Djanus Riyadi

09 Oktober 2018

Pukul 02.03

Malam Purnama

MATAKU berhenti terpejam. Tanpa sadar, selimutku tersibak. Tak sampai setengah menit, kesadaranku pulih. Beberapa saat yang lalu, aku merasa ada keganjilan yang membuatku terjaga dari lelap. Antara sadar dan tidak sadar, aku merasa mendengar suara aneh, suara geraman binatang buas! Hingga beberapa detik setelahnya pun, suara itu masih jelas terngiang, menggema di dalam batok kepalaku.

Sempat dilanda penasaran, aku mencari tahu apakah suara itu memang benar-benar nyata atau cuma efek tempias dari alam mimpi. Aku bergegas bangkit untuk meraih posisi duduk di atas ranjang. Mataku mengedar pandangan ke seluruh penjuru ruangan kamar tidurku. Tidak ada siapapun. Tidak ada tanda-tanda kehadiran sesosok wujud pun. Ruangan ini masih tetap sama. Tak jauh berbeda seperti saat aku terlelap berjam-jam yang lalu. Kalaupun ada yang berubah, barangkali hanya auranya saja yang tak lagi benderang.

Cat dinding yang biasanya cerah, mendadak berubah pucat. Ornamen lampu gantung yang menghiasi atap plafon ruangan memang masih mampu mengusir kegelapan, namun—tak seperti biasanya—nyala cahaya yang ditebarkan oleh susunan lampu bohlam itu tampak meremang. Seakan-akan memancarkan nuansa muram dan mencekam. Namun, aku buru-buru menepis anggapan negatif itu. Boleh jadi, itu tak lebih karena indra penglihatanku belum pulih benar pasca terbangun dari tidur.

Lagipula, belakangan ini aku terlampau direpotkan dengan kiriman surat kaleng bernada ancaman yang sering kuterima dari orang-orang iseng. Aku berusaha mafhum karena itu sudah resiko menjadi seorang pengusaha besar. Jauh sebelum ini, aku memang kerap menerima ancaman-ancaman serupa, dan ujung-ujungnya semuanya cuma pepesan kosong. Akan tetapi, aku tetap tidak bisa membohongi diri sendiri. Hal-hal semacam itu tetap saja selalu berimbas terhadap ketentraman batinku, masuk ke dalam alam bawah sadarku hingga menciptakan mimpi-mimpi buruk saat aku tertidur. Brengsek. Dasar orang iseng!

Kayu yang menjadi fondasi ranjangku berderit saat kuputar posisi dudukku 90 derajat. Perlahan, aku menurunkan kakiku, mendaratkan kedua telapaknya ke permukaan ubin. Hawa dingin serta-merta menyambut kulit telapak kakiku yang telanjang. Suhu panas yang menguasai tubuhku akibat tidur selama berjam-jam pun tak kuasa melawan serangan dingin itu hingga membuat napasku sempat tertahan merespons sengatannya yang nyaris membekukan kulit telapak kaki.

Agaknya cuaca malam ini telah purna menebar dingin ke seantero ruangan. Meski pendingin ruangan juga turut ambil bagian, tak salah jika aku menyebut bahwa malam ini udara memang terasa menusuk tulang. Kondisi itu juga diamini oleh kenyataan bahwa suhu teh hangat yang mengisi cangkir stainless milikku telah jauh menurun. Saat bibirku menyentuh larutan dedaunan itu, tak lagi terasa sundutan cairan panas kendati cangkir kedap udaraku sebelumnya dalam kondisi tertutup rapat.

Tegukan demi tegukan teh leluasa mengalir masuk ke dalam rongga kerongkonganku. Setidaknya cita rasa dan keharumannya masih cukup memuaskan seleraku meski kehangatannya telah sirna. Justru, kesejukan yang ditularkannya ke kerongkonganku mampu mengatasi rasa haus yang muncul setelah terjaga dari tidur.

