03 Oktober 2018
Pukul 05.06
SKEMA pembuangan sampah di rumah susun ini sebenarnya sudah cukup efektif dan efisien. Rumah susun ini menawarkan solusi cerdas dalam menanggulangi permasalahan sampah. Para arsitek yang mendesain bangunan ini sengaja menempatkan pintu-pintu yang menyerupai jendela di ujung koridor tiap-tiap lantai sebagai akses pembuangan sampah.
Skema pembuangan sampah ini bekerja dengan sistem yang menyerupai cara kerja lift di bangunan-bangunan mewah. Pintu-pintu yang tersedia di masing-masing lantai itu terhubung dengan sebuah lorong sumur yang memanjang vertikal dan terhubung dengan seluruh lantai bangunan. Cara kerja ini sangat memudahkan para penghuni untuk mengelola sampah rumah tangga mereka karena, untuk melakukan pembuangan sampah, mereka hanya perlu memasukkannya ke dalam lorong sumur melalui pintu-pintu yang sudah disediakan di masing-masing lantai.
Adapun, sampah-sampah itu bermuara pada satu titik, yakni sebuah bak raksasa di lantai dasar bangunan, tepatnya di bawah pintu pembuangan untuk para penghuni lantai satu. Bak raksasa yang menganga di bawah lantai satu itu berfungsi sebagai tempat penampungan utama sebelum sampah-sampah itu naik ke mobil pengangkut milik dinas kebersihan. Di satu sisi, sistem pembuangan semacam ini memang sangat memanjakan para penghuni karena mereka tak perlu repot menyeret-nyeret sampah di sepanjang anak tangga. Akan tetapi, seperti kata pepatah klasik: tiada gading yang tak retak, skema ini tak luput pula dari sejumlah permasalahan.
Masalah klasik yang kerap muncul adalah terjadinya penyumbatan yang menghambat laju gravitasi sampah di sekitar terowongan lift. Biasanya hal itu ditandai dengan menguarnya aroma tak sedap di sekitar pintu-pintu terowongan. Sialnya, pagi-pagi buta begini, giliran aku yang harus menghadapi permasalahan itu. Saat hendak membuang sampah, tiba-tiba indra penciumanku dirongrong oleh bau busuk yang berpangkal di lubang pintu pembuangan. Merasa gusar dengan keadaan yang tak nyaman itu, aku mencoba memeriksa saluran terowongan. Sambil menghimpit lubang hidung, kumasukkan kepalaku ke dalam lubang pintu pembuangan untuk mencari tahu biang keladinya.
Baru beberapa sentimeter aku mengintip dari pintu lift lantai empat, mulutku langsung berdecak menyaksikan sejumlah gumpalan kantong plastik yang menyumbat laju pembuangan di sekitar lubang pintu lantai tiga. Karena ukurannya yang terlalu besar, kantong-kantong plastik yang mulai dikerumuni lalat itu menutupi akses terowongan sumur dan menghalangi laju sampah untuk sampai ke bak sampah di lantai dasar.
Sebenarnya hal itu bukan perkara baru. Selama ini pintu pembuangan lantai tiga memang sering bermasalah. Perangai jorok para penghuni lantai tiga sepertinya patut digarisbawahi sebagai pangkal dari permasalahan ini. Beberapa kali aku memergoki mereka asal melempar sampah sekenanya tanpa memerhatikan ukuran kantong yang mereka pergunakan. Bahkan, ketika bau busuk mulai mengganggu pernapasan pun, mereka tetap cuek bebek.
Untuk mengatasi persoalan sampah ini, aku enggan melibatkan para penghuni lantai tiga yang jelas-jelas tak pernah mau ambil pusing. Aku harus melakukannya sendiri dengan beragam pilihan solusi yang sudah ada dalam pemikiranku. Solusi pertama adalah dengan turun melewati tangga utama menuju lantai tiga, namun, setelah aku pikir masak-masak, solusi itu akan menguras banyak tenaga.
