02 Oktober 2018
Pukul 20.12
KLEK! Bunyi tuas pemantik api ini memang berkarakter. Klasik, tetapi elegan. Tak percuma aku mengimpornya jauh-jauh dari Swiss. Api yang dihasilkannya pun juga sangat berkualitas. Ada dominasi warna biru yang menguncup di bagian ujungnya. Nyala api seindah itu hanya mampu dihasilkan lewat perpaduan antara sistem perapian yang steril dengan bahan bakar spiritus kelas satu. Kualitas api semacam ini juga turut andil menjaga aroma dan cita rasa asli tembakau di dalam pipa cangklong.
Puas menghisap ujung pipa cangklong itu, sebuncah asap kenikmatan kukepulkan dengan bangga ke udara. Asap berwarna putih itu pun bergulung riang. Aku tak perlu mencemaskan bau sangit yang dapat ditimbulkannya beberapa jam kemudian. Ruangan kerja ini dirancang dengan sirkulasi udara yang sangat baik. Lubang-lubang ventilasi yang didesain khusus sengaja ditempatkan di beberapa titik dengan menyesuaikan arah angin. Itu sebabnya ruangan ini sama sekali tak membutuhkan jasa mesin pendingin. Meski fungsinya bukan sebagai penyejuk ruangan semata, kipas-kipas kecil yang terpasang di beberapa sudut ruangan sudah cukup mampu menjalankan tugasnya. Yakni mengatur rute pergantian udara melalui lubang-lubang ventilasi yang tersedia.
Bicara mengenai tembakau, rasanya aku sudah cukup layak untuk disebut khatam dengan barang candu itu. Telah kuhabiskan separuh masa hidupku dengan berkelana hingga ke mancanegara untuk mencicipi berbagai macam jenis tembakau di seluruh dunia. Masing-masing jenis dan varian menawarkan cita rasa tersendiri yang menjadi identitas sekaligus nilai jual yang sangat prestisius masing-masing negara penghasil tembakau.
Oleh sebab itu, acap kali aku merasa gemas melihat tingkah para cukong rokok di negeri ini. Bagiku pribadi, mereka tak lebih dari sekumpulan pecundang yang tidak punya kapasitas memainkan bisnis tembakau. Padahal, dunia mengenal negara ini sebagai salah satu negeri penghasil tembakau kelas satu. Dengan reputasi setinggi itu, negara besar ini seharusnya mampu berbicara lebih banyak di bidang ekspor rokok dan cerutu. Sebagai penggemar berat asap tembakau, aku merasa perlu turun tangan. Diam-diam aku memelihara mimpi untuk mengambil alih pengelolaan bisnis tembakau di negara ini.
Dan mimpi besarku itu tampaknya bakal terwujud dalam beberapa bulan ke depan. Petang ini aku menerima faximile dari staf legal. Kabarnya proses akuisisi saham perusahaan rokok PT. Djanggo milik Hartanto Group hanya tinggal menunggu waktu. Publik telah banyak mengetahui bahwa perusahaan milik keluarga Hartanto itu nyaris bangkrut pasca ditinggal wafat si sulung, Erwin Hartanto. Hal itu tak terlepas dari krisis internal di kubu Hartanto Group selama ini yang dikenal bermasalah dengan proses regenerasi di jajaran direksi.
Di antara ketujuh adiknya, Erwin adalah orang satu-satunya yang dianggap mewarisi talenta pebisnis mendiang ayahnya, Lius Hartanto. Pasca kematiannya yang mendadak, keluarga Hartanto belum menemukan sosok pengganti yang sepadan. Akibatnya, beberapa bulan belakangan Hartanto Group limbung. Harga saham perusahaan melorot drastis dan tak mampu berbuat banyak untuk mengangkat nilai Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di pertarungan bursa efek internasional. Bahkan, nilai saham konglomerasi produsen rokok filter Djanggo Super itu diprediksi akan semakin melemah menjelang akhir tahun ini.
Secara pribadi, aku telah menyusun sebuah rencana besar untuk menyiasati situasi. Di saat-saat kritis nanti, ketika situasi internal di tubuh Hartanto Group sudah semakin mengkhawatirkan, namaku akan muncul ke permukaan sebagai sosok penyelamat. Ini murni bisnis. Tak jauh berbeda dengan dunia politik, dunia bisnis memang culas. Untuk menjadi pemenang, seorang pebisnis sejati harus merancang trik-trik khusus agar mampu bersaing di garda depan. Kejujuran hanya ada di surga, sementara dunia ini tak menawarkan apa-apa, selain kepalsuan.
Sementara itu, televisi di ruangan kantor pribadiku ini kubiarkan menyala tanpa penonton sejak tadi. Tega-teganya aku mengabaikan perempuan cantik itu berbicara sendirian di layar kaca.
“Bersama saya Tina Saraswati, inilah Kilas Malam."
Suaranya yang semerdu biola menjadi salah satu daya tarik. Aku sungguh beruntung pernah mendengar suaranya langsung dalam beberapa kesempatan. Sudah lama aku tak lagi menjalin kontak dengannya, untuk sekadar mengobrol atau berduaan di apartemen pribadi miliknya. Kalau bukan karena istriku yang pencemburu, mungkin perempuan itu sudah sah menjadi istri keduaku.
PENYIDIKAN KASUS MUTILASI ERWIN HARTANTO BUNTU
Mendadak tawaku tergelak usai menyaksikan tajuk berita tentang kasus pembunuhan Erwin Hartanto. Hampir genap tiga purnama sejak kasus itu terjadi, proses investigasi kepolisian sejauh ini tak kunjung menemui titik terang. Aku tak bisa menyalahkan institusi kepolisian yang kerap dituding bekerja terlalu lamban. Para polisi berpangkat rendah itu cuma berusaha tunduk pada perintah atasan. Pada dasarnya para polisi yang digembleng bertahun-tahun di akademi itu tak sebodoh penilaian publik. Selama ini mereka cuma dituntut untuk mawas diri. Mereka paham dengan siapa mereka akan berhadapan apabila bertindak terlalu jauh melangkahi wewenang.
POLISI PERIKSA PETUGAS SECURITY HARTANTO GROUP
Tajuk berita yang lain menyusul di kolom headline. Suara kekehku semakin tergelak mencermati skenario yang coba dibangun pihak kepolisian melalui media. Selama ini mereka memang piawai dalam menyusun cerita rekaan. Meski kadang kala aku merasa geli dengan cerita karangan mereka, kinerja institusi bersemboyan 'Pelindung dan Pengayom Masyarakat' itu sejauh ini terbilang memuaskan. Loyalitas mereka terhadap jajaran konglomerat sungguh patut mendapatkan pujian.
Sementara kegelapan malam semakin mendekap langit, udara dingin yang menyelinap lewat lubang-lubang ventilasi di ruangan ini mulai menebar serbuk kantuk ke seluruh penjuru ruangan. Kantung mataku mulai menggumpal akibat berminggu-minggu dicekam sejumlah aktivitas yang melelahkan. Sejenak aku melirik cermin di meja kerjaku. Wajah di cermin itu tampak tirus kelelahan. Sepertinya aku mutlak membutuhkan waktu istirahat.
Dengan sisa-sisa konsentrasi, aku meraih gagang telepon dan menekan tombol redial.
"Suruh Heri panaskan mesin mobil. Saya mau pulang," perintahku pada salah seorang sekretaris di lobi lantai satu.
Usai menandaskan asap terakhir, kumatikan nyala api di dalam pipa cangklongku. Melihat layar televisi yang masih menyala, tanganku langsung menggamit remot kendali televisi itu dan mengarahkan ujung telunjukku ke tombol Off, namun niatku itu mendadak terurungkan. Perhatianku tiba-tiba tersita oleh sebuah tayangan berita. Sementara genggamanku pada remot televisi mulai turun perlahan, mataku terkesima memelototi siaran berita itu. Sebaris tajuk hangat telah membuat tenggorokanku tercekat hebat.
KASUS SUAP SPORT CENTRE SERET NAMA BANYAK PENGUSAHA
Bunyi tulisan yang tertera di kolom tajuk berita itu tiba-tiba membekap indera pernapasanku. Belum pulih keterkejutanku, sebuah tulisan lain melintas di kolom running text.
PENGUSAHA BERINISIAL B.R. DIDUGA TERLIBAT
Seketika genggaman tanganku pada remot televisi mengencang. Gigiku gemertak. Mulutku mendesis gemas. Dadaku memanas. Darah yang mengalir di sekujur tubuhku mendidih. PRANG! Amarahku kulampiaskan dengan melempar remot ke arah layar televisi. Lemparanku tepat mengenai permukaan kaca yang melapisinya dan menimbulkan retak kecil. Di tengah emosiku yang meninggi, aku mencoba mengatur ritme napasku yang terburu-buru.
Sebenarnya sudah lumayan lama aku mengawasi orang-orang ini. Orang-orang Komite Anti Korupsi itu memang gemar memancing emosi. Mereka tak sadar dengan siapa sesungguhnya mereka sedang berurusan. Aku yakin sekerumunan muda-mudi polos yang sok pahlawan itu tak tahu apa-apa soal politik. Ironisnya, mereka nekat mengumbar kepolosan mereka di depan kamera pers.
Dengan tergesa-gesa, aku merogoh saku jas Armani-ku. Ponsel androidku pun keluar sarang. Di saat-saat seperti ini, aku harus mempersiapkan langkah-langkah preventif. Salah satunya dengan menghubungi kaki tanganku di kantor kejaksaan. Selama ini mereka selalu dapat diandalkan untuk menyelesaikan persoalan hukum yang hendak menjegal langkahku.
“Aku butuh bantuan. Usahakan jangan sampai kasusku naik ke meja hijau. Hubungi semua hakim Tipikor. Aku butuh jaminan dari mereka agar statusku tetap sebagai saksi."
“Memangnya ada apa, Bos?"
“TV di rumahmu sudah kamu jual semua? Kamu nggak lihat berita barusan? Namaku lagi disorot media gara-gara proyek Kementerian Olahraga! Cepat atau lambat aku bakal diperiksa K.A.K!"
“Oh soal itu? Kalem, Bosku. Kita sudah tahu mesti gimana."
“Upayakan secepatnya! Jangan sampai aku gagal nyaleg gara-gara kasus itu!"
“Siap, Bosku. Tahu beres aja."
“Nggak usah banyak omong! Lakukan saja yang kusuruh!"
Buru-buru kumatikan sambungan telepon sebelum begundal itu merespons. Kendati sudah ada jaminan dari orang kejaksaan, batinku masih saja terkungkum gelisah. Merasa belum puas, aku kembali meraih telepon pintarku. Ibu jariku lincah menggeser layar sentuhnya. Mataku memindai beberapa nomor kontak yang tersimpan pada drive telepon. Aku menyadari posisiku saat ini tidak menguntungkan. Menyuap orang-orang kejaksaan saja tidak akan cukup untuk meloloskanku dari jeratan hukum. Awak media jelas-jelas telah mengendus keterlibatanku. Perhatian publik akan tercurah pada perkembangan kasus ini.
Setelah memijit tombol hijau di ponsel, kulekatkan speaker ponselku itu di telinga kanan.
“Halo, Bang. Aku lagi ada masalah. Kapan ada waktu?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Ayano
Aku berasa lagi liat berita ini 😅
Mantap jiwa wak
2023-06-12
1
Ayano
Ini referensi dari grup rokok terkenal keknya
2023-06-12
1
Ayano
Ini rumah desainnya agak jadul tapi klasik ya
2023-06-12
1