Rama Lazuardi

10 Oktober 2018

Pukul 16.50

"BAGAIMANA menurutmu?" Awan menatapku dengan sumringah setelah melihatku keheranan. Telunjuknya bergerak ke sana ke mari, tepat di atas karton berukuran jumbo miliknya. "Saya telah mengerjakan laporan investigasi ini dua tahun belakangan. Tidak mudah mengumpulkan data-data ini."

Aku hanya menanggapi seperlunya. Sudah itu, mataku kembali sibuk mengamati semua yang ada di atas permukaan karton itu.

"Kamu kenal orang ini?" Awan menunjuk salah satu foto yang ada pada karton jumbo.

"Albert Riyadi? Pengusaha yang tewas karena serangan jantung itu?"

Awan mengangguk. "Sayangnya saya kurang setuju soal serangan jantung itu." Dahiku semakin berkerut. Sementara Awan justru semakin liar menatapku. "Beberapa tahun yang lalu, sebuah kantor media cetak ternama sempat mengulas dugaan malpraktik yang dialami Albert. Kabarnya, vonis serangan jantung itu cuma skenario pihak rumah sakit. Sayangnya, belum sempat koran itu beredar, sejumlah orang misterius langsung memborong habis koran-koran itu. Tak lama berselang, kantor media cetak tersebut mengalami kebakaran."

"Harian Kotamedia?" Aku memang pernah mendengar peristiwa kebakaran yang janggal itu. Pasca insiden itu, nasib harian Kotamedia tidak terdengar lagi dan konon dikabarkan mengalami pailit. "Saya pernah mendengar kesaksian seorang wartawan yang bekerja di sana. Kabarnya memang ada unsur kesengajaan di balik peristiwa itu."

"Saya tidak salah telah berharap banyak padamu, Rama." Aku memilih mengabaikan pujian Awan dan kembali terfokus pada lembaran karton yang digelar di hadapanku. Mataku takzim mencermati garis-garis penghubung yang seolah sedang berbicara padaku.

"Ini jasad Erwin Hartanto, bukan?" tanyaku sambil menekankan telunjukku ke salah satu foto.

"Tidak salah lagi. Kalau kamu mencermati betul analisa saya, kamu akan menemukan banyak kesamaan pola antara kasus kematian Erwin dan Adjie Cahyadi."

Lagi-lagi, aku lebih memilih mengabaikan. Mataku semakin seksama mengamati dua buah potongan gambar jasad Erwin dan Adjie. Nampaknya Awan memang sengaja memasang kedua potongan gambar itu di posisi bersebelahan.

"Perhatikan bentuk jenazah keduanya dan luka-luka di sekujur tubuh mereka."

Seketika, aku terkejut. Awan memang benar. Ada sesuatu yang tidak wajar pada kedua foto korban mutilasi itu. Dari sekian banyak luka tusuk di tubuh Erwin Hartanto, beberapa di antaranya membentuk kombinasi tiga lubang sejajar. Kombinasi luka tusuk ini identik satu sama lain dan tersebar di beberapa bagian potongan tubuh. Menariknya, luka-luka tusuk yang sama juga ditemukan di foto jasad Adjie Cahyadi.

"Ada penjelasan tentang ini?"

"Justru saya ingin meminta pendapatmu. Bagaimana? Sebuah pilihan senjata yang aneh, bukan? Apalagi, untuk ukuran seorang satpam berdarah dingin," ucap Awan, sinis.

Perlahan namun pasti, aku pun mulai penasaran. "Lantas bagaimana dengan korban-korban lainnya? Apakah Anda juga menemukan keanehan yang sama?"

Awan melebarkan senyum. Aku tidak bisa mengelak. Kali ini dia telah berhasil membuatku terpukau. "Pernah dengar berita menggemparkan tentang seorang anggota kepolisian yang dibebastugaskan?"

Sempat berpikir agak lama, ingatanku terngiang pada peristiwa yang berlangsung beberapa tahun silam. Dulu memang ada kabar yang menyebutkan tentang seorang polisi anggota resor kriminal yang tengah menangani sebuah kasus pembunuhan. Ia mendadak divonis mengidap gangguan kejiwaan. "Aipda Guntur Triaji?" Kali ini anggukan Awan tampak jauh lebih bersemangat. "Ya, saya pernah mendengarnya. Sebelumnya oknum polisi itu sempat berbicara di media soal jaringan pembunuh bayaran."

"Kantor Metropolis mungkin masih menyimpan beberapa arsip berita lama tentang anggota polisi itu," terang Awan lagi. "Menariknya, sebelum ditendang dari institusi kepolisian, Aipda Guntur sempat menyebut sejumlah nama tokoh politik dan elit pengusaha. Ajaibnya, beberapa bulan setelahnya, satu per satu nama-nama yang disebutkan tadi menjemput ajal."

"Jadi menurut Anda, ada keterlibatan dari pihak institusi kepolisian?"

"Besar kemungkinan. Tapi itu tudingan yang sangat serius. Dan masih terlalu prematur. Masih perlu pembuktian secara rinci."