Anggap saja jarak antara pintu lift lantai empat dan tangga utama sekitar satu kilometer. Sementara dari tangga utama ke pintu pembuangan lantai tiga, kurang lebih sama. Karena pilar bangunan yang memisahkan lantai empat dengan lantai tiga panjangnya sekitar empat meter, maka kesimpulannya aku harus menempuh jarak kira-kira 24 meter untuk menuju ke bawah sana. Mempertimbangkan banyaknya waktu dan tenaga yang akan terbuang, akhirnya kuputuskan untuk memilih solusi kedua, yakni langsung memanjat turun melalui terowongan sumur. Kalau soal panjat-memanjat, aku memang tak perlu diragukan lagi.
Baru saja aku berniat memasuki pintu pembuangan, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara berisik dari arah lantai tiga. Sesosok laki-laki tampak membuka pintu pembuangan lantai tiga. Laki-laki itu lantas mendorong kantong-kantong plastik yang menyumbat saluran terowongan dengan tangannya sendiri. Hanya dalam beberapa kali kesempatan, bungkusan-bungkusan sampah itu akhirnya lolos dan mendarat mulus ke dalam bak raksasa di lantai dasar.
Laki-laki itu pun menghembuskan napas lega karena mungkin beberapa saat yang lalu ia sengaja menahan napas agar aroma busuk tidak mampir di penciumannya. Celakanya, setelah itu, ia menyempatkan diri untuk mendongakkan kepalanya. Ekspresinya agak terkejut saat melihat separuh badanku yang sudah nangkring tepat di atasnya. Matanya sempat terpicing sesaat untuk mencoba mengenali wajahku.
"Diandra? Kamu ngapain di situ?" sapa laki-laki itu dengan muka keheranan.
(Rama! Itu Rama!)
Buru-buru aku menarik beberapa anggota badanku yang sudah terlanjur memasuki terowongan. "Nggg... Ini, Ram. Lagi olahraga." (Olahraga, katamu?) "Ma… maksudku olahraga sambil mau buang sampah."
"Oh," Seketika senyum Rama menyimpul melihat polah tingkahku yang memang terlihat aneh bagi kalangan umum. (Setuju, Diandra. Kau memang perempuan yang aneh.) "Kamu butuh bantuan?"
"Nggak usah repot-repot, Ram. Sampahnya cuma sedikit kok."
"Ah, nggak apa-apa. Tunggu sebentar ya. Aku naik dulu lewat tangga."
Untuk mendeskripsikan Rama, sepertinya aku perlu menarik tudinganku sebelumnya tentang para penghuni lantai tiga. Menurutku, sosok Rama adalah satu-satunya penghuni yang layak dikecualikan. Dia satu-satunya simbol keramahan di rumah susun ini. Kepedulian sosial yang sering ditunjukkannya itu ibarat oase di tengah-tengah kondisi sosial masyarakat ibukota yang angkuh dan apatis. Dan satu hal dari Rama yang menurutku tak kalah istimewa dari sederet sifat-sifat baiknya adalah senyum khas miliknya yang kharismatik. Setiap kali aku menjumpainya, senyum itu selalu menjadi hal yang paling kunantikan.
Tak sampai semenit usai dia menghilang di balik pintu pembuangan lantai tiga, Rama akhirnya tiba juga di lantai empat. Mendadak jantungku berdegup kencang saat melihat sosoknya menapaki ubin di sepanjang koridor lantai empat. Setiap bunyi derap langkahnya menyerupai debur godam yang menghajar rusukku berkali-kali.
(Cepat menghindar, Diandra. Kau belum benar-benar siap untuk bicara dengannya.)
"Itu sampahnya, Di?" tanyanya sambil menunjuk dua bungkus kantong plastik besar yang tergeletak di ujung koridor. Tak menunggu lama, Rama langsung menghampiri kantong-kantong gemuk itu dan mengangkatnya. Satu per satu kantong plastik itu sukses diloloskannya ke dalam saluran terowongan. Sejurus kemudian, samar-samar terdengar bunyi gedebum dari arah dasar bangunan.
