07 Oktober 2018
Pukul 09.18
“SAMPAH macam apa ini?! Berani-beraninya kau menyebut ini materi investigasi?!" Suara yang menggelegar mirip anjing menyalak itu telah lama menjadi identitasnya. Darah orang Timur yang mengaliri pembuluh nadinya mungkin adalah sebabnya. Di kalangan wartawan dan karyawan Metropolis, dia adalah satu-satunya makhluk yang paling ditakuti. Raymond Samiri, sang pimpinan redaksi kantor surat kabar ini, memang sejak dulu dikenal garang dan perfeksionis.
(Oh ya? Aku jadi penasaran, segarang apa dia? Mengapa dia begitu ditakuti?)
Mengapa dia begitu ditakuti? Tentu saja itu bukan semata-mata karena perangai galaknya di kantor. Bos Raymond—begitu dia biasa dipanggil—pernah memiliki reputasi mentereng sebagai seorang wartawan senior yang dikenal di kalangan pekerja pers negeri ini. Karir jurnalistik pria berambut gondrong itu berawal dari perannya sebagai pemburu berita, sekaligus investigator ulung di kantor tabloid Jangka, salah satu tabloid terkemuka yang sempat populer di medio 70-an hingga akhir 90-an. Kala itu nama pria berkulit legam ini kerap muncul di kolom-kolom berita kriminal dengan predikat kontributor utama. Puncak karirnya di kancah pers bermula di awal tahun 90-an saat wajahnya kerap menghiasi sederet acara siaran berita di beberapa stasiun televisi. Sayang, karirnya meredup menjelang akhir dasawarsa itu akibat iklim politik yang sempat bergejolak.
Saat itu, peristiwa lengsernya seorang presiden diktator-yang sempat berkuasa selama puluhan tahun-berdampak sangat besar bagi kestabilan situasi negara di segala bidang, tak terkecuali di ranah industri pers. Perusahaan-perusahaan media berskala nasional mengalami pasang surut. Beberapa di antaranya tumbang dihantam krisis berkepanjangan. Selain dihimpit persoalan keuangan, faktor menurunnya kadar kepercayaan publik terhadap berita-berita yang mereka suguhkan juga turut andil memperburuk situasi.
Pada masa itu, terjadi pergeseran peta kekuatan besar-besaran di kalangan perusahaan pers. Sejumlah media yang sebelumnya sukses mengembangkan sayap pada rezim politik sang presiden diktator pada akhirnya harus rela dihakimi dan dianggap sebagai corong politik pemerintahan lama. Di lain pihak, perusahaan pers rendahan yang awalnya sulit berkembang tiba-tiba naik kasta berkat opini-opini berbalut liputan media yang mereka kemas untuk menyudutkan rezim diktator. Saat itu, opini-opini yang kadang masih mentah dan hanya berdasarkan praduga mendadak menjadi barang dagangan yang laris manis. Dan, bagi Bos Raymond, masa-masa pergolakan itu menjadi titik balik pergulatan karir jurnalistiknya. Meski dia tidak pernah merasa menjadi corong rezim dictator, dia tetap harus rela melepas kesuksesan dan kepopuleran yang sempat dia nikmati sebelumnya.
Memasuki era reformasi, Bos Raymond sebenarnya berniat untuk menepi dari dunia pers yang membesarkan namanya. Sempat beberapa kali gagal dalam berwirausaha, beliau akhirnya mantap menekuni usaha percetakan. Tak dinyana, kesuksesannya menjalankan bisnis percetakan itu justru mengantarkan namanya kembali mencuat ke permukaan sebagai 'si anak hilang' di kancah pers. Alhasil, jelang pergantian abad, tepatnya pada Desember 1999, berdirilah kantor surat kabar harian kriminal Metropolis di bawah kepemimpinannya.
Sejak sepuluh tahun pasca didirikan, Metropolis memang tidak banyak mengalami kemajuan, terutama dari sisi keuangan. Untungnya, berkat titel mantan wartawan senior yang disandang Bos Raymond, plus sisa-sisa jaringan pers yang dimilikinya, kantor ini masih sanggup bertahan hingga sekarang meski harus kepayahan bersaing dengan kompetitor. Bos Raymond menyadari kesulitan itu. Aku menduga hal itulah yang menjadi alasannya untuk membatasi ruang gerak liputan medianya. Dengan tagline Surat Kabar Spesialis Kriminal, Metropolis memliki pangsa pasar yang jelas meski tetap tidak banyak diminati pembaca.
