Setelah waktu pulang kerja tiba, Freya bergegas ke ruang ganti khusus karyawan. Ia mengeluarkan kunci loker dari saku celana, membuka kotak besi berwarna abu-abu itu dan mengambil satu set kaus oblong dan celana jeans. Ia pergi ke kamar mandi dan menukar pakaian dengan cepat. Seragam office girl ia masukkan ke dalam tas ransel, akan ia bawa pulang dan cuci untuk digunakan bergantian dengan dua setel seragam yang didapatkannya hari ini.
Freya menyapa beberapa rekan kerjanya yang baru saja masuk ke ruangan itu. Beberapa di antaranya berjalan bergerombol dan saling bercanda. Freya menghela napas dan tersenyum kecut. Karena baru mulai bekerja, ia belum memiliki teman yang dapat diajak bercakap-cakap. Alangkah baiknya jika bisa memiliki seorang teman yang dapat menjadi tempat berkeluh kesah.
“Hei, anak baru!”
Eh? Langkah kaki Freya terhenti. Tubuhnya mendadak kaku. Panggilan macam apa itu? Anak baru? Maksudnya dirinya, kan?
Freya memutar tubuhnya dan mencoba mencari siapa yang baru saja memanggil dengan tidak sopan itu.
“Heh, bengong lagi! Sini!”
Freya bersitatap dengan seorang perempuan yang terlihat lebih tua darinya. Perempuan itu memakai riasan yang cukup tebal. Pakaian yang dikenakannya pun cukup ketat sehingga seluruh lekuk tubuhnya terlihat dengan jelas.
“Kamu tuli, ya?” Perempuan itu berdecak sebal dan memelototi Freya dengan ganas.
“Aku?” tanya Freya ragu-ragu seraya menuding hidungnya sendiri.
“Iya, kamu! Siapa lagi? Memangnya ada anak baru selain kamu di sini?!” Wanita itu mencibir dan menatap Freya seolah dirinya sangat bodoh dan tidak mengerti bahasa manusia.
Freya menelan ludahnya dan berjalan menghampiri perempuan yang berdiri di sudut ruangan itu. Sepertinya mereka baru pertama kali bertemu, tapi sikap bermusuhannya itu mengapa terlihat seolah-olah Freya memiliki hutang ratusan juta kepadanya?
“Ada apa, Kak?” tanya Freya dengan sopan.
“Apa? Kak? Emang siapa yang jadi kakakmu?!” bentak perempuan itu dengan kesal. Bibirnya yang dipoles lipstik merah menyala tampak cemberut. Ia menatap Freya dengan kesal. Amat sangat kesal. Usianya baru 25 tahun, oke? Siapa yang dipanggil kakak? Huh!
Freya serba salah. Ia hanya bermaksud sopan, siapa sangka perempuan di depannya itu malah marah seperti petasan banting.
Karena perempuan itu hanya terus memelototinya dan tidak mengatakan apa-apa, Freya terpaksa mengambil inisiatif dan berkata, “Maaf, em ... kalau begitu—“
“Siapa butuh permintaan maaf darimu?” sentak wanita itu lagi.
Freya menarik napas dalam-dalam. Beberapa karyawan yang memasuki ruangan mulai menatap ke arah mereka dan berbisik-bisik. Yang lainnya menuding-nuding ke arahnya sambil menahan tawa. Sialan. Ia bahkan tidak tahu siapa nama perempuan di depannya ini, tapi sudah diajak berkelahi tanpa alasan yang jelas, bahkan membuatnya menjadi bahan tertawaan orang lain. Hm ... jangan salahkan kalau ia bersikap kasar. Apa orang-orang ini menganggap dirinya mudah ditindas?
Freya mencibir sekilas sebelum berbalik dan pergi begitu saja. Ia sudah berusaha bersikap baik, oke? Persetan dengan apa yang akan dikatakan orang-orang itu nanti.
“Hei! Perempuan brengsek! Kembali! Aku belum selesai berurusan denganmu!”
Teriakan yang cukup kencang itu terdengar dari balik tubuh Freya, tapi ia benar-benar mengacuhkannya dan berjalan menuju pintu keluar.
“Dasar Jal*ng! Kamu pikir dengan penampilan polosmu itu dapat menarik perhatian CEO Pram? Hah? Aku katakan padamu, itu tidak mungkin! Orang rendahan sepertimu tidak pantas berada di dekatnya!”
Jantung Freya mencelos. Mendadak ia merasa gugup. Langkah kakinya otomatis terhenti tanpa dapat ia kendalikan. Apakah berita mengenai pernikahan pura-puranya dengan CEO sudah tersebar? Tidak mungkin, kan?
“Heh. Memang jal*ng. Kamu benar-benar ada maksud dengan CEO, ya?” Perempuan di belakang Freya mengepalkan tangan karena melihat reaksi Freya. Ia lalu berteriak dengan semakin bersemangat, “Jangan pikir karena bisa menggeser posisiku sebagai pelayan di kantor CEO maka kamu bisa merebutnya dariku! Jangan mimpi! Aku pasti akan mendapatkan CEO Pram! Dia hanya akan menjadi milikku!”
Sepasang mata Freya membola. Apa? Perempuan itu ... rupanya adalah office girl yang dikatakan oleh Sekretaris Kikan, office girl yang diusir karena terlalu centil dan secara terang-terangan menggoda CEO Pram.
“Pffft ... ahahahaha ....” Freya tidak dapat menahan tawanya. Ia terpingkal-pingkal sampai air matanya hampir menetes. Lihat saja ... ia ingin tahu bagaimana reaksi perempuan itu jika mendengar berita pernikahannya dengan bos mereka minggu depan.
“Hei, wanita sialan! Berani menertawakanku! Aku peringatkan kamu—“
Blam!
Feya menarik dan menutup pintu dengan kencang sehingga suara perempuan yang menyakitkan gendang telinga itu terputus. Ia menarik napas lega. Akhirnya ... huh, benar-benar merepotkan.
“Hei!”
Tubuh Freya tersentak ketika merasakan seseorang menarik lengannya dari belakang. Secara refleks ia menepis lengannya dan berbalik dengan cepat. Ia sudah bersiap untuk memarahi perempuan itu. Namun, semua amarahnya tertahan ketika melihat seorang gadis yang tampak seumuran dengannya sedang tersenyum ke arahnya.
“Halo, namaku Lisa. Iblis yang tadi memarahimu itu bernama Amaya. Jangan hiraukan dia. Dia memang seperti itu, anggap saja anjing gila yang mengejarmu di jalanan.”
Freya menatap gadis bernama Lisa itu dengan takjub. Matanya bulat dan jernih. Rambutnya hitam bergelombang, diikat ekor kuda di atas kepala. Bibirnya seksi dan penuh, tapi terlihat sangat alami dan polos, tidak ada kesan menggoda yang membuat orang berpikiran tidak-tidak. Selain itu, meskipun mereka tampak seumuran, tapi kemampuan gadis itu dalam berkata-kata pedas sangat luar biasa. Mungkin ia harus berguru kepada gadis di depannya itu.
“Kenapa bengong? Ayo, cepat jalan sebelum iblis itu mengejar kita!” Lisa terkikik dan menarik tangan Freya menjauh dari pintu keluar.
Freya masih berusaha mencerna apa yang sedang terjadi, tapi Lisa sudah menariknya hingga gerbang pelataran tempat parkir sepeda motor. Gadis itu lalu menatap Freya dan menepuk jidatnya sendiri dengan keras.
“Aku lupa tidak bertanya lebih dulu. Kamu membawa motor atau naik kendaraan umum?” tanya seraya menatap Freya dengan tatapan bersalah.
Freya mengulas senyum tipis. Gadis bernama Lisa ini benar-benar konyol.
“Aku bawa motor, kok,” jawab Freya sambil menunjuk ke sisi utara. “Itu, di sana ....”
“Oh, baguslah kalau begitu. Aku bisa nebeng, kan? Rumahku nggak jauh, kok, paling lima belas menit udah sampai. Ayok ....”
Sekali lagi Freya tercengang. Apakah keinginnya untuk memiliki teman langsung dikabulkan oleh Tuhan? Selain itu, mengapa teman barunya ini mengapa begitu ... um, bagaimana mengatakannya?
Unik?
Aneh?
Ajaib?
“Yang mana motormu? Kamu bawa helm dua, kan?” cecar Lisa tanpa henti. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, terlihat seperti seekor anak ayam yang sedang mencari induknya.
“Itu motorku.” Freya menunjuk sebuah sepeda motor matic berwarna hitam. Ia mengeluarkan kunci dan membuka jok, mengeluarkan helm ekstra dari sana dan menyerahkannya kepada Lisa.
“Naiklah,” ucapnya setelah memutar kunci dan menyalakan mesin.
“Oke! Aaah ... aku hampir lupa. Siapa namamu?” Lisa berteriak panik dan menepuk-nepuk bahu Freya dengan kencang.
Freya menghela napas tak berdaya. Sudahlah ... seorang teman yang tidak tahu malu masih lebih baik daripada si iblis Amaya itu.