Aku terpana menyaksikan kecemerlangan Awan dalam mendeskripsikan hasil investigasinya. Lambat laun, aku pun mulai memahami situasi yang menimpanya saat ini. Investigasi ini memang sangat berisiko. Andai kata hasil investigasi ini terekspos media, akan ada pihak-pihak yang merasa tersudutkan. Dan, mereka tentu tidak akan tinggal diam. Mungkin berbekal dari kemungkinan itu, pihak Suara Massa akhirnya memutuskan untuk mendepak Awan dari posisi wartawan.

Selesai mengucapkan kalimat terakhirnya, Awan mendadak justru mempertontonkan raut muka yang aneh. Matanya tiba-tiba menerawang ke sudut kosong. Dalam sekejap, ia seperti kehilangan antusiasme.

"Baik. Sudah lewat lima menit. Kalau memang kamu tidak berminat, saya tidak akan memaksa." Awan berkata sambil memunguti dokumen-dokumen miliknya yang berserakan di atas meja.

"Sebentar, Bung. Anda jangan salah paham. Harus saya akui ini kasus yang menarik."

"Kamu sudah bilang begitu tadi. Tapi faktanya kamu masih ragu, bukan?"

"Bung Awan..." Entah bagaimana, situasi saat ini justru berbalik 180 derajat. Justru kini aku yang berusaha menghalang-halangi niat Awan untuk pergi. Ini bukan lagi karena empati, melainkan antusiasme. Entah bagaimana, Awan telah berhasil menularkan antusiasme itu padaku. Sikap apatisku terhadap data-data investigasinya itu telah mencair oleh rasa penasaran.

"Berhentilah mempertontonkan sikap empatimu itu."

"Darimana Anda tahu kalau saya berempati pada Anda?"

"Siapapun tidak akan kesulitan membaca raut mukamu," sergahnya, sembati bangkit dari posisi duduk.

Sebelum Awan berbalik badan, aku mencoba bergerak mendahuluinya. "Sebentar, Bung Awan. Paling tidak, ijinkan saya untuk menanyakan satu hal lagi." Mendengar ucapanku, Awan berdiri terpasung. "Apa Anda benar-benar yakin dengan teori Anda itu?"

"Teori?"

"Baik, Bung Awan. Saya..."

"Sungguh konservatif sekali menggunakan panggilan 'Bung' di zaman ini."

"Oke... Awan... Saya tidak meragukan kecakapan analisa Anda, tetapi sangat wajar tentunya apabila saya ingin tahu apa tujuan Anda sebenarnya. Kita baru saling kenal. Tentunya, saya tidak bisa percaya pada Anda begitu saja."

Aku tidak menduga ucapanku barusan mampu mengembalikan sorot matanya yang menusuk. Sekilas, tatapan itu mengingatkanku pada sepasang bola mata Pak Petrus. Aku membayangkan seandainya kedua pasang bola mata mereka saling beradu pada suatu kesempatan. Pak Petrus pasti akan menemukan lawan yang sepadan.

"Saya cuma ingin hasil investigasi ini muncul di halaman surat kabar. Agar semua kerja keras saya selama dua tahun terakhir ini terbayar lunas," tegas Awan yang kini telah bangkit dari kursinya.

"Lalu bagaimana dengan karir saya?" Melihat Awan berdiri, aku pun ikut bangkit dari posisi duduk. "Gara-gara investigasi ini, Anda diberhentikan dari kantor Anda, bukan? Tidak menutup kemungkinan, saya akan mengalami nasib yang sama nantinya."

Aku mulai merasa tidak nyaman dengan tatapan Awan yang kembali aktif itu. Aku tidak bernyali meladeni tatapan itu dan lebih memilih untuk berbicara sambil menatap angin.

"Bukan hal itu yang seharusnya kamu takutkan, Rama." Dokumen dan map yang sudah berada dalam genggamannya itu diletakkannya kembali ke hadapanku.

"Lalu?"

"Kamu masih ingat kisah mistis seputar makhluk antah-berantah itu?" Awan kembali mengungkit sebuah isu mistis yang tadi sempat kami bicarakan. "Sampai detik ini saya masih bersikap skeptis terhadap isu murahan itu. Tapi apabila saya menjadi kamu, saya akan tetap meneliti lebih dalam tentang keberadaan makhluk itu."

"Maksud Anda?"

"Untuk meyakinkan publik, kamu butuh detil-detil yang terperinci."

Mendengar kata-kata terakhirnya, aku mengangguk, entah karena paham atau terhipnotis dengan tatapannya. Sejenak aku mencoba memberanikan diri untuk beradu pandangan dengannya. Tatapan mata itu masih sama, tetapi kali ini aku menangkap sebersit cahaya yang menenangkan pada bulatan matanya. Bulatan itu menyerupai cermin yang memantulkan bayangan tubuhku sendiri.

"Satu hal lagi," Awan berkedip. "Hati-hati dengan bayanganmu sendiri."

Setelah mengakhiri percakapan, Awan membalikkan badan dan mulai beranjak pergi. Tatapan mata yang tajam itu tidak lagi mencecarku karena pandangannya kali ini tertuju ke arah depan. Ketika sinar matahari mulai melemah, bayangan pria misterius itu tahu-tahu sudah menghilang di tengah kerumunan.

"Bayangan?" Aku meracau sendiri sembari merenungkan kalimat terakhir yang keluar dari mulut Awan. "Bayangan?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!