Usai menaruh kembali si cangkir stainless, kugerakkan jemariku untuk mengusap-usap kedua kelopak mataku yang belum sepenuhnya terbuka. Kendatipun tak banyak membantu menyegarkan pandangan, setidaknya itu mampu menanggalkan sisa-sisa peluh kantuk yang mengering di sudut mataku. Mataku sendiri pun harus terpejam sejenak agar jemariku lebih leluasa melakukannya.

Setelah puas membersihkan kelopak mata, aku kembali mengaktifkan pandanganku, namun mendadak jantungku melonjak. Aku terperangah. Sepasang mataku yang baru kembali terbuka itu justru terbelalak. Sesosok makhluk misterius berwujud gelap tiba-tiba saja menampakkan diri beberapa meter dari tempat tidurku.

Sempat aku mengerdip untuk memastikan bahwa aku tak sedang berhalusinasi, tetapi sosok itu tak kunjung menghilang. Justru wujudnya tampak semakin nyata. Perlahan, makhluk itu bergerak menghampiriku. Derap langkah kakinya yang berat menghentak-hentak jantungku yang berdegup kencang. Matanya menyala laksana bulatan api yang berkobar. Alisnya yang terangkat menyeringai tajam ke arahku. Pada kesepuluh jari tangannya, mencuat kuku-kuku tajam yang berkilat-kilat memantulkan cahaya penerangan.

Sementara keringat dingin mulai meleleh di pelipis kiriku, sekali lagi aku berusaha memejamkan mata. Setidaknya barang sejenak. Aku masih berharap sosok itu segera menghilang dari pandanganku. Berharap wujudnya yang sedang kusaksikan saat ini benar-benar tidak nyata. Lalu, dalam hitungan ketiga, aku kembali membuka kelopak mata. Syukurlah, dugaanku tepat. Makhluk itu benar-benar raib bak ditelan bumi, atau barangkali ditelan kesadaranku yang mulai pulih.

Lega, napas panjangku pun melenggang. Merasa lebih tenang, aku segera menaikkan kakiku kembali ke atas ranjang, memutar badan 90 derajat pada posisi semula dan bersiap untuk melanjutkan peristirahatan. Tangan kananku berusaha meraih selimut yang sempat tersibak saat terbangun dari tidur.

Namun, ...

Jantungku kembali terguncang. Dari balik selimut, sosok hitam itu tiba-tiba muncul lagi. Kali ini ia tak berjarak denganku. Keterkejutanku berubah menjadi kepanikan ketika tangan makhluk itu melayang menghampiri wajahku. Kuku-kukunya yang tajam berkelebat mencakar mukaku.

Tubuhku yang tak siap menerima serangan mendadak terpelanting dan terhempas dan mendarat di lantai ruangan. Aku tak mampu mengendalikan hempasan itu sehingga tubuhku pun telak menghantam meja kecil di sebelah tempat tidur. Hal itu membuatku semakin hilang kendali. Aku terguling beberapa kali sebelum akhirnya terjengkang pada posisi terlentang.

Di posisi itu, aku bisa menyaksikan dengan jelas wajah makhluk hitam yang menyeramkan itu. Entah merupakan halusinasiku atau bukan, penampakan makhluk itu jelas tak menyerupai manusia biasa. Rahangnya menonjol mirip anjing, lengkap dengan moncong yang menganga dan taring yang siap memangsa. Sembari bangkit berdiri, makhluk itu menuruni ranjang dan melangkah mendekatiku.

"APA-APAAN INI? KAMU SIAPA?" Mulutku meracau tidak jelas. Sementara kedua lenganku berusaha menggeser-geser tubuhku agar menjauh dari makhluk itu.

"JANGAN MENDEKAT!" seruku, dengan intonasi setinggi-tingginya, berharap makhluk itu akan takut seperti anjing peliharaanku.

Makhluk itu tak menggubris. Ia justru semakin mendekat. Langkahnya yang perlahan itu terseret. Semakin dekat. Ia semakin dekat.

"Tolong... Ampun... Saya masih punya keluarga...," Aku mulai mengiba ketika benar-benar menyadari bahwa makhluk itu tak mengenal rasa takut. "Kalau kamu mau uang saya, ambil berapapun yang kamu mau... Tapi jangan sakiti saya...." Kata-kata memelasku sia-sia. Makhluk itu tetap tak menggubris. Langkah kakinya yang hanya tinggal beberapa sentimeter dari posisiku itu juga tak mau surut.

