18 September 2018
Pukul 04.27
DARI buku-buku mata pelajaran Kewarganegaraan yang pernah kupelajari di bangku sekolah, seorang filsuf legendaris asal Yunani, Aristoteles, pernah menyebut manusia dengan istilah Zoon Politikon. Kata zoon artinya 'hewan', sementara politikon berarti 'masyarakat'. Gabungan kata itu ditafsirkan oleh banyak pakar filsafat dengan makna bahwa umat manusia sejatinya adalah makhluk sosial.
(Lalu, apakah kau percaya pada omong kosong itu, Rama?)
Di pagi-pagi buta seperti ini, pikiranku berpetualang mengingat masa lalu. Kalau kata orang, menembus lorong waktu. Suatu kali, aku mendapatkan kisah dari salah seorang senior di panti asuhan tentang asal-usulkuya, dulu aku memang tinggal di panti asuhan. Konon katanya, dua puluh tahun silam, aku ditemukan di emperan sebuah halte, saat aku masih berwujud bayi merah, oleh pria yang mengelola panti asuhan. Ya, begitulah yang kudengar. Jadi, kalau bukan karena pria pengelola panti asuhan itu, aku tidak akan tahu nasibku akan menjadi bagaimana.
Kalau bukan karena pria pengelola panti asuhan itu, aku juga tidak akan mungkin mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan formal. Tak tanggung-tanggung, hingga ke jenjang sarjana pula. Dan, konon kabarnya, kalau bukan karena rekomendasi dari pria pengelola panti asuhan itu, aku juga tidak akan dengan mudah menembus seleksi rekrutmen wartawan di Metropolis, kantor surat kabar yang—walaupun bukan merupakan salah satu yang paling elit di ibukota—paling tidak bisa menjadi tempat untuk batu loncatan bagi wartawan muda seperti aku.
Nama pria pengelola panti asuhan itu adalah Pak Pri. Lucunya, aku harus jujur bahwa seumur hidup aku sama sekali belum pernah melihat wujudnya. Ada seorang senior di panti asuhan yang mengatakan bahwa Pak Pri adalah seorang pengusaha yang sukses melebarkan sayap hingga ke Eropa. Ada pula senior yang bercerita bahwa dia adalah seorang juragan obat yang berupaya menuntut ilmu pengobatan hingga ke negeri Tiongkok—kisah yang satu ini diperjelas dengan deskripsi wajah Pak Pri yang menyerupai orang Tionghoa. Entahlah, aku sendiri belum bisa memastikan kebenarannya. Aku tidak mau menelan mentah-mentah cerita orang-orang. Soal siapa beliau dan di mana beliau berada sekarang, itu tidak lagi penting. Bagiku, Pak Pri tetap menjadi satu-satunya makhluk sosial yang pernah kutemui di dunia ini. Lagipula, itu masa lalu. Tidak ada yang bisa mengubah masa lalu, tetapi mengubah masa depan, siapa yang tahu?
(Sudahlah, Rama. Jangan sok tahu.)
Perkara keinginan untuk mengubah masa depan inilah yang menuntunku hingga berada pada situasi sekarang. Empat tahun yang lalu, tepatnya setelah lulus kuliah, aku memutuskan untuk mengakhiri masa baktiku di panti asuhan. Meskipun pahit, aku harus mengambil risiko itu demi membuka jalan kesuksesan. Lewat rekomendasi dari seorang teman satu panti asuhan, aku berhasil mendapatkan sebuah kamar di lantai tiga bangunan rumah susun ini untuk sekadar menjadi tempat bernaung. Namun, sejujurnya kamar ini hanyalah tempat transit karena sejatinya waktuku memang banyak dihabiskan untuk mencari bahan berita di lapangan.
