Saat istirahat makan siang, Freya sudah hampir melupakan perihal lamaran dadakan yang dilakukan oleh atasannya. Namun, saat ia hendak menyuap sepotong ayam goreng mentega ke dalam mulutnya, tiba-tiba pria yang tadi berada di kantor Pramudya menghampirinya dan berdiri di hadapannya.
“Nona Freya, Pak Pram meminta Anda untuk segera ke ruangannya,” ucap Bayu dengan suara yang tidak terlalu keras, tapi tetap saja terdengar jelas.
Freya hampir tersedak. Ia buru-buru menepuk-nepuk dadanya, lalu mengambil botol air mineral dan minum sampai air dalam botol hanya tersisa separuh.
Sial. Ia cukup yakin semua orang yang berada di cafetaria dapat mendengar ucapan pria itu barusan. Buktinya kini semua mata tertuju ke arahnya dengan penasaran, beberapa malah sudah bisik-bisik dan menunjuk-nunjuk ke arahnya.
“Ha ... harus sekarang?” tanyanya dengan gugup. Kenapa pula pria ini harus menghampirinya di tengah keramaian? Tidak bisakah menunggu hingga ia selesai makan siang?
“Tidak bisa. Pramudya sudah memanggil pengacara untuk—“
“Oke.” Freya berdiri dari tempat duduknya dengan gerakan yang sangat cepat. Ia tidak ingin pria itu menyelesaikan ucapannya dan secara tidak langsung memberitahukan “rahasia” kecilnya kepada semua orang.
Freya tergesa-gesa meninggalkan cafetaria tanpa mengindahkan tatapan ingin tahu yang diarahkan kepadanya. Ia mempercepat langkah kakinya menuju lift, kemudian berpura-pura membuka ponsel dan menggeser-geser jarinya dengan asal.
Matilah aku. Apa kata orang-orang nanti? Pasti mereka akan mengira aku sudah hamil duluan ... mereka pasti akan menindasku habis-habisan, terutama perempuan-perempuan yang mengantri untuk mendapatkan Pramudya Antasena.
Tiba-tiba gadis itu merasa sangat menyesal. Kenapa ia menyetujui lamaran tadi dengan mudah. Sekarang, apakah ia masih bisa membatalkannya?
Bayu yang melihat tingkah Freya yang sedikit aneh langsung menebak bahwa mungkin sekarang gadis itu sedang merasa menyesal. Oleh sebab itu, ia sedikit merapat ke arah gadis itu. Untung saja hanya ada mereka berdua di dalam lift sehingga ia bisa menggoda gadis itu sesuka hati.
“Kenapa? Merasa menyesal?” tanyanya sambil mengerling jenaka. “Pramudya Antasena itu balok es. Bahkan hawa dingin yang dipancarkannya membuat takut iblis di neraka. Kamu sedang menjerat dirimu sendiri dengan pria yang tidak memiliki hati itu. Apa tidak takut mati?”
Freya tertawa canggung. Pria di sebelahnya itu ... bisa-bisanya menjelek-jelekkan atasannya sendiri seperti itu ... juga menakut-nakuti seorang gadis seperti ini ... benar-benar tidak tahu malu.
“Apa kamu ingin membatalkan persetujuanmu tadi pagi?” tanya Bayu tiba-tiba.
“Eh? Apa bisa seperti itu?” Mata Freya membola. Ia menatap Bayu dengan penuh harap.
Bayu tertawa hingga matanya menyipit. “Jadi kamu benar-benar berubah pikiran? Ingin melarikan diri? Ha-ha-ha ... mustahil! Pram pasti akan mengejarmu meski masuk ke lubang neraka. Dia selalu mendapatkan apa yang diinginkannya.”
Freya menelan ludah dan menggosokkan kedua telapak tangannya yang basah ke sisi tubuhnya.
Seharusnya aku tidak berbicara dengan bedebah ini, umpatnya dalam hati.
Gadis itu semakin gugup. Ia menatap pantulan bayangannya di lift yang mengilat. Ia dan Pramudya Antasena bagaikan Bumi dan langit. Benar-benar tidak cocok.
Ting.
Lift berdenting dan pintunya bergeser terbuka. Freya meneguk ludah. Ia merapikan rambut dan bajunya sebelum mengekor di belakang Bayu yang sudah lebih dulu berjalan menuju ruang kerja Pramudya.
“Ayo, masuk,” ucap Bayu seraya mendorong daun pintu hingga terbuka.
Freya menarik napas dalam-dalam sebelum masuk ke ruang kerja atasannya. Selain Pramudya, ada seorang pria yang mungkin berusia 50-an duduk di sebelahnya.
