Perjalanan ke kediaman Pramudya hanya memakan waktu setengah jam. Freya tidak bisa menahan diri dan terkagum-kagum ketika memasuki kawasan perumahan elit yang super mewah itu. Apalagi ketika mobil yang ditumpanginya berhenti di depan sebuah rumah yang sangat besar. Halamannya bahkan lebih luas lagi.
Gila! Berapa banyak uang yang dihabiskan untuk membangun kediaman semegah ini?
Freya benar-benar tidak bisa membayangkan seberapa besar kekayaan Pramudya Antasena. Mendadak ia merasa sangat gugup dan canggung. Perbedaan status sosial mereka terlalu mengerikan. Dalam segi apa pun, ia tidak pantas bersanding dengan Pramudya Antasena.
“Tidak mau turun?”
Freya tersadar dari lamunannya, menatap pintu mobil yang terbuka dengan linglung. Haruskah ia turun? Apakah bisa meminta sopir mengantarnya kembali ke kontrakannya yang sempit dan kumuh saja?
“Kamu harus belajar mengingat bahwa kesabaranku sangat terbatas.”
“Maaf, saya hanya ....” Freya menahan semua ucapannya dalam hati, lalu melangkah turun dengan sangat enggan. Seandainya Pak Bayu ikut datang ke tempat ini, mungkin ia akan merasa jauh lebih baik.
Di bawah sinar matahari pagi, bayangan Pramudya yang tinggi dan kokoh melingkupi tubuh Freya. Keduanya saling menatap dalam diam, tidak bisa menebak isi kepala masing-masing. Pada akhirnya, Pramudya yang lebih dulu memalingkan wajahnya dan berjalan masuk tanpa mengatakan apa-apa.
Freya mencibir dalam hati. Sikap dan kepribadian Pak Bayu jauh lebih menyenangkan dibandingkan CEO galak ini.
Gadis itu terdiam sejenak, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dua detik kemudian, ia mengikuti dari belakang dengan sangat hati-hati. Baru beberapa langkah, seorang pria paruh baya mengadangnya dan menyapa dengan sopan.
“Selamat pagi, Nyonya Muda. Saya adalah kepala pelayan. Saya akan mengantarkan Anda ke kamar.”
Freya menatap pria tua yang tampak ramah itu dan tersenyum. “Baik, terima kasih, Pak.”
“Nyonya tidak perlu sungkan. Mari ....”
Freya melirik sekilas kepada Pramudya yang menaiki anak tangga tanpa menoleh kepadanya, lalu mengejek dirinya sendiri dalam hati. Memangnya apa yang ia harapkan? Bahwa pria itu akan bersikap baik dan memperlakukannya dengan manis? Mimpi saja!
Para pelayan yang berjajar dari pintu masuk tidak berani mengangkat kepala mereka. Hanya sang kepala pelayan yang menyambut dan mengantarkan tamu Tuan mereka menuju kamar yang telah disiapkan. Mereka baru mendengar kabar bahwa Tuan mereka akan segera menikah. Sepertinya pagi ini Tuan membawa pulang calon nyonya mereka. Diam-diam mereka mendongak ketika sang Tuan telah mencapai anak tangga paling atas, lalu melirik ke awah gadis berpakaian sederhana yang sedang mengekor di belakang kepala pelayan.
Para wanita berpakaian pelayan itu saling menatap dan bertukar pandang. Tuan mereka ... akan menikahi gadis dekil itu? Apa mereka tidak salah lihat?
Mereka menghela napas dan kembali ke pos masing-masing. Sudahlah ... Tuan ingin menikah dengan siapa, itu sama sekali bukan urusan mereka.
Freya mengikuti kepala pelayan dalam diam. Sesekali matanya melirik ke kiri dan kanan, lalu dengan perlahan mengembuskan napasnya yang tertahan. Semua perabotan di dalam rumah itu jelas bukan barang-barang murah. Mulai dari pernak-pernik kecil di lemari pajangan hingga lukisan dalam bingkai sepanjang hampir dua meter yang terpasang di dinding, semuanya terlihat sangat berkelas dan elegan.
Gadis itu diam-diam menunduk dan memperhatikan sepatu yang dipakainya. Rasanya seperti ingin menangis. Perbedaannya terlihat seperti langit dan bumi. Sepasang sepatu yang dibelinya di Pasar Senen itu jelas berbeda jauh dengan semua barang yang ada di dalam rumah itu. Bahkan pakaian yang dibelikan oleh Pak Pram ketika ia di rumah sakit terlihat turun level ketika dikenakan olehnya.
Tiba-tiba suasana hati Freya menjadi buruk. Ia merasa berada di tempat yang salah. Dirinya sama sekali tidak pantas berada di sini, apalagi berdiri di sisi Pramudya Antasena.
“Nyonya, ini kamar yang untuk Anda.”
Sanga kepala pelayan berhenti tiba-tiba dan berbalik menatap Freya, membuat gadis itu hampir menabrak bahunya. Untung saja ia bisa mengerem tepat waktu, kalau tidak ....
Gadis itu tersenyum dengan canggung dan meminta maaf. “Maafkan saya, Pak ... saya nggak lihat Bapak berhenti.”
“Tidak apa-apa, Nyonya jangan sungkan. Oh, iya, Nyonya bisa memanggil saya Pak Anton.” Pria berambut putih itu tersenyum dengan sopan.
Freya membalasnya sambil mengangguk pelan. “Baik, Pak Anton. Terima kasih.”
“Silakan masuk, Nyonya. Kalau Nyonya memerlukan sesuatu, silakan gunakan ekstension yang ada di atas meja untuk memanggil pelayan.”