(Hmmm… Jadi begitu rupanya?)
Saat ini, terlepas dari rendahnya capaian omzet perusahaan dari hasil penjualan koran secara fisik, Bos Raymond nyatanya masih tetap aktif menjalani rutinitasnya sebagai pimred Metropolis. Pembawaan dirinya yang tegas dan berwibawa tinggi telah mengantarkannya menjadi figur yang paling disegani di lingkup internal perusahaan. Sialnya, perangainya yang keras dan perfeksionis membuat sedikit saja kesalahan yang dilakukan oleh anak buahnya bisa berujung fatal.
Malangnya, pagi ini giliran Andika, salah seorang rekan dekatku sesama wartawan Metropolis, yang habis kena damprat Bos Raymond. Wartawan yang tergolong masih cukup junior itu baru saja dimaki habis-habisan oleh Si Anjing Timur. Parahnya, peristiwa itu berlangsung di depan sejumlah staf jurnalis yang menghadiri rapat redaksi bulan ini.
Meski pemandangan itu sering terlihat, sejujurnya aku masih sangat berempati pada Andika. Menjadi seorang wartawan memang bukan sesuatu yang diharapkannya. Kalau boleh jujur, menurutku dia memang tak punya bakat untuk bergelut sebagai seorang wartawan. Kurasa dia lebih cocok bekerja di bidang seni. Jika ada alasan mengapa dia masih bertahan di Metropolis, salah satunya adalah garis takdir. Daripada menjadi pengangguran seperti mayoritas teman-teman seangkatannya di kampus Fakultas Seni Budaya, ia lebih memilih menebalkan muka untuk menghadapi gertakan si Bos hampir setiap hari di kantor ini.
Setelah rapat redaksi ditutup dengan pengambilan keputusan, Andika tampak kehilangan semangat. Itu terlihat dari mukanya yang masam. Kepalanya tertunduk lesu. Matanya tertegun, namun aku yakin pikirannya pasti sedang beterbangan entah ke mana. Dengan wajah iba, aku bergerak menghampirinya.
"Sabar ya, Ndik."
Andika mengangkat kepalanya. Tubuhnya tampak berusaha keras untuk berdiri untuk meninggalkan ruangan rapat. "Ah, pusing aku, Ram. Kayaknya aku udah berusaha maksimal, tapi hasilnya tetap saja begini," tuturnya sambil geleng-geleng kepala.
"Nggak usah dipikirin, Ndik. Dibawa santai aja."
"Aku sih nggak apa-apa, Ram. Lagian, perkataan pimred ada benarnya. Aku kan memang cuma sampah di kantor ini. Beda dengan kamu lah, anak emas si Bos."
"Ah, kamu ngaco. Siapa yang bilang aku anak emas di sini? Ada-ada saja. Aku juga sering kena marah kok," sergahku sambil menepuk bahu Andika.
Aku dan Andika baru saja hendak meninggalkan ruangan rapat sebelum tiba-tiba sebuah suara lantang menahan langkahku.
"Rama!" Suara anjing menyalak menyentak keheningan. Aku menyadari suara itu milik siapa dan berasal darimana. Pria berkulit gelap dan berbadan tegap itu datang menghampiriku. Aku sempat melirik Andika yang tampak ketakutan. Perlahan, rekanku itu melangkah mundur menuju pintu keluar, kemudian dia meninggalkanku sendiri di hadapan Bos Raymond.
"I… iya, Bos?" Jantungku berdesir. Batinku berkecamuk memikirkan kesalahan macam apa yang baru saja kuperbuat sampai-sampai Si Anjing Timur memanggilku setelah rapat redaksi.
"Duduk, Ram!" perintah sang wartawan senior. Suara anjing menyalak itu masih terdengar nyaring di telingaku.
"Gi... gimana, Bos?" tanyaku dengan nada gugup, sembari menduduki kursi yang berseberangan dengan Bos Raymond.
"Sudah berapa lama kau bekerja di sini?" Pria legam itu langsung mendesakku dengan pertanyaan aneh. (Ah, itu biasa saja. Kenapa kau bisa sampai merasa terdesak?) Aku sadar jika aku tidak segera menjawabnya, dia akan kembali menyalak.