"Permisi," sapa Freya. Ia melangkah masuk dengan hati-hati.
"Kemarilah, Nona" balas pria paruh baya yang mengenakan kemeja putih itu. " Perkenalkan, saya adalah Brata Supardi, pengacara keluarga Antasena."
Freya menjabat tangan pria itu, "Selamat siang, Pak Brata. Saya Freya."
"Silakan duduk, Nona Freya. Karena Anda sudah datang, mari kita mulai," kata Pak Brata. "Pak Pramudya Antasena sudah memberikan beberapa persyaratan, silakan Anda baca lebih dulu."
Brata Supardi menyodorkan setumpuk kertas ke arah Freya. Gadis itu menerima dengan hati-hati lalu membacanya dengan teliti. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa pernikahan mereka hanya akan dilakukan dalam kurun waktu enam bulan. Tapi Pramudya Antasena akan menyerahkan sebuah rumah di tengah kota sebagai mas kawin. Selain itu, Freya akan menerima uang setiap bulan sejumlah 500 juta rupiah sebagai kompensasi. Biaya kuliahnya dan semua kebutuhan menyangkut bidang studi akan dibiayai sampai akhir. Selain itu, Freya dilarang mencampuri urusan pribadi Pramudya Antasena meski mereka harus tetap beradegan mesra di depan umum.
Enam bulan ... tidak terlalu lama .... Seharusnya cukup mudah ....
Freya mendongak, menatap Pramudya Antasena dan Pak Brata bergantian.
"Apakah ini perlu?" tanyanya. "Pemberian rumah dan uang ini ...."
"Pak Pramudya bersikeras tidak akan melanjutkan pernikahan ini jika Nona tidak mau menerima persyaratan itu," jawab Pak Brata.
"Pak ...."
"Apakah masih kurang?" sergah Pramudya. Ia terlihat sedikit tidak sabar.
"Tidak!” seru Freya dengan terkejut. Ia lalu buru-buru menjelaskan, “Tidak, bukan begitu maksud saya. Ini terlalu berlebihan. Saya tidak menginginkan uang dan rumah. Anda membiayai kuliah saya saja sudah lebih dari cukup.”
"Lalu apa kata orang-orang jika tahu aku tidak memberimu apa-apa sebagai mas kawin? Kamu ingin orang-orang mengejekku, ya?” tuduh Pram dengan mata memicing.
"Itu .... Anda sudah salah paham. Bukan itu maksud saya.” Freya tampak serba salah. “Saya bersedia menikah ...."
Pramudya terlihat semakin tidak sabar. "Cepat beritahu Pak Brata apa persyaratan yang kau inginkan."
“Ng ... itu ....”
Bayu yang memperhatikan interaksi kedua orang itu hanya mengusap dagunya sambil mengulum senyum. Jika ia tidak salah lihat, sepertinya Pram sedikit tertarik kepada gadis pelayan itu.
"Ada yang ingin Anda tambahkan, Nona?" tegur Bayu yang tidak tega melihat wajah Freya yang memelas.
“Itu ... saya ... saya ....”
“Tulis saja,” ucap Pak Brata seraya menyodorkan selembar kertas dan pulpen kepada Freya.
Freya ragu-ragu. Wajahnya pun terlihat sedikit memerah. Apa reaksi calon suaminya itu jika ia menulis syarat tidak boleh mencampuri urusan pribadi satu sama lain dan tidak boleh marah ketika ia menyukai pria lain? Diam-diam Freya mencuri pandang ke arah Pramudya. Ekspresi wajah pria itu tampak sangat serius, seperti sedang bernegosiasi dengan rekan bisnis mengenai sebuah kesepakatan kerja.
Tiba-tiba Freya merasa dirinya sangat konyol. Ia memang tidak tahu apa alasan Pramudya Antasena memintanya untuk menikah dengan tiba-tiba, tapi yang jelas itu bukan cinta. Ini memang hanya sebuah hubungan kerja sama saja, jadi tidak mungkin akan ada apa-apa di antara mereka, ‘kan? Tapi ... tak ada salahnya juga untuk berjaga-jaga. Biar bagaimana pun, mereka hanya orang asing yang terjerat dalam kerja sama.
Setelah menimbang dan memutuskan, ia pun segera mencatat persyaratan tambahan itu dan menyerahkannya kepada Pak Brata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
VS
macam cenayang pak
2024-02-19
1
VS
hahahaha.. belom tau kau kalo kak Biru punya alur cerita yg lain
2024-02-19
1
VS
baca sambil bayangkan muka Bayu yang mengerling jenaka (macam upin tuh)
2024-02-14
1