Sementara jam tangan sudah hampir menunjukkan pukul lima pagi, aku tersadar untuk segera bergegas. Aku tidak boleh lupa akan satu hal. Seperti yang telah bertahun-tahun lamanya menjadi rutinitas setiap pagi di tanggal 18 sebelum berangkat, aku meraih selembar amplop cokelat berisi sejumlah uang yang tergeletak di atas meja kerjaku. Dengan sedikit melejitkan telapak kaki, lembaran amplop gemuk itu kuselipkan di sela-sela lubang ventilasi. Cara semacam itulah yang biasa diterapkan para penghuni rumah susun ini untuk melakukan pembayaran uang sewa. Di saat-saat tertentu, lubang ventilasi yang berada di atas kusen pintu kamar itu memang bisa berubah fungsi menjadi semacam kotak pos darurat.
Kemudian, aku segera bertolak untuk berangkat ke kantor Metropolis, kantor tempat surat kabar murah dicetak untuk ditawarkan di warung-warung kopi, kios tukang cukur, atau bengkel pinggiran jalan untuk sekadar dibaca sambil lalu.
Seperti biasa, setiap langkahku saat melintasi koridor lantai tiga terasa ringan. Ya, harus dipaksakan untuk terasa ringan agar mood tetap terjaga.
Sayangnya, belum genap semenit aku melangkah dari pintu kamar, tiba-tiba saja aku sudah merasa berat untuk melanjutkan. Bukan lantaran rasa malas atau jenuh, melainkan karena sebuah pemandangan pilu yang kebetulan mampir di depan mata dan mengusik nuraniku. Rasa iba mendadak muncul saat mataku menangkap penampakan sosok tubuh ringkih yang terduduk di atas bale bambu di depan salah satu kamar di rumah susun ini. Tentu saja, aku mengenalinya karena beliau adalah tetanggaku sesama penghuni lantai tiga.
(Abaikan, Rama. Tinggalkan dia sendiri.)
Pagi-pagi sekali, Pak Sairan, pria 40 tahun pengidap kelainan autisme, sudah menampakkan diri dalam wujud yang mengundang empati. Pria itu tampak asyik memotongi kuku jari kakinya sendiri dengan gunting kecil di tangannya.
Didesak oleh dorongan nurani yang cukup kuat, hatiku tergugah untuk melakukan sesuatu. Maka, segera kuloloskan lengan kananku dari jeratan kolong ransel. Bola mataku masih belum lepas memandang Pak Sairan sembari tanganku merogoh kocek ransel dalam-dalam. Kukeluarkan seporsi roti isi pisang bekal sarapanku.
"Pak Sairan," sapaku sembari merunduk dan mengangsurkan roti isi itu menuju tangannya yang kurus.
Namun, sialnya, belum sempat roti isi itu berpindah tangan, aku merasakan sebuah dorongan dari arah belakang. Seketika, aku pun terhempas. Malangnya lagi, roti yang kugenggam terlempar menjauh. Belum usai juga, terdengar derap kaki terburu-buru dan plok! Habis sudah! Seolah tidak perduli, si empunya derap kaki menginjak potongan roti yang terjatuh.
"Hey, Mas!” Aku berseru kesal, mencoba memperingatkan orang yang melangkah tergesa-gesa itu. “Hati-hati dong kalau jalan!" Namun, alih-alih menghampiri dan meminta maaf, orang itu justru mengabaikan dan terus berlalu meninggalkan koridor lantai tiga.
Sembari bangkit, aku mengamati reaksi Pak Sairan yang—seperti halnya penderita autis kebanyakan—tampak tidak perduli sama sekali. Cuma sebatas melirik, ia lantas kembali tenggelam dalam rutinitas memotong kukunya.
Di sisi lain, aku berusaha keras menahan murka. Dalam hati, aku mengutuk meski pada akhirnya aku harus maklum. Sikap acuh tak acuh orang yang baru saja melintas itu sesungguhnya mewakili perangai sebagian besar penghuni rumah susun ini.
Insiden kecil yang baru saja terjadi itu sekilas mengingatkanku pada peristiwa yang beberapa bulan silam menimpa Teja, seorang penghuni rumah susun lantai satu yang menderita lumpuh. Kala itu ia terjatuh saat hendak menuruni tangga dan peristiwa itu terjadi tepat di hadapan sejumlah penghuni yang kebetulan sedang memadati koridor lantai satu. Teja yang kesulitan untuk bangkit berteriak meminta bantuan. Ironisnya, kendati teriakan Teja sudah menggema hingga ke kamarku di lantai tiga, tidak ada seorang pun penghuni yang tergerak untuk menolong. Akhirnya aku pun harus tergopoh-gopoh turun ke lantai satu. Saat itu, aku menyaksikan sendiri tangannya berusaha keras mencari tumpuan untuk bangkit, tetapi hanya rambut gimbalnya saja yang bergerak melambai-lambai. Sungguh malang.
(Tahu dari mana kamu soal kemalangan seseorang? Sudah kubilang jangan sok tahu.)
Kalau boleh jujur, sebenarnya aku sudah tidak nyaman bersinergi dengan lingkungan sosial semacam ini. Berkali-kali terlintas niat untuk hijrah ke tempat lain, tetapi langkahku selalu tertahan oleh pertimbangan finansial. Biaya sewa di rumah susun ini memang sangat nyaman untuk isi kocekku.
Lagipula, lingkungan sosial sebaik apa yang bisa ditemukan di ibukota? Setelah kupikir-pikir, orang-orang ibukota juga tak kalah cueknya. Itu juga alasanku mengapa memutuskan untuk menyematkan gelar makhluk sosial satu-satunya di dunia kepada Pak Pri, sang pengelola panti asuhan.
Merasa tak ada lagi yang bisa kuperbuat untuk Pak Sairan, aku pun memutuskan untuk kembali meringankan langkah demi langkah hingga memasuki tangga utama rumah susun. Ketika melintasi tangga utama ini, aku baru teringat salah satu pertimbangan yang selalu membuatku mengurungkan niat untuk meninggalkan rumah susun ini. Entah mengapa, aku selalu merasa takjub dengan nuansa klasik nan eksotis yang terpancar dari tata ruang gedung rumah susun yang baru bisa kunikmati saat melintasi tangga utama.
Bagian yang kerap menyita perhatianku adalah desain anak tangganya yang melingkar bak ular raksasa. Anak tangga itu menghubungkan koridor tiap-tiap lantai dari mulai lantai dasar hingga ke bagian lantai paling atas. Atap bangunan di areal sekitar anak tangga sengaja dibiarkan terbuka sehingga para penghuni yang hendak naik turun tangga dapat menikmati paparan sinar matahari secara langsung. Sementara di lantai dasar, sebuah taman bunga mini berbentuk lingkaran didapuk menjadi pemanis tata ruang. Singkatnya, setiap pemandangan yang tersaji saat melintasi tangga utama rumah susun ini benar-benar nyaris sempurna, kecuali ...
"EHEMM!"
Mendadak kesunyian terpecah. Aku terkesiap mendengar suara deham yang muncul tiba-tiba tepat saat aku hendak menuruni anak tangga. Tentu saja aku mengenali suara itu. Pasalnya, suara misterius itu senantiasa membuat bola mataku bergerilya, memindai segala sudut eksotis tangga utama. Dan, pada akhirnya pemindaianku selalu berakhir di sudut yang mendekati atap bangunan. Ya, suara itu berasal dari lantai paling atas, lantai enam.
Bulu kudukku sontak meremang. Jauh di atas sana, aku melihat sosok itu, sosok yang paling kuhindari di rumah susun ini. Dialah pemilik tatapan mata menyeramkan itu. Sepasang bola mata pria itu laksana mata pisau yang siap menghujam jantung. Dan, bola mata itu kini tengah menyorot gerak-gerikku! Apa yang harus kuperbuat?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Ksatria Pena
Rama kayak aku. Berantem sama isi kepalanya sendiri. Bab ini punya versi menarik gmna bertutur dalam dua arah. Satunya sebagai orang pertama pelaku utama, satunya lagi orang ketiga serbatahu. Wuih. Benar-benar memori membaca novel offline terpuaskan di karya ini.
2023-05-31
1
Ayano
Rama kek punya pikiran double apa gimana ya. Dia kayak punya sisi lain yang kehendak sama otaknya gak sinkron. Menarik
2023-05-26
1
Winters
iya di ibukota cuek². Bahkan org kecelakaan aja di videoin bukannya di tolong
2023-05-20
0