“Baik. Saya masuk dulu.” Freya mendorong pintu dan berjalan masuk.
Pak Anton pun segera berlalu setelah pintu kamar tertutup. Ia harus segera pergi dan memberikan pengarahan kepada ratusan pelayan yang berada di kediaman itu. Selama puluhan tahun, Pramudya Antasena tidak pernah membawa wanita ke rumahnya. Mereka sudah terbiasa dengan ritme yang teratur.
Akan tetapi, kali ini Pak mereka membawa pulang calon Nyonya Muda secara mendadak. Semuanya harus disiapkan dengan tergesa-gesa. Untung saja tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kalau tidak ... fiuh ....
Kepala pelayan diam-diam menyeka keringatnya. Ia sudah terlalu tua. Jantungnya tidak siap menerima perubahan mendadak seperti ini. Ia merasa bersyukur. Setidaknya calon Nyonya Muda mereka tidak terlihat seperti gadis-gadis kaya yang manja dan sok berkuasa. Gadis itu terlihat sangat sopan dan rendah hati. Semoga saja itu adalah sifat aslinya, bukan hanya sedang berpura-pura di depan Pak Pram.
Di kamar atas, Pramudya yang baru selesai mandi duduk di sofa dekat jendela. Ia membuka ponselnya dan membaca file yang dikirimkan oleh Bayu. Isi file itu adalah rangkuman informasi mengenai calon istrinya, mulai dari tanggal keberadaannya di panti asuhan; tempatnya menamatkan SD, SMP, dan SMA; juga informasi mengenai rekan kerjanya di kafe.
Selain itu, ada informasi tambahan bahwa Freya pernah mengikuti kelas karate dan memiliki sabuk hitam ketika masih kelas 2 SMA. Gadis itu juga pernah mengurus sebuah arena tarung jalanan bersama seorang teman laki-lakinya ketika duduk di bangku kelas 3 SMA. Akan tetapi, tahun berikutnya pria itu menghilang tanpa jejak, yang artinya ... saat ini sudah memasuki tahun ke-3.
Pram mengerutkan keningnya. Informasi terakhir terasa janggal. Mengapa pria itu pergi tanpa berpamitan? Apakah mereka bertengkar?
Pramudya menghubungi nomor Bayu.
“Siapa nama pria itu?” tanyanya begitu panggilan tersambung.
Bayu yang baru saja tiba di kantor mendadak mematung dan mencerna pertanyaan barusan. Pria mana? Apa maksudnya? Kenapa tiba-tiba bertanya tentang nama pria?
“Pria itu, siapa namanya? Kenapa dia meninggalkan gadis itu begitu saja?” desak Pram tak sabar. Kenapa otak sahabatnya sangat lambat?
“Oh ... pria itu ....” Bayu menahan diri untuk tidak memutar bola matanya dengan kesal. Pagi-pagi buta mengganggunya hanya untuk menanyakan nama saingan cintanya? Cih! Pramudya semakin senggang rupanya. Benar-benar tidak ada kerjaan.
Namun, meskipun begitu, Bayu hanya bisa mengatur nada bicaranya dan melanjutkan, “Aku hanya tahu nama samarannya adalah Thunder. Orang yang kusuruh untuk melacak keberadaannya belum memberi kabar. Aku akan segera memberitahukannya kepadamu jika sudah mendapatkan informasinya.”
“Kenapa mengurus hal sepele seperti ini saja lama sekali? Bagaimana kalau ternyata mereka bersekongkol dan mengincarku?” cecar Pramudya kesal.
Di sisi lain, Bayu menahan keinginan kuat untuk memaki sahabatnya dan menutup telepon saat itu juga. Namun, ia tetap berusaha untuk sabar dan berkata, “Kalau menurutmu mudah, kamu cari tahu sendiri saja. Atau kalau tidak, kamu batalkan saja pernikahan dengan gadis itu. Menikahlah dengan wanita yang sudah jelas asal-usul dan latar belakangnya. Jangan menyusahkanku.”
Pramudya terdiam beberapa saat mendengar omelan Bayu. Ia sadar dirinya terlalu banyak menuntut. Pantas jika Bayu emosi.
“Maaf, sudah merepotkanmu.”
"Hm." Bayu hanya bergumam dengan suara rendah.
Keduanya terdiam beberapa saat sampai akhirnya Bayu yang lebih dulu membuka suara.
"Pram, kamu tidak ingin memberitahukan hal ini kepada Pak Tua?" tanyanya. Sejujurnya ia mengkhawatirkn hal ini sejak Pramudya mengatakan ingin menikahi office girl itu. Akan tetapi, ia tidak berani bertanya.
Darian Antasena adalah pria tua yang temperamennya tidak bisa ditebak. Ia tidak ingin Pramudya mendapat masalah kalau pernikahan kontrak ini sampai di telinga kakeknya.
"Aku akan mengurusnya. Kamu urusi saja masalah pria itu." Pramudya menutup telepon dan menatap ke luar jendela.
Sial. Detak jantungnya melonjak karena emosi. Entah karena Bayu belum menemukan informasi itu atau karena memikirkan Freya pernah dekat dengan orang lain. Apakah gadis itu pernah menjalin hubungan dengan pria itu? Sampai sejauh mana hubungan mereka?
Kening Pramudya mengerut. Ia tidak menyukai wanita yang tidak bersih.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
Praised94
terima kasih 👍
2024-02-14
1
VS
Laa.. ini harusnya adegan nyomya dan tuan Pram, jgn dengan kepala pelayan Freee
2024-02-14
0
VS
Cemburu tandanya CINT💓 pak tua 😂😂
2024-02-12
1