Aku mulai pasrah saat ia berdiri tepat di depanku. Lagi-lagi, dengan gerak perlahan, kuku-kukunya yang sempat merobek kulit mukaku itu terangkat ke udara. Sayup-sayup, mulutnya menggeram. Gigi-giginya saling beradu.

Sementara itu, keringat dingin yang meleleh di sekujur mukaku sudah sebesar biji-biji jagung. Napasku tertahan. Mulutku terkatup rapat. Tidak ada lagi kata-kata memelas yang keluar dari mulutku. Di situasi seperti ini, tak ada pilihan lain bagiku, selain kembali memejamkan mata. Setidaknya aku mengharapkan dua kemungkinan yang terjadi ketika aku kembali membuka mata. Makhluk itu menghilang kembali, atau aku hanya sekadar bermimpi.

Namun, tiba-tiba aku merasakan tenggorokanku tercekik. Saat kubuka mata kembali, genggaman tangan makhluk itu tahu-tahu sudah hinggap di leherku. Dalam sekejap, pasokan oksigen di tubuhku terhambat. Aku merasakan kedua bola mataku nyaris keluar dari tempatnya ketika makhluk itu mulai mengangkat cengkramannya pada leherku. Tak pelak, tubuhku pun ikut terangkat. Aku mencoba berontak sekenanya. Kakiku menendang-nendang di udara. Namun, itu justru membuat cengkeramannya semakin kuat.

Samar-samar telingaku mendengar bunyi napasku yang tersedak. Aku mencoba berteriak meminta pertolongan, namun yang terdengar hanya suara dengkuran yang makin kencang. Sementara kuku-kuku tajam makhluk itu perlahan mulai menembus permukaan kulit leherku, melesap hingga menghalangi jalur pernapasan.

Sementara melalui pangkal lidahku, aku mencecap rasa asin yang tak normal. Penciumanku lamat-lamat mencium bau anyir yang lumayan pekat. Kemudian, bersamaan dengan bunyi dengkurku yang selanjutnya, mataku menangkap cipratan-cipratan cairan merah yang terpancar dari kerongkonganku. Lambat laun, penglihatanku mulai kabur, seolah-olah ada gumpalan mendung yang menggelayut di pelupuk mataku.

Saat aku sudah hampir tak sadarkan diri, cengkeraman kuku makhluk itu berangsur melemah. Pelan-pelan, ia menurunkan tubuhku yang tercekik di udara. Ada segelintir kelegaan saat telapak kakiku kembali mencicipi hawa dingin lantai keramik. Sayangnya, lututku sudah tak sanggup lagi menopang berat badanku. Saat makhluk itu hampir melepaskan tangannya, aku pun nyaris ambruk.

Akan tetapi, entah bagaimana, aku kembali merasakan cengkram tangan yang sama di leherku. Kali ini, aku bisa merasakan kuku-kuku tajam menusuk kerongkonganku. Makhluk itu rupanya belum ingin melepaskanku. Cengkeraman yang tadinya hampir terlepas itu justru jauh lebih kuat dari sebelumnya. Tubuhku kembali terangkat. Aku tak lagi menghiraukan cipratan demi cipratan darah yang kian liar memancar.

Aku sudah pasrah ketika tangan kiri makhluk itu mulai ikut terlibat. Telapaknya mendarat tepat di ubun-ubunku. Dengan sekali hentakan, jari-jari tangan itu menarik kuat-kuat rambut dan kulit kepalaku. Perlahan aku bisa merasakan jaringan-jaringan otot di sekitar leher dan daguku mulai meregang. Sementara kuku-kuku yang mencengkeram leherku serentak bergerak memutar dan…

KRAAKKKK!

Pandanganku suram seketika. Samar-samar, aku melihat tubuh tanpa kepala yang basah oleh kucuran darah segar. Tubuh itu menggelinjang sebelum akhirnya tumbang dan menggelepar di atas lantai yang penuh bercak darah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!