"Berat ya, Ram?" tanyaku, basa-basi.
Rama meniupkan napas panjang sejenak sebelum menjawabku. "Huffh... Lumayan." Senyum itu akhirnya muncul juga.
"Makasih banyak lho."
"Santai aja, Di," balasnya sambil melirik keran air di ujung barat koridor. "Cuci tangan dulu yuk?"
Sembari mengangguk, aku mempersilakan Rama untuk mengambil giliran pertama.
"Kamu kok jarang kelihatan sekarang?" Sambil mengusap kedua telapak tangannya di bawah air keran, ia ganti menanyaiku.
"Iya nih. Sepanjang semester ini, aku makin sibuk ngurusin kuliah."
"Emang sekarang sudah semester berapa?"
"Tingkat akhir. Udah mulai skripsi sih. Cuma jadi makin sibuk ngumpulin bahan. Akhir-akhir ini aku juga lebih sering menginap di rumah teman yang lokasinya dekat dengan kampus. Biar nggak capek bolak-balik."
Rama merespons dengan anggukan maklum. Selepas itu, dia lebih memilih untuk diam seribu bahasa. Seketika itu, situasi berubah senyap. Tak ada lagi yang terdengar, kecuali gemercik air keran.
Sebelum suasana menjadi benar-benar dingin, aku buru-buru menyergapnya dengan pertanyaan baru. "Kamu sendiri lagi sibuk apa sekarang?"
Sembari ganti mempersilakanku mencuci tangan, Rama lagi-lagi tersenyum. "Seperti biasa. Masih sibuk bertugas di harian Metropolis. Belum ada perkembangan baru."
"Oooh," sahutku. "Ngomong-ngomong, enak nggak sih jadi wartawan?"
"Kalau ditanya soal enak nggak enak, itu sih soal selera. Tapi yang jelas nggak ada pekerjaan yang mudah. Kalau capek, itu sudah pasti. Soalnya, selain hunting berita siang malam, aku juga harus menulis laporan."
"Wah, capek juga ya?"
Rama menaikkan kedua alisnya sambil tersipu. "Tapi uniknya, jadi wartawan kriminal itu berasa kayak jadi dokter, lho."
"Dokter? Hubungannya?"
"Sama-sama bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Bedanya, rejeki dokter bergantung sama orang sakit, sementara aku bergantung sama pencuri, pencopet, perampok, pembunuh, dan spesies penjahat lainnya."
Seloroh Rama sepertinya lumayan membantuku mengusir canggung. Sembari melangkah bersisian menuju kamar masing-masing, perbincangan kami pun terus mengalir jernih. Sayangnya, aku cukup sadar bahwa kebersamaan ini hanya akan berlangsung singkat. Kami berdua mesti melanjutkan rutinitas masing-masing.
"Sampai ketemu lagi ya, Ram," pungkasku, ketika sudah sampai di depan pintu kamar.
Lagi, pria itu membalasku dengan senyum kharismatik yang memukau itu. Tak lama, ia mulai menjauh meninggalkanku yang berdiri mematung. Diam-diam, ada perasaan aneh yang menggelitik rongga dadaku. Ada kerumunan rumput liar yang tumbuh di tempat yang tak seharusnya dan berpotensi merusak pemandangan.
Apa lacur? Rumput liar itu telah tumbuh dengan sendirinya. Aku bukannya tidak menyadari bahwa ‘Juragan’ akan segera mengetahui tentang hal ini. Selama ini beliau selalu mengetahui segalanya. Aku juga sadar Juragan tak akan tinggal diam dan akan bertindak dengan caranya sendiri. Tetapi, aku berhak membiarkan rerumputan liar itu tumbuh memenuhi halaman rumahku sendiri.
Maafkan aku, Juragan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments