Rama Lazuardi

22 Oktober 2018

Pukul 08.52

"SAYA Rama Lazuardi dari harian Metropolis. Keperluan saya datang kemari adalah untuk meminta informasi. Apakah benar seorang jurnalis bernama Awan Semesta pernah bekerja di sini? Saya membutuhkan data-data lengkapnya, terutama alamat lengkap dan nomor ponselnya."

Karyawan resepsionis kantor media cetak Suara Massa tampak memandangi seluruh tubuh dan penampilanku. Matanya menelisik sekujur tubuhku sebelum berhenti pada kartu pers yang menggantung pada leherku.

"Maaf, Mas. Untuk urusan data-data internal perusahaan, saya tidak diperkenankan memberikan informasi pada pihak di luar kantor."

Aku mendengus putus asa. "Tapi, Mbak, bukankah nama yang saya sebutkan tadi, statusnya sudah tidak lagi menjadi karyawan di kantor ini?"

"Maaf, Mas. Bagaimana pun saya tetap tidak mempunyai wewenang itu. Tapi kalau memang Anda benar-benar membutuhkan data-data itu, saya sarankan Anda menghubungi pimpinan kami, Pak Hary Wiranata, secara langsung untuk meminta izin beliau terlebih dahulu."

Aku yakin saran resepsionis wanita itu tidak lebih dari prosedur birokratif semata. Aku mengerti kepentingan pihak kantor surat kabar Suara Massa yang menghalangi niatku menghimpun informasi tentang Awan tidak lain adalah demi menjaga kerahasiaan informasi internal mereka. Dewasa ini persaingan antar perusahaan pers memang semakin ketat, bahkan tidak jarang mereka menggunakan cara-cara licik untuk saling menjatuhkan. Maka, apa yang dilakukan oleh karyawan resespsionis itu sudah merupakan prosedur standar yang normal dan banyak diterapkan di beberapa kantor media cetak lainnya.

"Baik, Mbak. Terima kasih."

Diam-diam, aku mengumpat pada diri sendiri. Perjalanan investigasiku sudah menemui jalan buntu dan kebuntuan ini tidak lain karena kesalahanku sendiri. Mengapa waktu itu aku tidak kepikiran meminta alamat atau nomor kontak Awan? Seandainya aku tidak terlampau curiga saat itu, mungkin semuanya tidak akan serumit ini. Setelah mengkaji lebih dalam hasil investigasi yang diserahkan Awan tempo hari, aku menemukan bagian yang hilang. Ada hubungan yang terputus antara beberapa kasus yang menjadi fokus investigasi. Dan, tentu saja, hanya Awan yang bisa memecahkan misteri itu.

Dengan langkah putus asa, aku menapaki jalan menuju pintu keluar lobi kantor Suara Massa. Usahaku untuk melacak keberadaan Awan tidak membuahkan hasil. Kelihatannya, aku memang harus memulai investigasi ini dari awal, dan itu akan sangat menyita waktu. Di samping itu, aku juga harus menyusun ulang beberapa keterangan dari narasumber di lapangan demi kepentingan profesionalku sebagai wartawan Metropolis.

"Bodoh!" umpatku, sambil melintasi pintu otomatis di lobi Suara Massa. Baru beberapa langkah aku melampaui pintu, tiba-tiba seseorang memanggil namaku. "Rama!"

"Andika?" Keningku mengernyit mendapati rekan kerjaku di Metropolis itu justru berada di kantor perusahaan kompetitor. "Ngapain di sini?"

"Aku baru selesai interview."

"Interview? Kamu melamar kerja di sini?"

"Begitulah. Aku sudah frustrasi dengan keadaan di Metropolis. Kamu tahu lah."

"Memangnya kontrak kerjamu udah mau habis? Kok bisa-bisanya melamar di tempat lain?"

"Belum sih. Cuma antisipasi aja. Belakangan ini, si Bos juga sudah gerah dengan kinerjaku. Sebelum dia menendangku keluar, aku harus mempersiapkan diri."

"Ooh." Aku mengangguk mafhum sembari melanjutkan langkahku menuju areal parkir. "Ngomong-ngomong, gimana tadi interview-nya?"

"Lumayan sih. Kayaknya aku positif bakal pindah ke sini, Ram. Tadi mereka minta aku kembali seminggu lagi untuk fit and proper test."

"Terus, kontrak kerjamu di Metropolis gimana?"

"Menurutku, sih, nggak masalah kalau aku mengajukan surat resign. Nggak akan kena penalty juga."

"Kamu yakin? Kamu belum jadi karyawan tetap lho."

"Lagipula, Bos Raymond bisa apa, Ram? Mau mempolisikanku? Mana mungkin dia mau mengeluarkan duit banyak buat menggugat ke pengadilan? Sedangkan keuangan kantor saja masih bermasalah sampai sekarang."

"Benar juga ya?" Aku tertawa ringan sambil menepuk bahu Andika, sahabatku. "Selamat deh kalau gitu. Kalau kamu jadi pindah, jangan hapus kontakku ya?"

"Ah, biasanya kalau lagi butuh bantuan atau pinjaman duit, kamu juga langsung datang ke rumah. Kalau sewaktu-waktu kamu butuh bantuan lagi, tinggal mampir aja. Kayak sama siapa aja."

"Oke. Paham aku. Yang mau pindah ke kantor gede," selorohku.

"Resek! Gelagatmu nggak berubah dari dulu."

Seketika tawaku meledak begitu kami menjauh dari gedung kantor Suara Massa yang menjulang tinggi.

"Eh, ngomong-ngomong, aku belum tanya. Kamu sendiri sedang apa di sini?" Tiba-tiba Andika menatapku curiga. "Jangan-jangan kamu diam-diam juga melamar kerja di sini ya?" tukasnya.

"Ah, enggak. Aku belum tertarik untuk pindah. Cuma ada keperluan lain aja tadi."

"Keperluan lain?"

"Aku mau cari info alamat seorang wartawan yang dulunya pernah bekerja di sini. Namanya Awan. Awan Semesta."

"Cewek apa cowok?"

"Cowok!" Aku buru-buru menjawab pertanyaan Andika yang menggelitik itu dengan penegasan. "Heran. Pikiranmu selalu nggak pernah jauh-jauh dari urusan cewek."

"Enggak. Aku kan cuma ingin memastikan," ujarnya, masih dengan senyum menggelitik, "Memangnya ada perlu apa kamu sama wartawan itu?"

Mendadak, aku kembali lesu. Pikiranku kembali teringat pada nasib investigasiku yang sampai saat ini masih menggantung. "Itu dia. Kamu masih ingat kejadian di ruangan Bos Raymond seminggu yang lalu?"

"Waktu kamu marah-marah di sana itu? Gila! Aku nggak nyangka kamu bisa seberani itu. Aku masih ingat saat kamu keluar dari ruangan itu. Aku dan teman-teman sampai nggak berkedip melihat kamu sehabis kejadian." Andika terlihat bersemangat mengekspresikan ketakjubannya terhadap kemarahanku saat itu. "Tapi kalau boleh tahu, apa sih yang terjadi waktu itu?"

Aku mengambil napas panjang sejenak. "Dalam suatu kesempatan, Awan, jurnalis yang kumaksudkan tadi itu, mendatangiku untuk memintaku melanjutkan investigasi sebuah kasus penting. Dia mengaku baru saja diberhentikan dari kantor ini karena ngotot ingin menggarap liputan investigasi itu."

"Sebentar. Investigasi kasus penting? Maksudmu, yang berhubungan dengan orang-orang penting?"

"Begitulah. Kantor harian ini tidak mau mengambil resiko dan memilih menendangnya keluar. Karena itulah, akhirnya dia menemuiku untuk memintaku melanjutkan investigasi itu mengingat aku masih mempunyai akses di media."

Kening Andika mendadak kisut. "Lalu hubungannya dengan si Bos?"