“Namaku Freya.”
“Halo, Freya. Senang berteman denganmu.”
Freya tersenyum tipis. Ia dapat membayangkan bagaimana ekspresi teman barunya itu.
“Senang berteman denganmu juga,” balas Freya seraya memacu sepeda motornya dengan kecepatan sedang menuju pintu keluar.
Karena jam pulang kerja, karyawan yang hendak keluar harus mengantre dengan tertib. Untungnya ada tiga titik keluar sehingga mereka tidak perlu berdesakan dan menunggu terlalu lama.
“Ke mana arah rumahmu?” tanya Freya setelah berhasil tiba di jalan raya.
“Ikuti saja jalan ini sampai bertemu pertigaan, nanti belok kiri, lurus sampai pertigaan berikutnya, belok kanan—“
“Sudahlah. Kamu tunjukkan saja nanti, ya.” Freya tidak tahu harus bagaimana menghadapi teman barunya yang sangat lihai berbicara ini. Ia tiba-tiba merasa sedikit sakit kepala sekaligus tidak berdaya.
“Oke, Bos!” Lisa yang tidak menyadari isi kepala Freya hanya terus mengangguk dengan sangat antusias.
Di sepanjang jalan, Lisa terus mengoceh. Ia mengatakan bahwa dirinya sudah tiga tahun bekerja di Antasena Group. Setelah lulus SMA, ia langsung bekerja di sana karena ayahnya sakit keras sehingga tidak bisa bekerja lagi, sedangkan ibunya telah meninggal sejak ia berusia lima tahun. Ayah dan adiknya tinggal di rumah neneknya di Bogor. Ia terpaksa merantau dan bekerja untuk membiayai adiknya yang masih kelas 1 SMP kala itu. Sekarang adiknya sudah hampir lulus SMA, jadi ia bisa mengumpulkan uang untuk kehidupannya sendiri kelak.
“Gaji di Antasena Group sangat lumayan. Nanti kalau uangku sudah cukup, aku ingin membuka kedai kue dan kopi. Kamu harus menjadi pelanggang pertamaku. Tenang saja, untukmu gratis! Anggap saja sebagai biaya antar jemput selama kita bekerja di tempat yang sama!” cetus Lisa dengan berapi-api.
Freya tersenyum dan mengangguk. Tapi tak lama kemudian senyumannya membeku. Tunggu. Biaya antar jemput? Maksudnya ini bukan pertama dan terakhir kalinya? Kulit kepala Freya mendadak kesemutan.
“Berhenti di sini!” seru Lisa sembari menunjuk sebuah kontrakan yang berjajar empat pintu di pinggir jalan. “Tempat tinggalku yang paling ujung. Kamu mau mampir?”
“Tidak usah, aku harus tiba di kafe sebelum jam enam sore.”
“Kafe?” tanya Lisa dengan ekspresi heran.
“Iya, aku mengambil dua pekerjaan. Pagi sampai sore di Antasena Group, sore sampai malam di kafe.”
Lisa melongo, tapi detik berikutnya dia berseru, “Kamu superhero! Ajak aku untuk bekerja di kafe juga denganmu kalau ada lowongan! Dengan begitu aku bisa lebih cepat kaya!”
Freya tertawa mendengar teriakan yang tidak tahu malu itu. Karakter Lisa seperti kembang api, meledak-ledak, memesona, dan apa adanya. Ia merasa dirinya lumayan menyukai teman yang seperti ini.
“Oke, aku akan mengabarimu kalau ada lowongan. Aku pergi dulu.”
“Bye! Hati-hati di jalan! Jangan lupa besok jemput aku jam setengah tujuh! Jangan sampai terlambat!”
Kaki Freya hampir terpeleset saat memutar motor. Teman barunya ini benar-benar melampaui batas. Meski demikian, ia tetap tersenyum dan menjawab, “Oke. Aku jemput setengah tujuh.”
Dari kaca spion, ia melihat Lisa masih tetap berdiri di pinggir jalan dan melambai ke arahnya. Suasana hatinya terasa lebih baik. Ia tersenyum lebar. Hatinya terasa hangat. Ternyata memiliki teman itu rasanya tidak terlalu buruk ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
rayy syiiruup
baru nyadar kl dimanfaatkan teman baik😂
2024-03-21
1
VS
Eh Lisa jangan cm ibl1s, tp ibl1s betina 😂😂😂
2024-02-14
1
VS
dapat teman kayak kembang api, kl butuh tinggal dilempar aja ke musuh duarr 💥, musuh meledak
2024-02-12
2