu. Mereka tidak mau Amaya membuat keributan dan CEO Pram turun tangan. Biar bagaimana pun, CEO secara tidak langsung telah mengakui status Freya. Mereka tidak boleh membuat masalah di kantor.
Freya menghela napas. Setelah Amaya pergi, ruangan itu mendadak sangat hening. Karyawan lain yang ada di sana langsung menyingkir ketika ia lewat, seolah-olah ia adalah wabah yang harus dijauhi.
Karena sudah dapat menebak akan ada situasi seperti ini, Freya hanya bisa menguatkan hatinya dan berjalan dengan tegar ke tempat penyeduhan kopi. Ia melakukan semua seperti yang diajarkan oleh sekretaris Kikan, lalu meletakkan cangkir di atas kopi dan membawanya kembali ke kantor.
Mengenai apa yang orang lain ucapkan di belakangnya, ia sama sekali tidak peduli. Biarkan saja mereka berpikir dan berkata semaunya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
Praised94
terima kasih
2024-02-14
1
VS
terpana panahnya cupid 🏹. jleb.. 💘
2024-02-14
1
VS
ulu..ulu.. kacian Freya
tunggu aja Fre, tiba saatnya km akan bersinar
2024-02-12
1