"Seminggu yang lalu, aku membujuk beliau untuk mengijinkanku melanjutkan investigasi ini. Tapi, rupanya sama seperti sikap pihak kantor media cetak ini, beliau juga tidak mau ambil resiko dan menolak usulan investigasiku. Beruntung, aku nggak sampai diberhentikan."

"Tuh, kan? Benar kataku. Kamu itu anak kesayangan Pak Raymond."

Aku geram juga mendengar selorohan Andika yang tidak tepat pada waktunya itu. "Aku lagi serius, Ndik!" bentakku dengan nada yang lantang.

"Sorry sorry, Ram. Sorry. Jangan emosi."

Entah mengapa, darahku tiba-tiba mendidih gara-gara ucapan Andika itu. Bahkan usai dia memohon maaf pun, aku masih cukup kesulitan mengendalikan amarahku. Aku sampai harus menghentikan langkahku sebentar untuk menenangkan diri.

"Rama," Andika yang heran dengan kondisiku yang tidak seperti biasanya itu berusaha menenangkanku dengan mengusap-usap bahuku. "Kamu nggak perlu frustrasi begini. Kamu butuh bantuan apa? Bilang aja sama aku."

Pelan-pelan, aku mengambil napas panjang beberapa kali. Setelah merasa cukup tenang, aku mulai merespons tawaran Andika. "Nggak perlu repot-repot, Ndik. Aku nggak mau kamu juga ikut terlibat. Ini sangat beresiko untuk karirmu."

Andika berpikir beberapa saat. "Mmm... Mungkin aku bisa membantumu mencari informasi tentang wartawan itu. Oh ya, siapa namanya? Awan…?”

“Awan Semesta.”

“Seperti yang aku bilang tadi, besok lusa aku ada jadwal fit and proper test di kantor ini. Dan, kemungkinan besar kalau aku lolos tes terakhir itu, bulan depan aku akan mulai ngantor di sini."

Selang beberapa detik, mataku terpaku menatap wajah rekanku itu. Aku teringat masa-masa ketika kami berdua saling bekerjasama, saling bahu membahu di bawah bendera Metropolis. Sejauh yang kuingat, laki-laki yang usianya lebih muda dariku itu, memang figur sahabat yang tulus. Tidak terhitung berapa kali aku meminta bantuannya, terutama untuk problem finansial yang sering membelitku. Tiba-tiba, aku merasa bersalah telah menumpahkan kekesalanku padanya beberapa saat yang lalu.

"Sorry ya, Ndik. Tadi aku hilang kendali."

"Nggak usah dipikirkan," Andika tersenyum lebar. Sama sekali tidak ada yang berubah dari raut mukanya yang ceria. "Gimana? Kamu masih mau dibantu, nggak?"

"Boleh. Kalau kamu nggak keberatan. Kalau urusan investigasi ini lancar, nanti aku traktir, deh."

"Traktir? Duit dari mana? Buat makan sehari-hari saja masih kesulitan," sergahnya, sambil tertawa meledekku. "Sudah ah. Aku mau balik ke tempat liputan. Kasihan, si Anggi sudah menunggu terlalu lama."

Mendadak, aku teringat seseorang yang juga sedang menungguku untuk keperluan yang sama: Pak Markus! Pukul 08.00 pagi tadi, aku memintanya untuk berangkat lebih dahulu ke gedung pengadilan negeri untuk meliput jalannya persidangan sebuah kasus. Sementara sekarang jarum jam tanganku sudah cukup jauh melewati angka 9. Itu berarti aku sudah membuatnya menunggu selama satu jam lebih.

"Aduh, celaka!" seruku, sembari memukul kening.

"Kenapa?" tanya Andika yang belum sempat meninggalkanku.

"Pak Markus sendirian di pengadilan negeri! Aku cabut duluan ya?" Usai berpamitan singkat, aku langsung menghidupkan mesin motorku dan menggebernya beberapa kali. "Jangan lupa info soal Awan ya?" pungkasku sembari memajukan perseneling motorku. Dalam hitungan detik, motorku langsung melenggang meninggalkan areal parkir kantor Suara Massa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!