Perasaan gugup yang tidak juga reda memperlambat kinerja otakku yang biasanya lumayan moncer. "Mmm... Lima… eh bukan. Empat tahun? Iya betul, empat tahun, Bos."
"Bagus. Kurasa kau sudah layak diberi tanggung jawab untuk menjadi mentor bagi wartawan yang baru bergabung."
Pernyataan Bos Raymond itu membuatku agak heran. Namun, baru saja aku ingin bertanya lebih lanjut, suaranya yang selantang gemuruh petir itu buru-buru menyela.
"Nah! Itu dia!" Pria legam itu mengalihkan pandangan ke arah pintu ruangan yang terbuka. Di sana, rupanya sudah datang seorang pria. Setelah mendapatkan isyarat tangan dari Bos Raymond, pria itu memasuki ruangan dan bergabung dengan kami. "Kenalkan! Ini Markus, wartawan baru yang sedang dalam masa training."
Aku menyambut uluran tangan pria bernama Markus itu. Sembari mengangguk untuk menyapa tanpa berkata-kata, aku tidak berhenti memandangi wajahnya yang memiliki kesan oriental. Kulit pria itu putih bersih. Sama sekali tidak menampakkan bahwa ia cukup berpengalaman sebagai jurnalis lapangan. Aku juga agak takjub dengan alisnya yang melejit. Alis itu sepintas mengingatkanku pada aktor asal negeri Sakura, Kenichi Endo. Dari beberapa garis keriput yang menghiasi muka pria itu, aku menaksir usianya tidak jauh-jauh dari angka 40-an. Cukup mengherankan melihat seorang calon wartawan baru yang berusia tidak lagi muda.
"Markus ini pernah bekerja sebagai wartawan di sebuah majalah infotainment selama 7 tahun. Untuk sementara waktu, aku akan suruh dia bantu-bantu kau di lapangan," terang Bos Raymond.
"Baik, Bos," anggukku.
Penjelasan Bos Raymond sudah cukup menjawab rasa heranku. Pria seusia Markus ini jelas tidak mungkin minim pengalaman. Barangkali itu yang menjadi pertimbangan si Bos untuk meminangnya meskipun masih dalam status training. Menyadari hal itu, diam-diam, aku disusupi rasa minder, utamanya dengan reputasi pria ini. Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar untuk mendapatkan pengalaman di bidang jurnalistik.
"Ada yang ingin kau tanyakan?" Kali ini suara si Anjing Timur terdengar cukup bersahabat.
"Maaf, Bos. Dengan pengalaman beliau selama bertahun-tahun sebagai awak media, rasanya saya kok tidak pantas untuk membimbing beliau. Yang ada, justru saya nantinya yang akan belajar dari beliau." Aku berusaha merendah. Untuk menghadapi sosok pemimpin arogan maksimal macam Bos Raymond, dibutuhkan kerendahan hati. Selain menjaga agar emosinya tidak tersulut, pimpinan dengan tipikal semacam itu biasanya akan cenderung segan dengan orang-orang yang suka merendah.
"DASAR MENTAL TEMPE!" Anjing Timur kembali menyalak. Sontak, telingaku pengang dibuatnya. "KAMU MAU BIKIN MALU AKU?! DI KANTOR INI KAU YANG LEBIH SENIOR! MENGERTI?!" Sial. Aku salah teori. Untuk menilai Bos Raymond, ternyata tidak cukup sekadar bermodalkan kata 'biasanya'.
(Jangan takut, Rama. Lawan. Ayo lawan.)
"Iy… iya, Bos." Badanku menciut bak balon kempis.
(Dasar pengecut!)
"Lagian dia dulu kerja di majalah hiburan, bukan koran harian! ITU JELAS BEDA URUSAN DENGAN KITA! TAHU KAU?!"
Kepalaku tertunduk mengakui kekuasaan mutlak Yang Mulia Sri Baginda Rajagukguk dari Timur. Sementara itu, Markus yang duduk di sebelahku rupanya juga tertunduk. Matanya yang sipit itu tenggelam. Sepertinya ini pertama kalinya dia bertemu sosok pimred segalak Raymond Samiri. Diam-diam, ada segelintir niat usil yang muncul di dalam hatiku untuk Markus, si calon wartawan Metropolis yang baru, yakni memberikan sepatah ucapan sambutan:
"Selamat Datang di Rimba Metropolis. Selamat Berjumpa dengan Sang Penguasa Rimba"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments