Rama Lazuardi

15 Oktober 2018

Pukul 19.49

INSIDEN konfrontasi dengan Bos Raymond pagi ini tampaknya cukup mengganggu konsentrasiku. Aku kecewa berat atas penolakannya terhadap draf investigasi yang kuajukan. Gara-gara peristiwa itu, aku cukup kesulitan mengatur fokus untuk menjalankan sederet rutinitas yang menjadi tanggung jawabku seharian ini. Akibatnya, kualitas kinerjaku jauh menurun. Jadwal wawancara yang kususun berantakan. Laporan berita tidak juntrungannya. Satu jam yang lalu, aku bahkan berkeyakinan bahwa hari ini adalah hari apesku. Aku sempat merencanakan untuk tidur lebih awal untuk menghindari kesialan yang berlarut-larut.

Untung saja, niat untuk tertidur lebih awal itu kuurungkan. Untung saja, aku teringat sebuah kabar gembira yang mungkin akan sanggup melipur kekecewaanku seharian ini. Bagaimana aku bisa lupa? Malam ini aku ada janji makan malam dengan Letisha. (Letisha). Ya, Letisha! Bagaimana aku bisa lupa? Beruntung sekali, aku langsung ingat malam ini juga. Seandainya aku tetap lupa, dan melewatkan kesempatan itu begitu saja, sungguh aku akan menyesal seumur hidup.

Setelah sekian lama hanya mampu mencuri-curi pandang, akhirnya aku mengalami peristiwa yang sungguh di luar dugaan kemarin sore, sehari sebelum insidenku dengan Bos Raymond terjadi. Sore itu, tanpa ada firasat atau angin apapun, Letisha tiba-tiba menghampiri meja kerjaku. Itu pertama kalinya aku melihat senyum manisnya dari jarak dekat. Dan, ajakan makan malam di sebuah restoran yang keluar dari mulutnya seperti dongeng yang menjadi nyata.

Terang saja, aku kegirangan. Selama ini aku tidak pernah berharap banyak untuk mengenalnya lebih dekat. Sebelumnya aku bahkan tidak punya nyali untuk sekadar memulai obrolan dengannya. Menyadari bahwa ini adalah kesempatan yang sangat langka, sungguh sangat bodoh apabila aku sampai berpikir dua kali untuk mengiyakannya.

Malam ini, praktis, aku cuma mempunyai waktu sekitar sejam untuk mempersiapkan diri. Untungnya aku benar-benar memanfaatkan waktu yang singkat itu untuk menggeber persiapan fisik dan mental. Persiapan fisik akan sangat diperlukan untuk menunjang penampilan. Sementara persiapan mental juga tidak kalah penting. Aku tidak mau bicaraku jadi terbata-bata di depan Letisha. Maka, untuk menghindari hal itu, aku sudah menyusun sejumlah topik pembicaraan pada secarik kertas kecil. Seandainya aku tidak tahu lagi harus membahas topik apa, aku bisa meliriknya sebagai contekan.

Demi memaksimalkan persiapan mental, aku memutuskan untuk mendatangi restoran tempat makan malam beberapa menit sebelum waktu yang telah disepakati. Berulang kali aku melakukan simulasi bicara agar tidak terlihat canggung di depan si cantik Letisha. Sejenak aku mengabaikan segala kesibukan memburu berita yang menguras tenaga dan pikiranku. Kulupakan kesialan demi kesialan yang menderaku seharian ini. Yang ada di pikiranku saat ini hanyalah tampil sesempurna mungkin di hadapan perempuan idamanku. Peluang emas ini tidak akan datang untuk yang kedua kalinya.

Sementara itu, jam tangan merek lokal yang melingkar di pergelangan tanganku sudah hampir mengarah ke angka delapan. Itu berarti Letisha akan segera tiba di gedung restoran bintang lima ini. Agak canggung rasanya berada di restoran mewah. Sementara aku sendiri terbiasa nongkrong di kedai kopi semenjana. Sebagian besar pengunjung tempat ini bukan hanya orang-orang dengan level perekonomian tinggi, tetapi juga orang-orang yang menjunjung tinggi adab dan budaya sopan santun ala borjuis Eropa. Oleh sebab itu, manners menjadi salah satu hal yang mutlak untuk dipertontonkan di tempat ini.

Meski agak terpaksa, aku tidak keberatan untuk sementara waktu menyesuaikan diri dengan atmosfir kemewahan agar bisa dipandang layak untuk berada di tempat ini. Toh, semua ini demi Letisha. Lagipula, ini bukan pengalaman pertamaku mengunjungi restoran mewah. Sebagai insan pers, aku juga pernah beberapa kali menghadiri jamuan makan di beberapa restoran terkemuka di ibukota, atas undangan dari sejumlah tokoh elit politik dan pengusaha konglomerat.

Memasuki beberapa menit selanjutnya, tiba-tiba aku dilanda gugup luar biasa. Sekujur tubuhku bergetar hebat. Bukan tanpa sebab, perasaan aneh itu mendadak muncul saat pandanganku tertuju pada pintu masuk restoran. Di posisiku duduk saat ini, aku bisa melihat dengan jelas langkah kaki seorang perempuan yang menjajaki lantai marmer lobi restoran ini. Jantungku mencelus. Ciut! Takut! Perempuan itu adalah Letisha! Itu benar-benar Letisha!

Letisha, gadis manis penghuni meja administrasi itu, akhirnya datang menepati janji. Di kejauhan, dia terlihat anggun mengenakan gaun hijau muda yang cerah. Rambutnya dibiarkan tergerai. Suara hak sepatunya sayup terdengar semakin dekat. Terus mendekat, hingga membuat jantungku terpacu cepat. Sementara itu, lelaki yang duduk gemetaran di meja ini tidak mampu berbuat banyak. Yang bisa dilakukannya hanya berusaha menghindari kontak mata dengan sang gadis pujaan agar kegugupannya tidak semakin meluap-luap.

"Lama ya nunggunya?" Meskipun aku sudah berusaha keras menyembunyikan, getaran yang menguasai tubuhku semakin kencang. "Maaf ya, agak terlambat."

"Oh... Emmm... 'Nggak apa-apa kok...," jawabku sembari menundukkan kepala. Tampaknya latihan mental serutin dan seintensif apapun tidak akan pernah membuatku benar-benar siap untuk berinteraksi dengannya dari jarak dekat. Semua teori yang kupelajari sejak bermenit-menit lalu akhirnya menguap sia-sia.

"Kamu kenapa?" Gawat! Rupanya Letisha cukup jeli membaca kegugupanku.

Susah payah, aku berupaya menegakkan kepala meski pandanganku tetap enggan beradu secara langsung dengan matanya. "Eng… Nggak apa-apa kok."

Mendadak, aku mendengar suara tawa yang tertahan. Tawa yang melenggang dari mulut Letisha itu membuatku kembali tertunduk. Dalam sekejap, tubuhku langsung terbenam dalam perasaan malu.

"Muka kamu lucu kalau lagi nervous gitu," ujar Letisha, sembari mengatur napasnya yang sempat terbuang bersama tawanya yang tertahan. Aku yang masih belum mampu bersuara hanya merespons dengan senyum canggung demi menutupi rasa gugup dan maluku yang tidak terbantahkan. "Kalau aku melihatmu seperti ini, aku jadi teringat seseorang. Ayahku."

"A… ayah kamu?" Rasa gugup ternyata masih setia pada tubuhku.

Mendadak, paras cantik Letisha berubah melankolis. "Semasa beliau masih hidup, mendiang Ayahku pernah bercerita tentang bagaimana polosnya beliau untuk urusan mendekati perempuan."

"...."

"Padahal sebagai seorang pria, beliau memiliki pesona yang mampu membuat para wanita tergila-gila." Letisha menghentikan ucapannya sejenak. Ia lalu menatapku. Karuan saja, aku semakin salah tingkah. "Sama seperti kamu, Rama."

Bagai disengat listrik ribuan volt, tubuhku tersentak begitu mendengar kata-kata yang diucapkan Letisha. Seketika, mataku melempar tatapan refleks ke arah lawan bicaraku itu. Baru saat itulah, akhirnya aku bisa mencermati jengkal demi jengkal parasnya yang anggun setelah beberapa menit yang lalu aku tidak pernah berhenti menundukkan kepala. Aku baru menyadari ada sesuatu yang berbeda di sorot matanya. Bulu-bulu matanya yang lentik menyerupai atap plafon yang meneduhkan. Sangat berbeda dengan apa yang biasanya kulihat saat dia sedang bergumul dengan rutinitas administrasi di kantor Metropolis. Aura ketus dan acuh tak acuh yang sering tergambar di wajahnya selama ini mendadak luntur tanpa bekas.

"Ah, kamu terlalu berlebihan, Tisha. Aku pribadi merasa belum pantas untuk dibanding-bandingkan dengan figur Ayah kamu yang hebat itu." Lambat laun aku mulai bisa mengatasi kegugupanku. Kondisi mentalku rupanya mulai berangsur-angsur kondusif dan membuatku semakin lancar berbicara.

"Kamu yang terlalu rendah hati, Rama. Kamu nggak perlu terlalu merendah seperti itu." Letisha menegakkan posisi duduknya dan memanggil salah seorang pelayan restoran dengan menggunakan bahasa isyarat. "By the way, kamu belum pesan apa-apa, ya?"

"Aku nungguin kamu."

"Kenapa harus nunggu?" Mendadak mata Letisha melotot gemas ke arahku. "Kamu pikir aku bakal traktir kamu?" ujarnya, berseloroh. Aku menyambut selorohnya itu dengan seberkas senyum canggung. Keteganganku pun berangsur sirna begitu menyaksikan keceriaan di wajahnya.

"Silakan menunya, Ibu," tutur seorang pelayan yang menghampiri meja kami, penuh santun.

"Makasih, Mas. Nanti kalau udah selesai nulis pesanan, kita panggil lagi ya?"

"Baik, Ibu." Pelayan itu lantas meninggalkan meja kami.

Sembari membuka buku menu dan menyerahkannya padaku, Letisha meraih tas Hermes-nya dan menaruhnya di pangkuan. Sayup-sayup, aku mendengar bunyi getaran dari dalam tas berukuran mini itu. Selepas membuka ritsleting tas itu, tangan kanan gadis manis itu meraih sebuah benda yang ada di dalamnya. Dari posisi dudukku, aku tidak mampu melihat jelas apa yang sedang dilakukannya karena pandanganku terhalang oleh sisi meja. Aku semakin penasaran saat mendapati mimik muka perempuan itu yang tiba-tiba berubah serius setelah melirik bagian dalam tasnya itu.

Tidak berselang lama, Letisha kembali menoleh ke arahku. Sadar aku tengah memperhatikannya, dia buru-buru mengakhiri kegiatannya di bawah meja. "Eh, Rama. Maaf, ya, tadi ada SMS penting yang harus dibalas."

"Oh, nggak apa-apa kok," kilahku sembari memasang senyum ala kadarnya.

"Eh, ngomong-ngomong, katanya kamu lagi ngerjain proyek, ya?"

Sempat berpikir sejenak, akhirnya aku memahami maksud pertanyaan Letisha. "Ooh, proyek investigasi itu maksudmu?"

"Investigasi? Wah, seru dong pastinya?" ujar Letisha dengan wajah yang mulai penasaran.

"Ah, cuma investigasi kecil-kecilan, kok. Lagian, si Boss kayaknya nggak setuju dengan ide investigasi ini."

"Nggak setuju gimana? Memangnya kasus apa sih yang kamu angkat, kalau boleh tahu?"

"Cuma penyelidikan beberapa kasus kematian yang janggal, kok. Tapi, kata si Boss, investigasi ini terlalu berbahaya untuk dipublikasikan di media."

"Kok bisa?" Belum sempat aku menjelaskan secara detil, tiba-tiba perhatian Letisha kembali teralih oleh bunyi getaran yang sama. Sejenak, senyum penasarannya mengendur. "Jangan dijawab dulu, Ram. Aku musti ke toilet dulu, nih. Kalau kamu mau pesan, kamu pesan dulu aja ya?"

Setelah membaca gerakan menganggukku, perempuan itu tersenyum dan beranjak dari duduknya. Ia lantas melenggang menuju toilet restoran. Aku serasa tengah bermimpi menyaksikan senyumannya yang menyejukkan itu dari jarak lumayan rapat. Senyuman itu benar-benar telah membuatku lupa daratan. Kesadaranku pelan-pelan terbawa arus lamunan yang memabukkan. Suasana hatiku meletup-letup kegirangan. Mimpi apa aku semalam sampai bisa berada pada situasi seperti ini?

(Hati-hati, Rama. Kau harus tetap waspada.)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!